Tuesday, January 5, 2016

HUKUM YANG TERKANDUNG DALAM AL QUR’AN DAN QIYAS DAN RUKUN QIYAS











PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2014/2015





KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT dengan rahmat dan ridhonya pembuatan Makalah Mata Kuliah USHUL FIQH.   dapat penulis selesaikan, sholawat teriringkan salam tetap tercurahkan kepada baginda kita Rasulallah SAW dan kepada sahabat-sahabat beserta keluarganya dan kita semua. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah karna berkat pengarah dari beliau penulis dapat membuat dan menyelesaikan makalah ini. Dan terima kasih juga penulis ucapkan untuk semua pendukung dalam pemuatan makalah ini, sehingga berjalan dengan baik dan lancar.
 Kami mohon maaf apabila dalam penyusunan dan penulisan makalah ini terdapat kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun makalah ini demi kesempurnaan makalah ini.



Metro,    Mei 2015



Penulis









DAFTAR ISI


COVER........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB  I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah...................................................................... 4
B.     Rumusan Masalah................................................................................ 5
C.     Tujuan Penulisan.................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Qur’an.......................................................................... 6
B.     Hukum-hukum Dalam Al-Qur’an........................................................ 8
C.     Pengertian Qiyas................................................................................. 11
D.    Rukun-Rukun Qiyas........................................................................... 13

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan......................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 19

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna jika dibandingakan dengan agama-agama yang lain, dan kitab sucinya adalah Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam yang merupakan sebuah pedoman dan petunjuk bagi manusia dalam mengatasi berbagai macam permasalah yang dihadapinya. Di dalam Al-Qur’an telah di jelaskan berbagai macam tentang hukum-hukum yang dapat menuntun manusia ke arah jalan yang lebih baik, yaitu jalan yang di rido’i oleh Allah SWT, di samping mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut sifatnya tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang masih memerlukan penafsiran dan memepunyai potensi untuk berkembang. Selain Al-Qur’an banyak lagi sumber-sumber hukum didalam agama Islam yaitu seperti, As-Sunah, Ijma’, Qiyas, dan sebagainya.
Ada banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, karena di dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab itu diperlukan suatu cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan suatu hukum.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan pendapat yaitu: penggunaan pendapat yang masih merujuk kepada Nash dan penggunaan pendapat secara bebas tanpa mengaitkannya kepada Nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas.
Dasar pemikiran qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. ‘illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Obyek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki nashAtas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap muslim meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash syara’, namun sebagian yang lain tidak jelas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Yang di Maksud Dengan Al-Qur’an?
2.      Apa Saja Hukum-Hukum yang Terkandunga Dalam Al-Qur’an?
3.      Apakah Yang Dimaksud Dengan Qiyas?
4.      Apa Saja Rukun Qiyas?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Agar Kita Mengetahui Apa Yang Dimaksud Al-Qur’an
2.      Agar Kita Mengetahui Hukum Yang Ada Dalam Al-Qur’an
3.      Agar Kita Mengetahui pengertian Qiyas
4.      Mengetahui Rukun-Rukun Qiyas









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab yang berisi firman-firman Allah swt yang diwahyukan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, diawali dengan surat Al-fatihah dan diakhiri dengan An-nas. Pemakaian nama Al-Qur’an sendiri dinukilkan dari surah Al-Qiyamah ayat 17 dan ayat 18. Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6.236 ayat (Jumhur ulama mengatakan 6.666 ayat, Ulama Mekkah 6.212 ayat, ulama Basrah 6.204 ayat dan ulama syam mengatakan 6.226 ayat), 77.439 kata, 7.4437 kalimat dan 323.015 huruf (ada yang mengatakan 325.345 huruf).
Dari segi bahasa  terdapat berbagai pendapat ahli mengenai pengertian Al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal Al-Qur’an dibubuhi huruf hamzah (Dibaca Al-Qur’an). Pendapat lain mengatakan tanpa dibubuhi huruf hamzah (Dibaca Al-Quran). Al syafii, al-farra dan al-asy’ari termasuk diantara ulama yang berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an ditulis tanpa huruf hamzah.[1]
Al syafii mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an yang terkenal itu bukan musytaq (pecahan dari kata apapun) dan tidak pula berhamzah. Lafal tersebut sudah lazim didalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikina, lafal tersebut bukan berasal dari akar kata Qara-a (membaca), sebab kalau akar katanyaQara-a maka setiap yang biasa dibaca dinamai Al-Qur’an. Lafal tersebut memang lafal khusus bagi Al-Qur’an, sebagaimana nama Taurat dan Injil.[2]
Secara terminologi Al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapa definisi, antara lain:[3]

