Wednesday, January 6, 2016

ALIRAN KHAWARIJ



 KHOIRUL AMRI
TAUHID DAN ILMU KALAM
Jurusan syari’ah/prodi ekonomi syari’ah
STAIN JURAI SIWO METRO


Pendahuluan
       Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.

I.1.  Munculnya perbedaan antara umat Islam
       Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
       Pada masa nabi Muhammad berada di Madinah dengan status sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam bersatu di bawah satu kekuasaan politik. Setelah beliau wafat maka muncullah perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah kepemimpinan. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga.
       Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.
       Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.

I.2.  Aliran-aliran teologi Islam
       Persoalan “dosa besar” ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran pemikiran karena ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang bisa menjadi kafir karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran Khawarij mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh. Paham Khawarij ini memicu munculnya paham yang berseberangan yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosanya terpulang kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak. Paham ini dilontarkan oleh aliran Murji’ah. Sementara aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir tapi juga tidak bisa disebut mukmin. Mereka berada pada posisi antara keduanya yang dikenal dengan istilah al-manzilah baina al-manzilatain.

       Dalam hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada dua aliran yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka dalam berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act. Menurut Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme. Dalam masalah ini aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mu’tazilah yang juga mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu sehingga manusia diminta pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul Hasan al-Asy’ari (935 M) seorang pengikut Mu’tazilah yang keluar dari Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang disebut dengan Asy’ariah memilih posisi lebih dekat ke Jabariah.Menurutnya seluruh perbuatan manusia adalah atas kehendak Allah hanya saja manusia, menurutnya, bisa berikhtiar. Selain Asy’ariah, Tahwiah dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.

II.    Sejarah Aliran Khawarij

A.   Pengertian Khawarij
       Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
       Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
       Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,

“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”

       Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku-buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.

B.    Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
       Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW.    Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
       Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda:
       “Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari Muslim)
       Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya:
       “Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33)
       Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
       Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
       “Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)

Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan indah; tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
       Ciri khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari Muslim)

       Sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya yaitu Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu. Mereka membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma milik seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan seraya berkata: “Ambillah seluruhnya apa yang kalian mau!” Pimpinan khawarij itu menjawab dengan arif: “Kami tidak akan mengambilnya kecuali dengan membayar harganya”. (Lihat al-Milal wan Nihal)
       Maka kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari niat mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah kaum muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan teror, pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri.
       Ciri berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
       “Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
       Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat jelek yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“ Khawarij adalah anjing-anjing neraka. “ (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)

C.   Sejarah Kelahiran Khawarij
       Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
       Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
       Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
       Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
       Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
       Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
       Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
       Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).

       Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
       Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).

D.   Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
       Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik.
       Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
       Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
       Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
       Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang mengatakan; “Ahabbukum ilayya akramukum li kitâbillah.
       Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman.
       Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
       Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka.
       Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.

E.    Sifat-sifat Khawarij
1.    Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2.    Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang-orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar-pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3.    Berlebih-lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang-orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa-apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4.    Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya

Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,

“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”

Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.

Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5.    Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang-orang Khawarij umurnya masih muda-muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6.    Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al-Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7.    Nilai Khawarij
Orang-orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8.    Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al-Masih Ad-Dajjal”
9.    Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”

III.   Tokoh dan Sekte Khaarij
       Abdullah bin Wahb ar-Rasibi sebagai pemimpin mereka.Dalam perkembangan selanjutnya, Khawarij berpecah-pecah ke beberapa kelompok dan aliran. Walaupun Khawarij berpecah, mayoritas dari mereka tetap memiliki pandangan sama dalam tiga hal:
       Pertama: Persamaan pandangan mengenai politik dalam memilih pemimpin. Mereka sepakat bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari etnik, ras, kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi. Hal ini disyaratkan sebab tiada kemuliaan bagi seseorang yang beriman kecuali ketaqwaannya.
Dan apabila seorang pemimpin berlaku zalim dan menyimpang daripada amanah rakyat, maka wajib diturunkan dan diperangi bersama.

       Kedua: Khilafah (kepemimpinan) harus mengikuti sistim permusyawaratan (syuraa). Kedua prinsip ini tentunya mengingatkan kita pada sistem demokrasi sekarang, di mana pemilihan pemimpin ditentukan oleh rakyat atau dengan cara pilihan raya. Dan hal ini membuktikan bahwa Islam lebih dahulu mengenal sistem demokrasi.
       Ketiga: Persamaan pandangan yang berkenaan dengan aqidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman secara keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada para Rasul-Nya, medirikan sholat, berpuasa dan mengamalkan segala rukun Islam dengan sempurna lalu ia melakukan dosa besar, maka orang tersebut menurut anggapan Khawarij telah kafir.

