KHOIRUL AMRI
TAUHID DAN ILMU KALAM
Jurusan syari’ah/prodi ekonomi syari’ah
STAIN JURAI SIWO METRO
Pendahuluan
Berbicara
masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan
kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog
disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu
kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.
I.1. Munculnya perbedaan antara umat
Islam
Perbedaan
yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang
politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu,
meningkat menjadi persoalan teologi.
Pada
masa nabi Muhammad berada di Madinah dengan status sebagai kepala agama
sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam bersatu di bawah satu kekuasaan
politik. Setelah beliau wafat maka muncullah perselisihan pertama dalam Islam
yaitu masalah kepemimpinan. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat
Islam setelah nabi Muhammad diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada
masa pemerintahan Usman pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada
pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga.
Pembunuhan
Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama
menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah
keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan
posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari
jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting
point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam
kelompok-kelompok aliran pemikiran.
Sikap
Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang
Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik
dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan
Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah
(tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa
diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang
yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar”
sehingga layak dibunuh.
I.2. Aliran-aliran teologi Islam
Persoalan
“dosa besar” ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran pemikiran karena
ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang bisa menjadi kafir
karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran Khawarij
mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh. Paham Khawarij
ini memicu munculnya paham yang berseberangan yang mengatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosanya terpulang
kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak. Paham ini dilontarkan oleh aliran
Murji’ah. Sementara aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa orang yang melakukan
dosa besar tidak menjadi kafir tapi juga tidak bisa disebut mukmin. Mereka
berada pada posisi antara keduanya yang dikenal dengan istilah al-manzilah
baina al-manzilatain.
Dalam
hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada dua aliran
yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka dalam
berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act.
Menurut Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala
gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme.
Dalam masalah ini aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mu’tazilah
yang juga mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu
sehingga manusia diminta pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul
Hasan al-Asy’ari (935 M) seorang pengikut Mu’tazilah yang keluar dari
Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang disebut dengan Asy’ariah memilih
posisi lebih dekat ke Jabariah.Menurutnya seluruh perbuatan manusia adalah atas
kehendak Allah hanya saja manusia, menurutnya, bisa berikhtiar. Selain
Asy’ariah, Tahwiah dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Asy’ariyah dan Maturidiah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi disebut
juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.
II. Sejarah Aliran
Khawarij
A. Pengertian Khawarij
Secara
bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini
dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar
dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya
yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang
dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi,
nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka
menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual
(mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman
Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang
dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa
di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini
mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain
hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara
historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah
bid’ah Khawarij.”
Kemudian
hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah
hadits-hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan
Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau
hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan
fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij
masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama
masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob
berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah
Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku-buku yang membahas masalah ini
masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati
terhadap firqah ini.
B. Awal Mula Munculnya
Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
Sebenarnya
awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah
SAW. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain-
beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin
Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan
pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya.
Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot
dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian yang
tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia
mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuat adillah,
karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
Sungguh,
kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan
di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan
menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil.
Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang
memerah bersabda:
“Siapakah
yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga
Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.”
(HR. Bukhari Muslim)
Saat
itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan
munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana
disebutkan dalam riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya
orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa
kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa
mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.”
(HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33)
Demikianlah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi
semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah
puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama
ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan
keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun
kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil
faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya
sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati
kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya
anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka
adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)
Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri
dari kaum khawarij, yakni mereka dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan indah;
tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai
ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Ciri
khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan
orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang
ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya.
Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka
akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya.
Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya
kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana
yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya yaitu
Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu. Mereka
membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu
dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma
milik seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan seraya berkata: “Ambillah
seluruhnya apa yang kalian mau!” Pimpinan khawarij itu menjawab dengan arif:
“Kami tidak akan mengambilnya kecuali dengan membayar harganya”. (Lihat
al-Milal wan Nihal)
Maka
kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari niat
mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah kaum
muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan teror,
pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri.
Ciri
berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh
pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan
semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang.
Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Akan
keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya.
Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka
tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya
anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka.
Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR.
Muslim)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat jelek
yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa bahwa
dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Khawarij adalah anjing-anjing neraka. “ (HR.
Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul
Jannah)
C. Sejarah Kelahiran Khawarij
Seperti
yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen
paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali
ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa
sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang
merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang
saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula
Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum
kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil
dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu
Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan
saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra.
menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah
mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan
Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya,
kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu
Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada
akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai
khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa
genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam
hukum Islam.
Artinya
menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti
proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip
dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa
lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan
sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia
telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar
prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk
bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil
dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian
watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras
memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama
lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya
dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka
cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah,
namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk
meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi
dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam
memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun
keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi
seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip
dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara
dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan
hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari
kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada
saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar
golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam
Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari
golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi
Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama
khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari
barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka
menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada
QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah
di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut
kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana
disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk
mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga
disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran
sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri
dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok
ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip
dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
D. Latar Belakang Ekstremitas
Khawarij
Seperti
yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem,
keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib
salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka
memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat.
Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi,
mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan
pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak
hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn
‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam
perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau
musyrik.
Untuk
mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka
menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya
menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka
qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu
al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn
Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri
nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al
Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang
menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki
pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan
analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka
sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an
atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka
persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit
dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah
persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu
kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat
pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka
penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal
Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim
dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij
waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih
tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti
para penghafal Al-Qur’an.
Uraian
yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’
ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat
Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan
di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The
Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary
dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal
Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn
’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang mengatakan; “Ahabbukum
ilayya akramukum li kitâbillah.
Istilah-istilah
lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang
melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl
min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan
lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal
Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia
di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan
pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan
disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah
disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah
‘Utsman.
Sejalan
dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat
mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati
serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka
kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu
pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh
karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam
pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah
lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan
terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk
kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij
terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti
tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap
penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Khawarij
tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn
‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman
(masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya
masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh
para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban,
konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola
oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang
penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri
mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang
sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara
terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain
‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah
tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’
dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara
berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan
pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak
memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan
‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan
ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa
mempertimbangkan hak-hak mereka.
Sebagai
manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi
kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah.
Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman
mengakui tindakan kekerasan ini.
E. Sifat-sifat Khawarij
1. Mencela dan
Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan
menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil
dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani
berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan
mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan
sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya
mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan
kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang-orang
Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka
kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan
menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar
menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar-pembesar
dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka
dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan
menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih-lebihan
dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas.
Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya
karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur
malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka
‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama.
Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang-orang Khawarij dengan
sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa-apanya,
apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya
ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada
apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama
Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka
mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar
meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya
bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk
menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian
Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang
berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini
dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung
memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari
perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan
ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya,
tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung
saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah
melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu
milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari
orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa
orang-orang Khawarij umurnya masih muda-muda yang hanya mempunyai bekal
semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan
Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an
dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak
memahaminya. Merasa bahwa Al-Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal
sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang-orang Khawarij keluar dari Islam
sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam
sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat.
“Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al-Masih
Ad-Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia
disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing
neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh
jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah
mereka.”
III. Tokoh dan Sekte Khaarij
Abdullah
bin Wahb ar-Rasibi sebagai pemimpin mereka.Dalam perkembangan selanjutnya,
Khawarij berpecah-pecah ke beberapa kelompok dan aliran. Walaupun Khawarij
berpecah, mayoritas dari mereka tetap memiliki pandangan sama dalam tiga hal:
Pertama:
Persamaan pandangan mengenai politik dalam memilih pemimpin. Mereka sepakat
bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan
tidak ada keharusan dari etnik, ras, kabilah atau keturunan tertentu, seperti
Quraisy atau keturunan Nabi. Hal ini disyaratkan sebab tiada kemuliaan bagi
seseorang yang beriman kecuali ketaqwaannya.