كَلَا مُ اللهِ ا لْمُنَزَّلُ عَلَي مُحَمَّدٍ اَ لْمَكْتُوْبُ فِي ا لْمُصْحَفِ باِ للِّسَا نِ الْعَرَ بِيِّ اَلْمَنْقُوْل اِلَيْنَا بِا لتَّوَ اتِرِاَلْمَبْدُوْءُ بِالفَاتِحَةِ اَلْمَخْتُوْمُ بِالنَّاسِ
Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, yang ditulis dalam mushaf yang berbahasa Arab, telah dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan jalan mutawatir, dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan disudahi denga Surah An-Nas.

Menurut ahli ushul, ada yang menambahkan dengan perkataan:
اَلْمُتَغَبَّدُ بِتِلاَ وَ تِهِ
Yang kita beribadah, dengan membacanya (yang dipandang membacanya sudah ibadah)

Ali Ash-Shabuni, membatasi pengertian Al-Qur’an sebagai berikut:
اَلْقُرْ أنُ هُوَ الَّلَفْظُ الْعَرَبِيُّ الْمُنَزَّلُ عَلَي محمدٍ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا بِالتَّوَاتِرِ
Al-Qur’an adalah lafal Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir.

Dr. Abdul Wahab Khallaf, mendefinisikan Al-Qur’an dengan:
 اَلْقُرْاَنُ هُوَ كَلَامُ اللهِ اَلمُعْخِزُ المُنْزِلُ عَلَي خَاتَمِ الْأنْبِيَآءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ بِوَاسِطَةِ الْأَمِيْنِ جبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامِ الْمَكْتُوْبُ فِي الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا نِالتَّوَاتِرِالْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَبْدُؤُبِسُوْرةِ الْفَاتِحَةِ وَ الْمُخْتَتَمُ بِسُوْرَةِ النَّا سِ
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan Malaikat Jibri (Ar-Ruh Al-Amin) ke dalam hati Rasulullah saw, dengan menggunakan bahasa Arab serta makna-makna yang benar untuk dijadikan hujjah (argumentasi) dalam pengakuannya sebagai Rasul dan untuk dijadikan sebagai dustur (undang-undang) bagi seluruh umat manusia, dimana mereka mendapatkan petunjuk daripadanya, di samping merupakan amal ibadah bagi kaum muslimin yang membacanya.

B.     Hukum-Hukum Dalam Al- Qur’an
Di dalam Al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk Al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula Al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh puasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam Al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an secara garis besardapat dibagi 3 macam yaitu:
1.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (akidah) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai kitab-Nya, Malaikat, hari Kemudian dan sebagainya yang berhubungan dengan doktrin ‘akidah.
2.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan.
3.      Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukalaf. Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fikih, hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu:
a)      Hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang disebut dengan ibadah, bersifat tetap dan tidak menerima perubahan dan harus dikerjakan sebagaimana yang diterangkan.
b)      Hukum-hukum mu’amalat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.

Dalam betuk hukum Al-Qur’an selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
a)      Tidak memberatkan,
b)      Tidak memperbanyak,
c)      Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.

