Diajukan untuk memenuhi persaratan pada mata
kuliah
TAUHID DAN ILMU KALAM
Dosen pengapu : Eko Setiawam, M.Kom.I
STAI JURAI SIWO METRO
ALIRAN PEMIKIRAN DAN TOKOH SALAFI
(Ahmad Ibn Hanbal Dan Ibnu Taimiyah)
A.
PENDAHULUAN
Aliran salaf lahir dari sebuah
pemikiran-pemikiran imam ahmad bin hambal. Sebagai reaksi dari penentangan
beliau terhadap ekstrimnya pemikiran-pemikiran aliran mu’tazilah, yang salah
satunya memaksa rakyat dan para ulama’ untuk mengikuti pemikirannya, dimana
aliran mu’tazilah menganggap bahwa al qur’an adalah makluk.
Kemudian imam ahmad ibn taimiyah
memformulasikan pemikiran-pemikiran imam ahmad bin hambal secara lebih lengkap
Aliran salaf merupakan aliran yang muncul
sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian
pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah.
Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras
terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah
Pada kesempatan kali ini penulis akan dibahas
dua tokoh setral ulama di bidang salaf yaitu Imam Ahmad Bin Hanbali dan Ibnu
Taimiyah. Disamping biografi dari ulama’ tersebut penulis juga akan
memaparkan tentang pemikiran-pemikiran dari kedua ulama’ tersebut, seperti Imam
Ahmad Bin Hanbali yaitu tentang ayat-ayat mutasyabihat dan kemakhlukan
al-Qur’an sedangkan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat allah dan lainnya.
Sebelum membahas tentang dua tokoh ulama’
tersebut, penulis akan membahas terlebih dahulu tentang arti dari salaf itu sendiri.
B.
pengertian salaf
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi
suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah
orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan
Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam,
para tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para
shahabat) dan para tabi’it tabi’in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan
pemahaman / murid dari tabi’in). istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini
ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap
Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut
pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini
dinamakan dakwah salafiyyah.
Definisi salaf menurut Thablawi Mahmmud Sa’ad,
salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk
generasi sahabat, Tabi’I tabi’tabi’in, para pemuka abad ketiga dan para
pengikutnya pada abad ke 4H yang terdiri atas para muhadisain dan yang lainnya.
Salaf berarti pula ulam-ulama shaleh yang hidup padas tiga abad pertama islam.
Menurut Asyah Rastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai paham tasyibih.
Sedangkan Mahmud Al-Bisyi Bisyi dalam Al-Firoq Al-Islamiyah mendefinisikan
salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya
menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat Allah yang menyerupai saegala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan menggunakannya.
Ibrahim masykur menguraikan karakteristik ulama
salaf atau salafiyah sebagai berikut:
- Mereka
lebih mendahulukan riwayat (Naqli) dari pada dirayah (“akal”)
- Dalam
persoalan pokok-pokok agama (ushuludin) dan persoalan-persoalan cabang
agama (furu’adin), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab dan
rasional.
- Mereka
mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang zat-NYA) dan tidak
pula mempunyai paham antropomorpisme.
- Mereka
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya dan tidak
berupaya untuk mena’wilkannya.
Ciri khas golongan ini adalah, mereka kembali
kepada penafsiran harfiah (literalis) atau nash dan memunculkan tradisi kalam
dan hukum, sebagaimana ketika perkembangan pertama dalam islam, terutama
pemikiran-pemikiran Ahmad bin Hambal, serta menolak dominasi menolak dominasi
akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan.
Menurut Harun Nasution, secara kronologis
salafiyah bermula dari imam ahmad ibnu hambal. Lalu ajarannya di kembangkan
Imam ibnu Taimiyah, kemudian disuburkan oleh imam Muhammad Ibnu Abdul Wahhab,
dan akhirnya berkembang di dunia islam secara sporadis.[1]
C.
Riwayat Hidup
dan Pemmikiran Imam Ahmad Ibn Hambal
Ia dilahirkan
di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu
Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal
dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri Mazhab Hanbali.
Ibunya bernama
Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Hindur Asy-Syaibani,
bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn
Idris Ibn Abdullah Ibn Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin
Ibn Syaiban, Ibn Dahal Ibn Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn Asad bn
Rabi Al-Hadits Ibn Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga
dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun,
ia telah memberikan pendidikan Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada usia 16 tahun,
ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada ulama-ulama
terkenal di Khulafah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara
guru-gurunya adalah Hammad Ibn Khalid, Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn
Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktamar Ibn Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn
Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq Ibn Humam,
dan Musa Ibn Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih,
Hadits, tafsir, kalam, ushul, dan Bahasa Arab.[2]
Ibn Hanbal
dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur
sebentar di malam hari. Ia juga dikenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu
hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid membagi-bagikan beberapa keeping emas kepada
para ulama hadis, yang telah menjadi kebiasaan para Khalifah masa itu. Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh
Abdul Razaq mengambil segenggam dinar dari kantongnya dan memberikan kepada Ibn
Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Karena begitu
teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab
Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban Mihnah (inquistition) karena tidak
mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk. Akibatnya, beberapa kali ia harus
dipenjara. Nasib serupa dialaminya pada masapemerintahan pengganti Al-Ma’mun,
yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn
Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan
kemuliaan.
Diantara
murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu
Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq ASy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullahh. Kedua
orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn Hanbal.