Dan apabila seorang pemimpin berlaku zalim dan
menyimpang daripada amanah rakyat, maka wajib diturunkan dan diperangi bersama.
Kedua:
Khilafah (kepemimpinan) harus mengikuti sistim permusyawaratan (syuraa). Kedua
prinsip ini tentunya mengingatkan kita pada sistem demokrasi sekarang, di mana
pemilihan pemimpin ditentukan oleh rakyat atau dengan cara pilihan raya. Dan
hal ini membuktikan bahwa Islam lebih dahulu mengenal sistem demokrasi.
Ketiga:
Persamaan pandangan yang berkenaan dengan aqidah. Mereka berpendapat bahwa
mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman, bukan iman
secara keseluruhan. Siapa saja yang beriman kepada Allah, kepada para
Rasul-Nya, medirikan sholat, berpuasa dan mengamalkan segala rukun Islam dengan
sempurna lalu ia melakukan dosa besar, maka orang tersebut menurut anggapan
Khawarij telah kafir.
Berikut ini uraian tentang sebagian kesesatan
golongan-golongan Khawarij:
Sekte
ini didirikan oleh Nafi’ bin Azraq, dan merupakan sekte Khawarij yang terbesar
dan yang paling banyak memiliki pengikut. Aliran ini lahir sekitar tahun 60 H
(akhir abad ke 7 M) di daerah perbatasan Irak dan Iran. Mereka
mengkafirkan imam Ali, Aisyah dan para sahabat lainnya, termasuk Usman,
Thalhah, Zubair, dan Abdullah bin Abbas.
Terdapat
beberapa pandangan yang menyesatkan dalam sekte ini, seperti: tidak mengakui
hukuman rajam terhadap pezina, pelaku ma’siat hukumnya kafir syirik, dan kalau
mati sebelum bertaubat maka seluruh amalan baiknya ditolak dan akan ditempatkan
dalam neraka jahannam, kekal untuk selama-lamanya. Aliran ini juga dikenal
senang mengkafirkan orang lain. Dan terdapat beberapa kriteria yang mereka
sepakati tentang seseorang yang dimasukkan dalam kategori musyrik atau kafir,
yaitu:
Semua orang Islam yang tidak sepaham dengan
azariqah.
Orang yang sepaham dengan azariqah tetapi tidak
mau berhijrah ke kalangan mereka.
Berdasarkan
prinsip ini, pengikut Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat
Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai
wilayah Islam (Dar al-Islam). Dan selain daerah itu dinilai sebagai kawasan
kafir (Dar al-Kufr).
Pendiri
firqah ini adalah Najdah bin Uwaimir dari Bani Hanifah, penguasa daerah Yamamah
dan Bahrein. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’,
pemimpin Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrim. Oleh karena itu
pengikut Najdat memandang Nafi’ dan pengikutnya telah kafir. Melihat dari
pernyataan pengkafiran ini, sebenarnya kelompok Najdat-pun adalah sebuah kelompok
ekstrim.
Terlebih
lagi pemahaman mereka bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka
dianggap kafir dan kekal dalam neraka. Sementara pengikut mereka tidak akan
kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Kelompok ini berasumsi bahwa
untuk mengukur suatu dosa apakah itu dosa besar ataukah kecil dilihat dari
apakah pelakunya berbuat demikian karena ketagihan atau tidak, bertekad atau
tidak.
Seperti
perbuatan berdusta, kalau pelakunya berterusan dan bertekad untuk berdusta,
maka berdusta baginya dosa besar dan dapat dihukum kafir, sedangkan jika
seorang berzina, mencuri, minum khamar namun dia tidak bertekad dalam melakukan
perbuatan tersebut, maka ia tetap seorang mu’min bukan musyrik. Bagi mereka,
berketerusan dalam dosa kecil menjadikan seseorang itu syirik. Dan mereka
menggugurkan hukuman had dari pada peminum khamar.
Selanjutnya
sekte ini juga mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini,
seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap
Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.