Abdul Wahhab Khallaf merinci macam hukum-hukum bidang mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai berikut:
1.      Hukum keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan sampai masalah talak, rujuk, ‘iddah, dan sampai msalah warisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat. Surat al-Baqarah ayat 234
2.      Hukum mu’amalat (perdata), yaitu hukum-hukum yang  mengatur hubungan seseorang dengan sesamanya, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, utang piutang, dan hokum perjanjian. Hukum-hukum jenis ini mengatur hubungan perorang, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan, dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat yang mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat. Contoh: surat an-Nisa’ ayat 29
3.      Hukum jinayat (pidana), yaitu hokum-hukum yang menyangkut dengan tindakan kejahatan. Hukum-hukum seperti ini bermaksud untuk memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sanksi hukumnya, larangan menganiaya orang lain, berzina, mencuri, serta ancaman hokum atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 30 ayat. Surat al-Maidah ayat 90
4.      Hukum al-murafa’at (acara), yaitu hokum-hukum yang berkaitan dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Hokum-hukum seperti ini dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk itu diatur hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal ini berjumlah sekitar 13 ayat.
5.      Hukum ketatanegaraan, yatiu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan penguasa dengan rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan masyarakat. Ayat ayat yang berhubungan dengan masalah ini sekitar 10 ayat. An-Nahl ayat 90
6.      Hukum antara bangsa (internasional), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara Negara islam dengan non islam, dan tata cara pergaulan dengan non muslim yang berada di Negara islam. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 25 ayat. QS Al-Hujarat ayat 13
7.      Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin dari harta rang-orang kaya. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang yang berupaya dan orang-orang yang tidak berupaya, dan antara Negara dan perorangan. Ayat-ayat yang mnegatur bidang ini sekitar 10 ayat.
C.    Pengertian Qiyas
Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk mengistimbatkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas.[4]
Qiyasmenurutbahasaberartimengukur (التقدير), persamaan (المساوة), mengetahuidengananggapan (الإعتبار), sepertikalimat قست الارض بالمتر “Akumengukurtanahdengansatuanmeter”قست الثوب بالذراع “Akumengukurbajudenganmenggunakansiku/hasta”. qiyasmengharuskanadanyaduaperkara, yang salahsatunyadisandarkankepada yang lainsecarasama. Dapatditariksebuahkesimpulan, Qiyasmenurutbahasaberartimengukur, membandingkan, ataumenyamakansesuatudengan yang lain.
Qiyasmenurutistilah ushulfigh adalahmenyertakansuatuperkaraterhadapperkara yang lainnyadalamhukumsyara’ karenaterdapatkesamaan ‘illat diantarakeduanya. Yang menyebabkanadanyaqiyasadalahadanyakesamaanantara al-maqis (perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqisalaih (perkara yang diqiyasi) dalamsatuperkara, yakniadanyapenyatuantarakeduanya. Perkaratersebutadalah ‘illat.
Ada beberapadefenisitentangqiyas yang telahdikemukakanoleh para ulama UshulFigh, kadangberbedarumusannyanamunmaksudnyatetapsama.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan :
إلحاق أمر غير منصوص علي حكمه الشرعي بأمر منصوص علي حكمه لإشتراكهما في علة الحكم.
“menyatukan sesuatu yang tidak desebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya”.
Dari defenisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul figh dapat diambil gambaran bahwasanya qiyas sebagai metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan sesuatu hukum, ‘illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Obyek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki nash.
Qiyasdapatjugadiartikanmenurutanalogi. Sebuahprinsipuntukmenerapkanhukum yang terkandungdalam al-Qur’an, ketetapansunnah nabi padapermasalahan yang tidakjelasketeapannya di dalamkeduasumberhukum islam. Ataumengukursesuatudengansesuatu yang lainuntukdiketahuiadanyapersamaanantarakeduanya.

Beberapa contoh qiyas, yaitu:[5]
1.      Menjual sesuatu barang yang dalam proses pembelian orang lain,  dilarang dengan hadis:
لَا يَحِلُّ لِلْاءِ نْسَانِ يَخطَبُ فِي خِطْبَةِ اَخِيهِ وَلَاأَنْ تُبَا عَ عَلَي بَيْعِ أَخِيْهِ
(Tidak halal bagi seorang melamar wanita yang sudah dilamar saudaranya dan menjual barang yang sudah dijual kepada saudaranya)
Diqiyaskan kepadanya menyewakan sesuatu yang di sewakannya kepada sudaranya karena sama-sama menyakiti pihak lain.
2.      Mempoligami antara dua orang isteri yang bersaudara diharamkan dengan ayat Qur’an dan mempoligami antara dua istri yang berhubungan anak kemenakan dilarang dengan hadis. Diqiyaskan kepadanya mempoligami dua orang istri yang berhubungan muhrim, karena sama-sama membawa putusnya hubungan keluarga (silahturrahmi)

Dengan memperhatikan definisi qiyas dan contohnya tersebut terungkap beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Peristiwa hukum baru yng tidak disebutkan hukumnya oleh nash dan untuk mencaari hukum tersebutlah sasaran qiyas disebut furuí / cabang dan maqis
2.      Peristiwa hukm yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebut asal atau maqis’alaih
3.      ‘illat hukum, yaitu yang dijadikan syari’ sebagai ladasan hukum terhadap peristiwa hukum yang disebut nash.

D.    Rukun-rukun Qiyas
Istinbath hukum berdasarkan qiyas harus memunuhi empat rukun. Bila salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka analogi hukum menjadi cacat. Rukun tersebut adalah: al-ashl, al-far’u, hukm al-ashl, dan al-‘illah. Masing-masing rukun ini akan dibahas satu persatu.