Berikut ini uraian tentang sebagian kesesatan golongan-golongan Khawarij:

       Sekte ini didirikan oleh Nafi’ bin Azraq, dan merupakan sekte Khawarij yang terbesar dan yang paling banyak memiliki pengikut. Aliran ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke 7 M) di daerah perbatasan Irak dan Iran. Mereka mengkafirkan imam Ali, Aisyah dan para sahabat lainnya, termasuk Usman, Thalhah, Zubair, dan Abdullah bin Abbas.
       Terdapat beberapa pandangan yang menyesatkan dalam sekte ini, seperti: tidak mengakui hukuman rajam terhadap pezina, pelaku ma’siat hukumnya kafir syirik, dan kalau mati sebelum bertaubat maka seluruh amalan baiknya ditolak dan akan ditempatkan dalam neraka jahannam, kekal untuk selama-lamanya. Aliran ini juga dikenal senang mengkafirkan orang lain. Dan terdapat beberapa kriteria yang mereka sepakati tentang seseorang yang dimasukkan dalam kategori musyrik atau kafir, yaitu:
Semua orang Islam yang tidak sepaham dengan azariqah.
Orang yang sepaham dengan azariqah tetapi tidak mau berhijrah ke kalangan mereka.
       Berdasarkan prinsip ini, pengikut Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai wilayah Islam (Dar al-Islam). Dan selain daerah itu dinilai sebagai kawasan kafir (Dar al-Kufr).

       Pendiri firqah ini adalah Najdah bin Uwaimir dari Bani Hanifah, penguasa daerah Yamamah dan Bahrein. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrim. Oleh karena itu pengikut Najdat memandang Nafi’ dan pengikutnya telah kafir. Melihat dari pernyataan pengkafiran ini, sebenarnya kelompok Najdat-pun adalah sebuah kelompok ekstrim.
       Terlebih lagi pemahaman mereka bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan kekal dalam neraka. Sementara pengikut mereka tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Kelompok ini berasumsi bahwa untuk mengukur suatu dosa apakah itu dosa besar ataukah kecil dilihat dari apakah pelakunya berbuat demikian karena ketagihan atau tidak, bertekad atau tidak.
       Seperti perbuatan berdusta, kalau pelakunya berterusan dan bertekad untuk berdusta, maka berdusta baginya dosa besar dan dapat dihukum kafir, sedangkan jika seorang berzina, mencuri, minum khamar namun dia tidak bertekad dalam melakukan perbuatan tersebut, maka ia tetap seorang mu’min bukan musyrik. Bagi mereka, berketerusan dalam dosa kecil menjadikan seseorang itu syirik. Dan mereka menggugurkan hukuman had dari pada peminum khamar.
       Selanjutnya sekte ini juga mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.

       Pendirian golongan ini dipelopori oleh Abdul Karim bin Ajrad. Dibandingkan dengan Azariqah, pandangan-pandangan kaum Ajaridah jauh lebih moderat. Mereka mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengatakan surah Yusuf bukan bagian dari surah al-Qur’an, surah tersebut hanyalah sebuah kisah yang disisipkan dalam al-Qur’an, alasannya, mustahil dalam al-Qur’an terdapat kisah percintaan.
       Dan mereka tidak sefaham dengan Azariqah yang mewajibkan seseorang berhijrah dari tempat dan wilayah mereka. Mereka tidak boleh merampas harta dalam peperangan, kecuali harta orang yang mati terbunuh. Dan mereka tidak menganggap musyrik anak-anak yang masih kecil, atau dengan kata lain tidak ada dosa turunan bagi anak yang dilahirkan dari orang tua yang kafir.

       Ziad ibn Asfar merupakan pendiri golongan ini. Dan bila dicermati, sebenarnya pemahaman golongan ini sepaham dengan pandangan Azariqah, namun lebih lembut dan lunak. Dalam masalah pengkafiran atau terminologi “Kufur” mereka berpendapat bahwa istilah tersebut memiliki dan mengandung dua arti, yaitu: kufur ni’mat dan kufur syirik. Bagi pandangan mereka taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh berupa tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir bila terancam keamanan dirinya.