Pendirian
golongan ini dipelopori oleh Abdul Karim bin Ajrad. Dibandingkan dengan
Azariqah, pandangan-pandangan kaum Ajaridah jauh lebih moderat. Mereka
mengkafirkan pelaku dosa besar dan mengatakan surah Yusuf bukan bagian dari
surah al-Qur’an, surah tersebut hanyalah sebuah kisah yang disisipkan dalam
al-Qur’an, alasannya, mustahil dalam al-Qur’an terdapat kisah percintaan.
Dan
mereka tidak sefaham dengan Azariqah yang mewajibkan seseorang berhijrah dari
tempat dan wilayah mereka. Mereka tidak boleh merampas harta dalam peperangan,
kecuali harta orang yang mati terbunuh. Dan mereka tidak menganggap musyrik
anak-anak yang masih kecil, atau dengan kata lain tidak ada dosa turunan bagi
anak yang dilahirkan dari orang tua yang kafir.
Ziad
ibn Asfar merupakan pendiri golongan ini. Dan bila dicermati, sebenarnya
pemahaman golongan ini sepaham dengan pandangan Azariqah, namun lebih lembut
dan lunak. Dalam masalah pengkafiran atau terminologi “Kufur” mereka
berpendapat bahwa istilah tersebut memiliki dan mengandung dua arti, yaitu:
kufur ni’mat dan kufur syirik. Bagi pandangan mereka taqiyah hanya dibolehkan
dalam bentuk perkataan, tidak boleh berupa tindakan, kecuali bagi wanita Islam
yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir bila terancam keamanan dirinya.
Golongan
ini ditubuhkan oleh Yazid bin Anisah. Di antara pandangannya adalah: Allah swt
akan mengutus seorang rasul dari kalangan ‘Ajam (non Arab), dan akan dibekali
sebuah kitab seperti kitab yang diberikan kepada Rasul yang sebelumnya. Dan
penurunan wahyu akan turun sekaligus, serentak dan utuh dalam satu kitab, yang
bertujuan untuk menghapus syari’at Islam. Di samping itu, mereka berasumsi
bahwa segala jenis perbuatan dosa kecil atau besar merupakan syirik.
Didirikan
oleh Maimun al-Ajradi. Golongan ini juga berpadangan sama dengan Ajaridah yang
mengingkari surah Yusuf sebagai bagian daripada surah-surah al-Qur’an, sebab
kisah percintaan tidak mungkin dikisahkan Allah swt dalam kitab suci-Nya.
Golongan ini membolehkan seseorang menikahi cucu-cucu perempuan dari anak
laki-laki dan saudara perempuan. Alasan yang dikemukakan pemimpin aliran ini
adalah, bahwa al-Qur’an tidak menyebut wanita-wanita tersebut dalam kelompok
wanita yang haram dinikahi. Hal ini terjadi karena pemimpin mereka berasal dari
bangsa Majusi yang membolehkan perkawinan jenis ini.
Golongan
ini diprakarsai oleh Abdullah bin Ibadh at Tamimiy, dan muncul pada tahun 686
H. Di negara Oman penyebutannya diawali dengan huruf (A) menjadi ”Abadhiyah”,
sedangkan di Afrika Timur huruf awalnya (I) ”Ibadhiyah”. Golongan Ibadhiyah
merupakan golongan Khawarij yang moderat dan dekat dengan Ahlu Sunnah, oleh
karena itu beberapa ulama dari Ibadhiyah menafikan diri daripada Khawarij.
Dan
golongan ini merupakan golongan Khawarij yang masih wujud dan eksis di Jazirah
Arab terutama di negara Oman. Bahkan mayoritas muslim dan keluarga
penguasa dalam kesultanan Oman adalah pengikut Ibadhiyah. Golongan
ini juga dapat ditemui di Yaman, jazirah Arab Maghribi
seperti Libiya, Tunisia dan Al-Jaza’ir. Namun golongan ini juga
berpecah kepada beberapa kelompok-kelompok yang ajarannnya dipenuhi dengan nada
ekstrim, di antaranya:
7.1. an-Nakariyah:
pendiri utamanya adalah Ibnu Fandin. Mereka
mengharamkan shalat jum’at dibelakang pemimpin yang zalim. Sesungguhnya Allah
memerintahkan perkara wajib dan bukan perkara sunnah. Menampar seseorang,
melihat seseorang dengan nafsu syahwat, berciuman, dan memasuki tandas tanpa
memakai sarung kesemuanya merupakan perbuatan dosa kecil.