1.      Al-ashl
Al-ashl memiliki dua pengertian :
(1) ma bunia alaihi ghairuhu (sesuatu yang dibangun diatasnya),
(2) Sesuatu yang dapat diketahui dengan sendirinya tanpa butuh bantuan lain.[6]
Ulama berbeda pendapat mengenai ashl bagi qiyas. Dalam contoh keharaman nabizyang dikiaskan pada keharaman khamar, maka mana yang menjadi ashl qiyas?Apakah nash yang  mengharamkan khamar, atau khamar itu sendiri, atau hukum yang  terdapat dalam khamar- haram?[7]
Bagi mutakallimun: Ashl adalah nash yang menunjukkan keharaman khamar. Karena nash merupakan sandaran atas keharamannya. Sedangkan fuqahaperpendapat, yang menjadi ashl adalah khamar yang haram itu. Dan menurut pendapat lain, ashl adalah hukum yang terdapat dalam khamar.
Ketiga pendapat tersebut menyisakan celah kritikan, sebab defenisi mesti jami’ wa mani’. Dan tanpa terlibat jauh dalam perdebatan di atas. Pendapat yang lebih kuat adalah apa yang dikemukakan oleh para fuqaha yaitu ashl bagi qiyas adalahkhamar,  yaitu  perkara hukum (mahal al hukm) yang memiliki nashAl-ashl disebutal maqis alaihal-mahmul alaih, dan al-musyabbah alaih. Sedangkan far’u adalah al-maqis (yang dikiaskan).
Para ulama ushuliy memberi banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ashl. Namun syarat yang dikemukakan tumpang tindih dengan syarat hukum ashal. Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, syarat ashal hanya satu saja yaitu, bahwa ashl bukan merupakan  far’u bagi ashl yang lain.

2.      Al-Far’u
Al-far’u adalah perkara yang belum memiliki nash dan ijma’ dan perkara yang dituntut penetapan hukumnya. Posisi al-far’u sebagai al-maqis bagi ashl. Jadi al-far’u adalah peristiwa dan kejadian yang belum memiliki status hukum, dan hendak dicari keputusan hukumnya melalui metode qiyas.
Al-far’u dapat menjadi al maqis bagi ashl bila memenuhi syarat-syarat tertentu. Pada hakikatnya syarat al-far’u yaitu:

1.      Al-far’u tidak boleh mendahului ashl dalam penetapan hukumnya.
2.      Al-far’u tidak memiliki nash dan ijma’.
3.      Al-far’u memiliki kesamaan illah hukum ashl.[8]

Bila syarat-syarat-syarat di atas tidak dipenuhi al-far’u maka qiyas menjadi cacat. Karena al-far’u adalah perkara yang belum ada penetapan hukumnya dan dianalogikan kepada ashl. Proses analogi akan sempurna bila terdapat kesamaanillah antara ashl dan far’u.
Bagi orang Indonesia, beras dikiaskan dengan gandum dalam pengeluaran zakat. Beras merupakan far’u yang ketetapan hukumnya belum ada dalam nash dan ijma’serta penetapan hukumnya berlangsung setelah hukum ashl. Beras dan diqiaskan terhadap gandum dikarenakan kedua-duanya merupakan makanan pokok bagi penduduk setempat.

3.      Hukm al-Ashl
Hukm ashl adalah Hukum syar’I pada ashl yang diperoleh dari nash. Dalam contoh qiyas nabiz terhadap khamar, yang menjadi hukum ashl adalah keharamankhamar. Keharaman ini diperoleh dari nash.
Hukm ashl memiliki syarat-syarat tertentu. Imam al-Amidi membuat delapan syarat hukum ashl, yaitu:
a)        Hukum ashl bersifat syar’i
b)        Hukum ashl tsabit tidak mansukh
c)        Dalil penetapannya bersifat syar’i
d)       Hukum ashl tidak lahir (cabang) dari hukum ashl lainnya
e)        Hukum ashl tidak lari (ma’dul) dari hukum-hukum qiyas. Lari dari hukum qiyasterbagi dua. (1). Sesuatu yang tidak diketahui maknanya seperti bilangan rakaat sholat, jumlah nishab dan kafarat. Hal ini tidak bisa menjadi qiyas bagi yang lain. (2). Sesuatu yang telah disyariatkan sejak awal dan tidak ada menyerupainya. Sepertirukshah safar dan mengangkat tangan kanan ketika bersumpah. Ini juga tidak dapat menjadi qiyas.
f)         Hukum ashl disepakati
g)        Dalil penetapan hukum ashl bukan dalil penetapan atas hukum far’u
h)        Adanya dalil atas illah hukum ashl (terjadi perbedaan pendapat)