       Golongan ini ditubuhkan oleh Yazid bin Anisah. Di antara pandangannya adalah: Allah swt akan mengutus seorang rasul dari kalangan ‘Ajam (non Arab), dan akan dibekali sebuah kitab seperti kitab yang diberikan kepada Rasul yang sebelumnya. Dan penurunan wahyu akan turun sekaligus, serentak dan utuh dalam satu kitab, yang bertujuan untuk menghapus syari’at Islam. Di samping itu, mereka berasumsi bahwa segala jenis perbuatan dosa kecil atau besar merupakan syirik.

       Didirikan oleh Maimun al-Ajradi. Golongan ini juga berpadangan sama dengan Ajaridah yang mengingkari surah Yusuf sebagai bagian daripada surah-surah al-Qur’an, sebab kisah percintaan tidak mungkin dikisahkan Allah swt dalam kitab suci-Nya. Golongan ini membolehkan seseorang menikahi cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Alasan yang dikemukakan pemimpin aliran ini adalah, bahwa al-Qur’an tidak menyebut wanita-wanita tersebut dalam kelompok wanita yang haram dinikahi. Hal ini terjadi karena pemimpin mereka berasal dari bangsa Majusi yang membolehkan perkawinan jenis ini.

       Golongan ini diprakarsai oleh Abdullah bin Ibadh at Tamimiy, dan muncul pada tahun 686 H. Di negara Oman penyebutannya diawali dengan huruf (A) menjadi ”Abadhiyah”, sedangkan di Afrika Timur huruf awalnya (I) ”Ibadhiyah”. Golongan Ibadhiyah merupakan golongan Khawarij yang moderat dan dekat dengan Ahlu Sunnah, oleh karena itu beberapa ulama dari Ibadhiyah menafikan diri daripada Khawarij.
       Dan golongan ini merupakan golongan Khawarij yang masih wujud dan eksis di Jazirah Arab terutama di negara Oman. Bahkan mayoritas muslim dan keluarga penguasa dalam kesultanan Oman adalah pengikut Ibadhiyah. Golongan ini juga dapat ditemui di Yaman, jazirah Arab Maghribi seperti Libiya, Tunisia dan Al-Jaza’ir. Namun golongan ini juga berpecah kepada beberapa kelompok-kelompok yang ajarannnya dipenuhi dengan nada ekstrim, di antaranya:

7.1. an-Nakariyah:
pendiri utamanya adalah Ibnu Fandin. Mereka mengharamkan shalat jum’at dibelakang pemimpin yang zalim. Sesungguhnya Allah memerintahkan perkara wajib dan bukan perkara sunnah. Menampar seseorang, melihat seseorang dengan nafsu syahwat, berciuman, dan memasuki tandas tanpa memakai sarung kesemuanya merupakan perbuatan dosa kecil.

IV.  Pemikiran

       Untuk mengamati tentang perkembangan pemikiran, khususnya kelompok Khawarij, tertumpu pada dua teori, yaitu: tekstual dan kontekstual, ketika memahami teks-teks ajaran agama Islam, baik yang ada dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Pendekatan konstektual (contextual approach) tampaknya digunakan untuk menta’wil pertanyaan-pertanyaan yang secara zhahir bertentangan dengan teologi yang dianutnya. Namun, pada umumnya, kaum Khawarij dalam memahami ayat atau hadits lebih menitikberatkan pada pendekatan tekstual (textual approach). Sebagai contoh misalkan; ketika berhadapan dengan ayat tentang kewajiban melaksanakan haji:
”…... Melaksanakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta”.
       Khawarij menetapkan bahwa orang yang meninggalkan haji menjadi kafir. Karena meninggalkan haji adalah dosa besar, maka yang berdosa telah menjadi kafir. Firman Allah:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang Diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”.
Semua orang yang berdosa telah memutuskan hukum untuk dirinya dengan landasan yang bukan wahyu. Karena itu ia menjadi kafir. Ayat ini disebutkan Allah beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya :”Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan bergembira ria. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka”.
Wajah orang yang fasik (pelaku dosa) akan berdebu, tentunya karena kekafirannya. Ayat itu diantaranya “… akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah” .
Dari ayat di atas menyatakan bahwa kezaliman adalah keingkaran dan kekafiran, sementara pelaku dosa sudah pasti orang zalim.
       Semua dalil di atas dipahami dalam bentuk makna dhahir (textual) ayat. Padahal kebanyakan ayat itu menjelaskan peristiwa tentang Musyrik Mekkah, sehingga sifat-sifat yang digambarkan adalah ditujukan kepada mereka. Di dalam dalil pertama, kekafiran bukanlah sifat dari orang yang tidak melaksanakan haji, tetapi orang yang mengingkari kewajiban haji. Karena Khawarij berpegang kepada makna zhahir nash, maka pemahamannya pun menjadi kurang tepat.