IV. Pemikiran
Untuk
mengamati tentang perkembangan pemikiran, khususnya kelompok Khawarij, tertumpu
pada dua teori, yaitu: tekstual dan kontekstual, ketika memahami teks-teks
ajaran agama Islam, baik yang ada dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Pendekatan
konstektual (contextual approach) tampaknya digunakan untuk menta’wil
pertanyaan-pertanyaan yang secara zhahir bertentangan dengan teologi yang
dianutnya. Namun, pada umumnya, kaum Khawarij dalam memahami ayat atau hadits
lebih menitikberatkan pada pendekatan tekstual (textual approach). Sebagai
contoh misalkan; ketika berhadapan dengan ayat tentang kewajiban melaksanakan
haji:
”…... Melaksanakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta”.
Khawarij
menetapkan bahwa orang yang meninggalkan haji menjadi kafir. Karena
meninggalkan haji adalah dosa besar, maka yang berdosa telah menjadi kafir.
Firman Allah:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang Diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”.
Semua orang yang berdosa telah memutuskan hukum
untuk dirinya dengan landasan yang bukan wahyu. Karena itu ia menjadi kafir.
Ayat ini disebutkan Allah beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya :”Banyak
muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan bergembira ria. Dan banyak (pula)
muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka
itulah orang-orang kafir lagi durhaka”.
Wajah orang yang fasik (pelaku dosa) akan
berdebu, tentunya karena kekafirannya. Ayat itu diantaranya “… akan tetapi
orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah” .
Dari ayat di atas menyatakan bahwa kezaliman
adalah keingkaran dan kekafiran, sementara pelaku dosa sudah pasti orang zalim.
Semua
dalil di atas dipahami dalam bentuk makna dhahir (textual) ayat. Padahal
kebanyakan ayat itu menjelaskan peristiwa tentang Musyrik Mekkah, sehingga
sifat-sifat yang digambarkan adalah ditujukan kepada mereka. Di dalam dalil
pertama, kekafiran bukanlah sifat dari orang yang tidak melaksanakan haji,
tetapi orang yang mengingkari kewajiban haji. Karena Khawarij berpegang kepada
makna zhahir nash, maka pemahamannya pun menjadi kurang tepat.
IV.1. PEMIKIRAN
POLITIK KHAWARIJ
Kelompok
Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai
sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya
kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran
kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
Khawarij
adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase
atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan
Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula
merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk
orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak
mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar
(Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang
perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah
menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat
sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij
terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan
mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan
oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya
terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal,
beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah
menjadi beberapa kelompok.
Menurut
mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah
tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua
manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima
perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan
mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima
pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum
menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan
ketentuan syari’at.
Suatu
hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah,
Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk
menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy
sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini,
al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada
pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada
masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum
Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang
disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama,
pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar –
benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang
khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at ,
serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib
dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua,
jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku
Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan
menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij
bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya,
apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan
mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau
keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga,
yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika
masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan
seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi
hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka
kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat,
orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan
dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika
pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam
mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang
jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa
saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain
dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan
pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan
manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang
sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura
untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan
kedemokrasian klompok ini. [19]
IV.2. Akidah-akidah
Aliran Khawarij
Setelah menjelaskan dan mengetahui beberapa
golongan yang ada dalam lingkup aliran Khawarij, ternyata diantara mereka ada
yang memiliki kesamaan presepsi dalam hal akidahnya. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Khilafah atau kepemimpinan negara
tertinggi bukanlah hak orang-orang tertentu, tetapi harus diadakan lewat
pemilihan langsung oleh umat Islam. Apabila khalifah menyimpang dari kebenaran,
wajiblah dipecat dan dibunuh.
