Wednesday, January 6, 2016

ALIRAN PEMIKIRAN DAN TOKOH SALAFI (Ahmad Ibn Hanbal Dan Ibnu Taimiyah)


Diajukan untuk memenuhi persaratan pada mata kuliah
TAUHID DAN ILMU KALAM
Dosen pengapu : Eko Setiawam, M.Kom.I



STAI JURAI SIWO METRO



ALIRAN PEMIKIRAN DAN TOKOH SALAFI
(Ahmad Ibn Hanbal Dan Ibnu Taimiyah)

A.    PENDAHULUAN
Aliran salaf lahir dari sebuah pemikiran-pemikiran imam ahmad bin hambal. Sebagai reaksi dari penentangan beliau terhadap ekstrimnya pemikiran-pemikiran aliran mu’tazilah, yang salah satunya memaksa rakyat dan para ulama’ untuk mengikuti pemikirannya, dimana aliran mu’tazilah menganggap bahwa al qur’an adalah makluk.
Kemudian imam ahmad ibn taimiyah memformulasikan pemikiran-pemikiran imam ahmad bin hambal secara lebih lengkap
Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah
Pada kesempatan kali ini penulis akan dibahas dua tokoh setral ulama di bidang salaf yaitu Imam Ahmad Bin Hanbali dan Ibnu Taimiyah. Disamping biografi dari ulama’ tersebut penulis juga akan memaparkan tentang pemikiran-pemikiran dari kedua ulama’ tersebut, seperti Imam Ahmad Bin Hanbali yaitu tentang ayat-ayat mutasyabihat dan kemakhlukan al-Qur’an sedangkan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat allah dan lainnya.
Sebelum membahas tentang dua tokoh ulama’ tersebut, penulis akan membahas terlebih dahulu tentang arti dari salaf itu sendiri.

B.     pengertian salaf
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi’it tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman / murid dari tabi’in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah.
Definisi salaf menurut Thablawi Mahmmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, Tabi’I tabi’tabi’in, para pemuka abad ketiga dan para pengikutnya pada abad ke 4H yang terdiri atas para muhadisain dan yang lainnya. Salaf berarti pula ulam-ulama shaleh yang hidup padas tiga abad pertama islam. Menurut Asyah Rastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai paham tasyibih. Sedangkan Mahmud Al-Bisyi Bisyi dalam Al-Firoq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai saegala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan menggunakannya.
Ibrahim masykur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut:
  1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (Naqli) dari pada dirayah (“akal”)
  2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuludin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’adin), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan rasional.
  3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang zat-NYA) dan tidak pula mempunyai paham antropomorpisme.
  4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mena’wilkannya.
Ciri khas golongan ini adalah, mereka kembali kepada penafsiran harfiah (literalis) atau nash dan memunculkan tradisi kalam dan hukum, sebagaimana ketika perkembangan pertama dalam islam, terutama pemikiran-pemikiran Ahmad bin Hambal, serta menolak dominasi menolak dominasi akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan.
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari imam ahmad ibnu hambal. Lalu ajarannya di kembangkan Imam ibnu Taimiyah, kemudian disuburkan oleh imam Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara sporadis.[1]
C.     Riwayat Hidup dan Pemmikiran Imam Ahmad Ibn Hambal

Ia dilahirkan di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri Mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn Idris Ibn Abdullah Ibn Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin Ibn Syaiban, Ibn Dahal Ibn Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn Asad bn Rabi Al-Hadits Ibn Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada ulama-ulama terkenal di Khulafah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah Hammad Ibn Khalid, Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktamar Ibn Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq Ibn Humam, dan Musa Ibn Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih, Hadits, tafsir, kalam, ushul, dan Bahasa Arab.[2]
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar di malam hari. Ia juga dikenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid membagi-bagikan beberapa keeping emas kepada para ulama hadis, yang telah menjadi kebiasaan para Khalifah masa itu.  Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh Abdul Razaq mengambil segenggam dinar dari kantongnya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban Mihnah (inquistition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk. Akibatnya, beberapa kali ia harus dipenjara. Nasib serupa dialaminya pada masapemerintahan pengganti Al-Ma’mun, yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq ASy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullahh. Kedua orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn Hanbal.
Bukunya yang paling utama ialah al-Musnad yang membuktikan keluasan pengetahuan dan penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam. Buku tersebut terdiri atas tiga piluh ribu hdis yang disandarkan kepada lebih dari tujuh ratus orang sahabat, diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari tujuh ribu ratus hadis. Buku ini dan buku lainnya telah membantu menempatkan hadis pada tempat yang proposional, sebagai salah satu sumber Fikih Islam.[3]

1.      Pemikiran imam ahmad Ibn Hanbal
a)      Tentang ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitandengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat berikut.
(QS. Thaahaa:5) الرحمن على العرش استوى
Artinya: “(yatiu) tuhan yang maha pemurah, yang bersemayam di atas arsy.”
Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab: “Istiwa di atas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja dia  khendaki dengan tiada batas dan tida seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dari pernyataan diatas, Tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (tafwid) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah Rasul-Nya dan mensucikan-Nya dari dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
b)      Tentang Status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya di penjarakan beberapa kali, adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya Qadim? Faham yang diakui pemerintah, yakni dinasty  abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat Qadim.[4]

D.    Riwayat Hidup dan Pemmikiran Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[5]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.
Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
1.      Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut:
a.       Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b.      Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c.       Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d.      Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.[6]
2.      Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :

a.       Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
1)      Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
2)      Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
3)      Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
4)      Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
b.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
c.       Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1)      Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
2)      Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)
3)      Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
4)      Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
5)      Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).

Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan iktiar manusia, yaitu:
1.      Allah pencipta segala sesuatu;
2.      Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
3.      Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.[7]

Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[8]
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[9]




KESIMPULAN
Dari penjelasan dia tas dapat di simpulkan bahwa :
a.       Yang dimaksud dengan salah adalah Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam
b.      Bahwa imam ahmad bin hanbal lahir di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M
c.       Ada 2 pokok pemikiran dari imam ahmad bin hanbal yaitu:
1.      Ayat-ayat mutasabihat
2.      Tentang status al-qur’an
d.      Bahwa Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H
Pemikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut:
1.      Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
2.      Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
3.      Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
4.      Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
5.      Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
e.       Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah : Percaya sifat-sifat allah, diantaranya:
1)      Sifat Salabiyyah.
2)      Sifat Ma’ani,
3)      Sifat khabariah
4)      Sifat Idhafiah



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987)
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
Hanafi, pengantar teologi islam(jakarta;pustaka alhusna,1992)
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, (Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011)
Zainuddin,ilmu tauhid lengkap,(jakarta;rineka cipta 2008)




[1] Zainuddin,ilmu tauhid lengkap,(jakarta;rineka cipta 2008)hal43-44
[2] Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011. Hlm. 54
[3] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000. Hlm. 83
[4] Hanafi, pengantar teologi islam(jakarta;pustaka alhusna,1992)hlm138-139
[5] Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987),hal.  261
[6] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Hlm. 115-116
[7] Ibid. hal,116-117
[8] Ibid. hal,117
[9] Mustopa, Op. Cit. Hlm. 58
Add to Cart

0 komentar:

Post a Comment