IV.1.      PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

       Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
       Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin.  Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
       Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia.  Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
       Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
       Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
       Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
       Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
       Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini. [19]
      
IV.2.      Akidah-akidah Aliran Khawarij

Setelah menjelaskan dan mengetahui beberapa golongan yang ada dalam lingkup aliran Khawarij, ternyata diantara mereka ada yang memiliki kesamaan presepsi dalam hal akidahnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1.  Khilafah atau kepemimpinan negara tertinggi bukanlah hak orang-orang tertentu, tetapi harus diadakan lewat pemilihan langsung oleh umat Islam. Apabila khalifah menyimpang dari kebenaran, wajiblah dipecat dan dibunuh.
     Dari sinilah maka kalau kita telaah bahwa yang namanya negara demokratis, pemilihan langsung, itu sudah ada sejak zaman dulu. Dan pemikiran tentang kultur –negara demokratis, itu bukan berasal dari negara-nagara Barat, melainkan berasal dari negara Islam (Timur). Jadi amat salah sekali, ada sebagian orang, yang berpendapat bahwa negara domokratis tidak sesuai dengan ajaran agama Islam atau dengan kata lain bukan ciri khas (bagian) dari negara Islam.
2.  Mengerjakan shalat, berpuasa, berhaji, dan ibadah-ibadah yang lain, serta menjauhi segala yang dilarang adalah bagian dari iman. Orang yang tidak melaksanakan ibadah itu dan tidak menjauhi larangan, tidak dinamakan mukmin, namun dinamakan fasik.

V.   Relevansi Kekinian

V.1.       Aliran Khawarij sebagai Bibit Gerakan Radikalisme Islam

          Sebenarnya radikalisme terjadi di semua agama di dunia. Dalam setiap agama selalu terdapat kelompok minoritas, militan, ekstrem dan radikal. Sedangkan dalam Islam, gejala kemunculan radikalisme telah disinyalir semenjak Rasulullah saw masih hidup.
          Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, dikisahkan ketika Rasulullah saw membagi fai' (harta rampasan perang) di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah (bani Tamim) melayangkan protes kepada Nabi Muhammad saw dengan mengatakan, "Bersikaplah adil wahai Muhammad" Nabi Muhammad menjawab, "Celaka kamu, tidak ada orang yang lebih adil dari aku, karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah”. Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhammad saw bersabda, Sayakunu ba'di min ummati qaumun yaqra'unal Quran, laa yujawwizu halaaqii-mahum, hum syarrul khalq wal khaliiqah" (Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca Alquran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk).
Hadis sahih di atas kemudian terbukti pasca-Nabi Muhammad saw seperempat abad kemudian. Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politis, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij. Pada saat khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir khalifah Ali bin Abi Thalib dengan dasar kesalahan beliau dalam arbitrase. Karena bagi Khawarij, laa hukma illa Allah, arbitrase itu hanya dari Allah.
          Kaum Khawarij, memang, telah punah, tetapi gagasan-gagasan dan pandangan-pandangannya masih tetap eksis hingga saat ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), yaitu Ulil Abshar Abdala yang menyatakan bahwa aksi teror yang dilakukan oleh sebagian umat Islam sebagai gejala munculnya Khawarij modern. Dulu, di zaman klasik, ada kelompok Khawarij yang begitu radikal dan mudah sekali mengkafirkan musuh-musuhnya. Kelompok-kelompok Islam modern yang memakai pendekatan teroretis adalah Khawarij modern. Orang-orang yang melakukan pemboman di Bali, hotel JW Marriot dan bom Kuningan adalah orang-orang yang semata-mata “marah” pada orang-orang yang mereka anggap sebagai “musuh Islam”. Mereka mempunyai tafsiran keagamaan yang radikal, bahkan mereka adalah orang-orang yang secara ibadah agama sangat shaleh. Tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Sa’duddin Ibrahim, mereka ini lebih banyak membahayakan Islam ketimbang membawa manfaat. Mereka, dengan tafsirannya itu, telah mengubah citra Islam dari agama perdamaian (rahmatan lil’alamin), menjadi agama teror, persis seperti orang-orang Khawarij di zaman klasik dulu.
          Maka gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini memang harus diakui eksistensinya. Mereka sebenarnya terpengaruh pola-pola Khawarij pada masa umat Islam periode awal. Kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya menggelisahkan kalangan nonmuslim, tetapi umat Islam pun terkena dampaknya. Karenanya, menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam untuk meluruskan pemahaman mereka atas agama Islam. Sikap mereka yang ingin menempuh jalan apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya merupakan cuatan dari pemahaman mereka yang sathiyyah (setengah-setengah), rigid dan belum tuntas terhadap ajaran Islam.