Dari sinilah maka kalau kita telaah bahwa
yang namanya negara demokratis, pemilihan langsung, itu sudah ada sejak zaman
dulu. Dan pemikiran tentang kultur –negara demokratis, itu bukan berasal dari
negara-nagara Barat, melainkan berasal dari negara Islam (Timur). Jadi amat
salah sekali, ada sebagian orang, yang berpendapat bahwa negara domokratis
tidak sesuai dengan ajaran agama Islam atau dengan kata lain bukan ciri khas
(bagian) dari negara Islam.
2. Mengerjakan shalat, berpuasa,
berhaji, dan ibadah-ibadah yang lain, serta menjauhi segala yang dilarang
adalah bagian dari iman. Orang yang tidak melaksanakan ibadah itu dan tidak
menjauhi larangan, tidak dinamakan mukmin, namun dinamakan fasik.
V. Relevansi Kekinian
V.1. Aliran
Khawarij sebagai Bibit Gerakan Radikalisme Islam
Sebenarnya
radikalisme terjadi di semua agama di dunia. Dalam setiap agama selalu terdapat
kelompok minoritas, militan, ekstrem dan radikal. Sedangkan dalam Islam, gejala
kemunculan radikalisme telah disinyalir semenjak Rasulullah saw masih hidup.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, dikisahkan ketika Rasulullah saw
membagi fai' (harta rampasan perang) di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba
seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah (bani Tamim) melayangkan protes
kepada Nabi Muhammad saw dengan mengatakan, "Bersikaplah adil wahai
Muhammad" Nabi Muhammad menjawab, "Celaka kamu, tidak ada orang yang
lebih adil dari aku, karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah”.
Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhammad saw bersabda, Sayakunu ba'di min
ummati qaumun yaqra'unal Quran, laa yujawwizu halaaqii-mahum, hum syarrul khalq
wal khaliiqah" (Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku
yang membaca Alquran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu
sejelek-jeleknya makhluk).
Hadis sahih di atas kemudian terbukti
pasca-Nabi Muhammad saw seperempat abad kemudian. Pada tahun 35 H, khalifah
Utsman terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem.
Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga
terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut,
sungguh pun pada mulanya bernuansa politis, tetapi perkembangan selanjutnya
dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij. Pada saat
khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat
memvonis kafir khalifah Ali bin Abi Thalib dengan dasar kesalahan beliau dalam
arbitrase. Karena bagi Khawarij, laa hukma illa Allah, arbitrase itu hanya dari
Allah.
Kaum
Khawarij, memang, telah punah, tetapi gagasan-gagasan dan
pandangan-pandangannya masih tetap eksis hingga saat ini. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh seorang tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), yaitu Ulil Abshar
Abdala yang menyatakan bahwa aksi teror yang dilakukan oleh sebagian umat Islam
sebagai gejala munculnya Khawarij modern. Dulu, di zaman klasik, ada kelompok
Khawarij yang begitu radikal dan mudah sekali mengkafirkan musuh-musuhnya.
Kelompok-kelompok Islam modern yang memakai pendekatan teroretis adalah
Khawarij modern. Orang-orang yang melakukan pemboman di Bali, hotel JW Marriot
dan bom Kuningan adalah orang-orang yang semata-mata “marah” pada orang-orang
yang mereka anggap sebagai “musuh Islam”. Mereka mempunyai tafsiran keagamaan
yang radikal, bahkan mereka adalah orang-orang yang secara ibadah agama sangat
shaleh. Tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Sa’duddin Ibrahim, mereka ini lebih
banyak membahayakan Islam ketimbang membawa manfaat. Mereka, dengan tafsirannya
itu, telah mengubah citra Islam dari agama perdamaian (rahmatan lil’alamin),
menjadi agama teror, persis seperti orang-orang Khawarij di zaman klasik dulu.
Maka
gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini memang harus diakui
eksistensinya. Mereka sebenarnya terpengaruh pola-pola Khawarij pada masa umat
Islam periode awal. Kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya menggelisahkan
kalangan nonmuslim, tetapi umat Islam pun terkena dampaknya. Karenanya, menjadi
tanggung jawab seluruh umat Islam untuk meluruskan pemahaman mereka atas agama
Islam. Sikap mereka yang ingin menempuh jalan apa saja, menyalahkan siapa saja
yang tak sama pemahamannya merupakan cuatan dari pemahaman mereka yang
sathiyyah (setengah-setengah), rigid dan belum tuntas terhadap ajaran Islam.