Dan Syaikh Wahbah Zuhailiy menambahkan beberapa syarat lainnya: 
a)      Hukum ashl tidak bersifat khusus. Contoh: kekhususan yang diperoleh Nabi saw atau diterimanya kesaksian Khuzaimah sendirian –seharusnya dua saksi. Hal-hal khusus ini tidak dapat dikiaskan dengan orang lain.
b)      Hukum ashl mendahului hukum far’u.

4.      Al-‘Illah
Pembahasan illah merupakan pembahasan yang banyak menyedot perhatian para ulama. Karena illah merupakan rukun yang paling menentukan dalam proses analogi hukum. Defenisinya saja sudah banyak perdebatan.
Imam Ghazali memberi defenisi: al-washfu al-muatssiru fi al-ahkam bi ja’li asy-syari’I la lizatihi (sifat yang berkesesuaian terhadap hukum yang dibuat oleh Allah, bukan karena sifat itu sendiri). Sedangkan Mu’tazilah mengatakan: al-muatssiru li zatihi fi al-hukm
Al-Amidi mendefenisikan illah sebagai al-ba’its ala al-hukm (alasan hukum). Sedangkan ar-Razi: al-Muarrif lil hukm.
Defenisi diatas bercorak kalam dan mengundang banyak perdebatan. Pengertian yang lebih mudah apa yang ditulis oleh Abdul Wahhab Khallaf: Suatu sifat yang dibangun diatasnya hukum ashl dan keberadaan sifat itu pada far’u dapat disamakan dengan hukum ashl.
Illah merupakan asas utama bagi qiyas, dan kesamaan sifat yang terdapat pada ashldan far’u menghasilkan hukum pada far’u. Illah adalah pondasi hukum dan keberadaannya menyebabkan keberadaan hukum lain. Nabiz menjadi haram disebabkan adanya  illah keharaman yang sama pada khamar, yaitu memabukkan.
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan syarat-syarat illah sebagai asas terwujud qiyas. Secara keseluruhan ada 24 syarat yang mereka rumuskan. Sebagian syarat disepakati dan sebagian lain terjadi perbedaan .Menurut Dr. Abdul Halim yang disepakati sangat sedikit sekali -kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali.[9] Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf ada empat syarat yang disepakati:
a)      Illah harus bersifat zhahir (washfan zhahiran). Yaitu dapat diketahui oleh panca indra. Seperti zat memabukkan yang terdapat dalam khamar dan juga nabiz
b)      Illah bersifat mundhabit. Maksudnya bahwa illah memiliki ketetapan sifat yang tidak berbeda pada setiap kondisi dan keadaan. Seperti zat memabukkan dalam khamardan nabiz, yang siapa saja meminumnya akan membuat mabuk. 
c)      Illah bersifat munasib. Bahwa illah memiliki keterkaitan dengan maqasid syari’ah
d)     Illah tidak bersifat terbatas pada ashl semata. Karena jika hanya terdapat pada ashlmaka tidak akan bisa menjadi kiasan bagi far’u
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab yang berisi firman-firman Allah swt yang diwahyukan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, diawali dengan surat Al-fatihah dan diakhiri dengan An-nas.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan pendapat yaitu: penggunaan pendapat yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan pendapat secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah sering kali mempunyai kesamaan hukum dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya atau tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun peristiwa lain tersebut tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan peristiwa lain yang ditetapkan hukumnya dan dijelaskan dalam dua sumber hukum, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus lain memiliki kemiripan.









DAFTAR PUSTAKA

As-Subkiy, Jam’u al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh,  Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003
Abdul Halim Abdur Rahman, Mabahits al-Illah fi al-Qiyas, Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, 2000
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Riyadh: Dar ash-Shami’iy, 2003
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo




[1]Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo), hal. 51
[2] Ibid. hal.53
[3] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 6
[4] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 82
[5]Ibid, hal. 86
[6]Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Riyadh: Dar ash-Shami’iy, 2003), hal. 237
[7]Ibid., 238

[8]As-Subkiy, Jam’u al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh,  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003), hal. 82.
[9]Abdul Halim Abdur Rahman, Mabahits al-Illah fi al-Qiyas, (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, 2000) hal. 190

Add to Cart

0 komentar:

Post a Comment