V           .2.          Pengaruh Perkembangan Aliran Khawarij terhadap Pemikiran Dunia Islam

          Diakui atau tidak atas kebenaran gerakan politik kaum Khawarij dan aliran pada masa awal yang telah memposisikan dari sebagai gerakan oposan (oposisi) terhadap pemerintahan yang sah, maupun gerakan keagamaannya yang memunculkan nuansa teologi di kalangan umat Islam masa awal. Mereka telah memberikan konstribusi penting bagi cara berpikir (rethinking) umat Islam sesudah mereka maupun sekarang, dalam meyelesaikan berbagai masalah agama maupun umat Islam itu sendiri. Yang terpenting dari itu semua adalah konstribusinya di bidang pemikiran dunia Islam (the most important contributions to muslim thinking on religious matters) .
          Demikian penegasan William M. Watt bahwa aliran Khawarij dan aliran masa awal telah berjasa bagi pemikiran Islam yang lebih mendasar, karena mereka berpandangan bahwa keputusan-keputusan praktis harus didasarkan pada prinsip-prinsip al-Quran. Namun kemudian, para penulis muslim mempermasalahkan paham keagamaan para penganut aliran itu. Demikian nampaknya mereka tidak berfikir bahwa aliran-aliran itu telah memberikan konstribusi positif bagi perkembangan pemikiran di dunia Islam.
          Oleh karena itu, jika kita perhatikan pendapatnya William M. Watt tampak bertolak belakang dengan para penulis sebelumnya yang memberikan tanggapan yang baik terhadap kaum Khawarij baik dari prespektif ajaran maupun gerakan politik. Padahal –diakui atau tidak- kaum Khawarij telah memberikan konstribusi pemikirannya terhadap kebebasan untuk mengekspresikan sikap dan kenyakinannya sekalipun menentang tradisi yang telah mapan yang diikuti oleh kebanyakan umat Islam. Hal ini hampir sama dengan apa yang diinginkan oleh kelompok JIL, JIL menghendaki bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan bebas. Dan kebabasan adalah anugerah terpenting yang diberikan Tuhan kepada manusia. Kebabasan berpendapat, selain itu, juga merupakan hak individu yang tak seorang pun berhak mencegahnya. Bahkan --dalam sebuah ayat al-Qur’an-- Tuhan pun tak mampu mencegah makhluknya untuk berpendapat (QS. al-Baqarah, 2: 30). Kebebasan berpikir adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah masyarakat. Masyarakat yang terkekang dan tak boleh mengemukakan pendapatnya, adalah masyarakat mandek yang tak memiliki masa depan.

VI.  Penutup

Dari paparan di atas dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa:

1.    Aliran Khawarij adalah sebagai sebuah pelopor dan pendobrak akan kefakuman dalam hal berfikir umat Islam. Selama itu umat Islam, hanya bersifat sami’na wa atha’na, baik masalah teologi maupun politik, tapi kaum Khawarij mengawali untuk membuka pintu demokratis di kalangan umat Islam. Walaupun mereka sangat ekstrim, tapi itu adalah sebagai sebuah tanggung jawab (sense of belong) terhadap kemurnian akan keimanan umat Islam.
2.    Walaupun disinyalir bahwa aliran/kaum Khawarij ini telah tiada (musnah), tapi ajaran-ajaran dan doktrinnya masih tetap eksis dan dipakai oleh sekelompok umat Islam sekarang ini, dengan sebuta Khawarij modern. Ini terbukti dengan julukan, yang diberikan kepada umat Islam sekarang-sekaran ini, yaitu Islam teroris. Karena di media masa maupun elektronik, hampir semua, pelaku terorisme adalah orang-orang yang memeluk dan mengaku beragama Islam.

Add to Cart

0 komentar:

Post a Comment