V .2. Pengaruh
Perkembangan Aliran Khawarij terhadap Pemikiran Dunia Islam
Diakui
atau tidak atas kebenaran gerakan politik kaum Khawarij dan aliran pada masa
awal yang telah memposisikan dari sebagai gerakan oposan (oposisi) terhadap
pemerintahan yang sah, maupun gerakan keagamaannya yang memunculkan nuansa
teologi di kalangan umat Islam masa awal. Mereka telah memberikan konstribusi
penting bagi cara berpikir (rethinking) umat Islam sesudah mereka maupun
sekarang, dalam meyelesaikan berbagai masalah agama maupun umat Islam itu
sendiri. Yang terpenting dari itu semua adalah konstribusinya di bidang
pemikiran dunia Islam (the most important contributions to muslim thinking on
religious matters) .
Demikian
penegasan William M. Watt bahwa aliran Khawarij dan aliran masa awal telah
berjasa bagi pemikiran Islam yang lebih mendasar, karena mereka berpandangan
bahwa keputusan-keputusan praktis harus didasarkan pada prinsip-prinsip
al-Quran. Namun kemudian, para penulis muslim mempermasalahkan paham keagamaan
para penganut aliran itu. Demikian nampaknya mereka tidak berfikir bahwa
aliran-aliran itu telah memberikan konstribusi positif bagi perkembangan
pemikiran di dunia Islam.
Oleh
karena itu, jika kita perhatikan pendapatnya William M. Watt tampak bertolak
belakang dengan para penulis sebelumnya yang memberikan tanggapan yang baik
terhadap kaum Khawarij baik dari prespektif ajaran maupun gerakan politik.
Padahal –diakui atau tidak- kaum Khawarij telah memberikan konstribusi
pemikirannya terhadap kebebasan untuk mengekspresikan sikap dan kenyakinannya
sekalipun menentang tradisi yang telah mapan yang diikuti oleh kebanyakan umat
Islam. Hal ini hampir sama dengan apa yang diinginkan oleh kelompok JIL, JIL
menghendaki bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan bebas. Dan
kebabasan adalah anugerah terpenting yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Kebabasan berpendapat, selain itu, juga merupakan hak individu yang tak seorang
pun berhak mencegahnya. Bahkan --dalam sebuah ayat al-Qur’an-- Tuhan pun tak
mampu mencegah makhluknya untuk berpendapat (QS. al-Baqarah, 2: 30). Kebebasan
berpikir adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah masyarakat. Masyarakat yang
terkekang dan tak boleh mengemukakan pendapatnya, adalah masyarakat mandek yang
tak memiliki masa depan.
VI. Penutup
Dari paparan di atas dapatlah kita mengambil
kesimpulan bahwa:
1. Aliran Khawarij
adalah sebagai sebuah pelopor dan pendobrak akan kefakuman dalam hal berfikir
umat Islam. Selama itu umat Islam, hanya bersifat sami’na wa atha’na, baik
masalah teologi maupun politik, tapi kaum Khawarij mengawali untuk membuka
pintu demokratis di kalangan umat Islam. Walaupun mereka sangat ekstrim, tapi
itu adalah sebagai sebuah tanggung jawab (sense of belong) terhadap kemurnian
akan keimanan umat Islam.
2. Walaupun disinyalir
bahwa aliran/kaum Khawarij ini telah tiada (musnah), tapi ajaran-ajaran dan
doktrinnya masih tetap eksis dan dipakai oleh sekelompok umat Islam sekarang
ini, dengan sebuta Khawarij modern. Ini terbukti dengan julukan, yang diberikan
kepada umat Islam sekarang-sekaran ini, yaitu Islam teroris. Karena di media
masa maupun elektronik, hampir semua, pelaku terorisme adalah orang-orang yang
memeluk dan mengaku beragama Islam.
0 komentar:
Post a Comment