Bukunya yang paling utama ialah al-Musnad yang
membuktikan keluasan pengetahuan dan penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam.
Buku tersebut terdiri atas tiga piluh ribu hdis yang disandarkan kepada lebih
dari tujuh ratus orang sahabat, diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari tujuh ribu
ratus hadis. Buku ini dan buku lainnya telah membantu menempatkan hadis pada
tempat yang proposional, sebagai salah satu sumber Fikih Islam.[3]
1.
Pemikiran imam
ahmad Ibn Hanbal
a)
Tentang
ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hanbal
lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil,
terutama yang berkaitandengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. Hal
itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat berikut.
(QS. Thaahaa:5) الرحمن على
العرش استوى
Artinya: “(yatiu) tuhan yang maha pemurah,
yang bersemayam di atas arsy.”
Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab: “Istiwa di
atas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja dia khendaki dengan
tiada batas dan tida seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dari pernyataan diatas, Tampak bahwa Ibn Hanbal
bersikap menyerahkan (tafwid) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada
Allah Rasul-Nya dan mensucikan-Nya dari dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama
sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
b)
Tentang Status
Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn
Hanbal, yang kemudian membuatnya di penjarakan beberapa kali, adalah tentang
status Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru)
ataukah tidak diciptakan yang karenanya Qadim? Faham yang diakui pemerintah,
yakni dinasty abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun,
Al-Mu’tashim dan Al-watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak
bersifat Qadim.[4]
D.
Riwayat Hidup
dan Pemmikiran Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin
Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim
Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah
dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar
melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia
mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama
Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan
perjalanan haji moyangnya itu.[5]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari
senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam
senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf
yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid
yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas
yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir
Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang
luas tentang filsafat.
Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga
pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memebrikan
pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa
sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di
istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah
sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa
pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306
M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga
pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memebrikan
pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa
sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di
istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah
sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa
pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306
M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
1.
Pemikiran
Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan
Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut:
a.
Sangat
berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b.
Tidak
memberikan ruang gerak kepada akal
c.
Berpendapat
bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d.
Di dalam Islam
yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
e.
Allah memiliki
sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.[6]
2.
Berikut ini merupakan pandangan
Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :
a.
Percaya sepenuh hati terhadap
sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya.
Sifat-sifat dimaksud adalah:
1)
Sifat Salabiyyah, yaitu qidam,
baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
2)
Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah,
iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
3)
Sifat khabariah (sifat yang
diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang
maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah
di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di
surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
4)
Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah
yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin,
khaliqul kaun dan lain-lain.
b.
Percaya sepenuhnya terhadap
nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan
lain-lain.
c.
Menerima sepenuhnya sifat dan
nama Allah tersebut dengan:
1)
Tidak mengubah maknanya kepada
makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
2)
Tidak menghilangkan pengertian
lafaz (min ghoiri ta’thil)
3)
Tidak mengingkarinya (min ghoiri
ilhad)
4)
Tidak menggambar-gambarkan bentuk
Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif
at-takyif)
5)
Tidak menyerupakan (apalagi
mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili
rabb ‘alal ‘alamin).
Berdasarkan alasan
diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya,
ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya
dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibnu Taimiyah
mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan iktiar manusia, yaitu:
1. Allah pencipta segala sesuatu;
2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta
kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk
membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah
Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun
teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah
suatu hal yang mustahil.[8]
Dikatakan oleh Watt
bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang
mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan
manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat
diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu
juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang
mustahil.[9]
KESIMPULAN
Dari
penjelasan dia tas dapat di simpulkan bahwa :
a.
Yang dimaksud
dengan salah adalah Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu
generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah
orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan
Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam
b.
Bahwa imam
ahmad bin hanbal lahir di bagdad
tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M
c.
Ada 2 pokok
pemikiran dari imam ahmad bin hanbal yaitu:
1.
Ayat-ayat
mutasabihat
2.
Tentang status
al-qur’an
d.
Bahwa Ibnu
Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun
661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun
729 H
Pemikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut:
1.
Sangat
berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
2.
Tidak
memberikan ruang gerak kepada akal
3.
Berpendapat
bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
4.
Di dalam Islam
yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
5.
Allah memiliki
sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
e.
Berikut ini merupakan pandangan
Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah : Percaya sifat-sifat allah,
diantaranya:
1)
Sifat Salabiyyah.
2)
Sifat Ma’ani,
3)
Sifat khabariah
4)
Sifat Idhafiah
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2011.
Sirajudin
Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987)
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
Hanafi, pengantar teologi islam(jakarta;pustaka alhusna,1992)
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, (Cirebon: Nurjati IAIN
_publisher, 2011)
Zainuddin,ilmu tauhid lengkap,(jakarta;rineka cipta 2008)
[1]
Zainuddin,ilmu tauhid lengkap,(jakarta;rineka cipta 2008)hal43-44
[2]
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011. Hlm.
54
[3]
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2000. Hlm. 83
[4] Hanafi,
pengantar teologi islam(jakarta;pustaka alhusna,1992)hlm138-139
[6]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Hlm. 115-116
[7]
Ibid. hal,116-117
[8]
Ibid. hal,117
[9] Mustopa,
Op. Cit. Hlm. 58
0 komentar:
Post a Comment