PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
JURAI
SIWO METRO
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT dengan rahmat dan ridhonya pembuatan
Makalah Mata Kuliah USHUL FIQH. dapat
penulis selesaikan, sholawat teriringkan salam tetap tercurahkan kepada baginda
kita Rasulallah SAW dan kepada sahabat-sahabat beserta keluarganya dan kita
semua. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu
mata kuliah karna berkat pengarah dari beliau penulis dapat membuat dan menyelesaikan
makalah ini. Dan terima kasih juga penulis ucapkan untuk semua pendukung dalam
pemuatan makalah ini, sehingga berjalan dengan baik dan lancar.
Kami mohon maaf apabila dalam penyusunan dan
penulisan makalah ini terdapat kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun makalah ini demi kesempurnaan makalah ini.
Metro, Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
COVER........................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR
ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah...................................................................... 4
B.
Rumusan
Masalah................................................................................ 5
C.
Tujuan
Penulisan.................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Qur’an.......................................................................... 6
B.
Hukum-hukum
Dalam Al-Qur’an........................................................ 8
C.
Pengertian
Qiyas................................................................................. 11
D.
Rukun-Rukun
Qiyas........................................................................... 13
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan......................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna jika dibandingakan dengan
agama-agama yang lain, dan kitab sucinya adalah Al-Qur’an yang diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam yang
merupakan sebuah pedoman dan petunjuk bagi manusia dalam mengatasi berbagai
macam permasalah yang dihadapinya. Di dalam Al-Qur’an telah di jelaskan
berbagai macam tentang hukum-hukum yang dapat menuntun manusia ke arah jalan
yang lebih baik, yaitu jalan yang di rido’i oleh Allah SWT, di samping
mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut sifatnya tidak berkembang,
juga mengandung hukum-hukum yang masih memerlukan penafsiran dan memepunyai
potensi untuk berkembang. Selain Al-Qur’an banyak lagi sumber-sumber hukum
didalam agama Islam yaitu seperti, As-Sunah, Ijma’, Qiyas, dan sebagainya.
Ada banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, karena di
dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab
itu diperlukan suatu cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas
bahkan menentukan suatu hukum.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu
hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak
dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada dasarnya ada dua macam
cara penggunaan pendapat yaitu: penggunaan pendapat yang masih merujuk kepada Nash
dan penggunaan pendapat secara bebas tanpa mengaitkannya kepada Nash. Bentuk
pertama secara sederhana disebut qiyas.
Dasar pemikiran qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan
sebab. ‘illat adalah patokan
utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Obyek masalah adalah sesuatu
yang tidak memiliki nash. Atas dasar keyakinan
bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap muslim meyakini bahwa
setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat
secara jelas dalam nash syara’, namun sebagian yang lain tidak jelas.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Yang di Maksud
Dengan Al-Qur’an?
2.
Apa Saja Hukum-Hukum
yang Terkandunga Dalam Al-Qur’an?
3.
Apakah Yang Dimaksud
Dengan Qiyas?
4.
Apa Saja Rukun Qiyas?
C. Tujuan Penulisan
1.
Agar Kita Mengetahui Apa
Yang Dimaksud Al-Qur’an
2.
Agar Kita Mengetahui
Hukum Yang Ada Dalam Al-Qur’an
3.
Agar Kita Mengetahui
pengertian Qiyas
4.
Mengetahui Rukun-Rukun
Qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab
yang berisi firman-firman Allah swt yang diwahyukan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril selama
22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, diawali dengan surat Al-fatihah dan
diakhiri dengan An-nas. Pemakaian nama Al-Qur’an sendiri dinukilkan dari surah
Al-Qiyamah ayat 17 dan ayat 18. Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6.236 ayat
(Jumhur ulama mengatakan 6.666 ayat, Ulama Mekkah 6.212 ayat, ulama Basrah
6.204 ayat dan ulama syam mengatakan 6.226 ayat), 77.439 kata, 7.4437 kalimat
dan 323.015 huruf (ada yang mengatakan 325.345 huruf).
Dari segi bahasa terdapat berbagai pendapat
ahli mengenai pengertian Al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal
Al-Qur’an dibubuhi huruf hamzah (Dibaca Al-Qur’an). Pendapat lain mengatakan
tanpa dibubuhi huruf hamzah (Dibaca Al-Quran). Al syafii, al-farra dan
al-asy’ari termasuk diantara ulama yang berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an
ditulis tanpa huruf hamzah.[1]
Al syafii mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an yang
terkenal itu bukan musytaq (pecahan dari kata apapun) dan tidak pula berhamzah.
Lafal tersebut sudah lazim didalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Dengan demikina, lafal tersebut bukan berasal dari akar
kata Qara-a (membaca), sebab kalau akar katanyaQara-a maka
setiap yang biasa dibaca dinamai Al-Qur’an. Lafal tersebut memang lafal khusus
bagi Al-Qur’an, sebagaimana nama Taurat dan Injil.[2]
Secara terminologi Al-Qur’an dapat dibagi menjadi
beberapa definisi, antara lain:[3]
كَلَا مُ اللهِ ا
لْمُنَزَّلُ عَلَي مُحَمَّدٍ اَ لْمَكْتُوْبُ فِي ا لْمُصْحَفِ باِ للِّسَا نِ
الْعَرَ بِيِّ اَلْمَنْقُوْل اِلَيْنَا بِا لتَّوَ اتِرِاَلْمَبْدُوْءُ
بِالفَاتِحَةِ اَلْمَخْتُوْمُ بِالنَّاسِ
Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, yang
ditulis dalam mushaf yang berbahasa Arab, telah dinukilkan (dipindahkan) kepada
kita dengan jalan mutawatir, dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan disudahi denga
Surah An-Nas.
Menurut ahli ushul, ada yang menambahkan dengan
perkataan:
اَلْمُتَغَبَّدُ
بِتِلاَ وَ تِهِ
Yang kita beribadah, dengan membacanya (yang dipandang
membacanya sudah ibadah)
Ali Ash-Shabuni, membatasi pengertian Al-Qur’an
sebagai berikut:
اَلْقُرْ أنُ هُوَ
الَّلَفْظُ الْعَرَبِيُّ الْمُنَزَّلُ عَلَي محمدٍ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا
بِالتَّوَاتِرِ
Al-Qur’an adalah lafal Arab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw, yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, mendefinisikan Al-Qur’an
dengan:
اَلْقُرْاَنُ هُوَ كَلَامُ
اللهِ اَلمُعْخِزُ المُنْزِلُ عَلَي خَاتَمِ الْأنْبِيَآءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ
بِوَاسِطَةِ الْأَمِيْنِ جبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامِ الْمَكْتُوْبُ فِي
الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا نِالتَّوَاتِرِالْمُتَعَبَّدُ
بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَبْدُؤُبِسُوْرةِ الْفَاتِحَةِ وَ الْمُخْتَتَمُ بِسُوْرَةِ
النَّا سِ
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan Malaikat
Jibri (Ar-Ruh Al-Amin) ke dalam hati Rasulullah saw, dengan menggunakan bahasa
Arab serta makna-makna yang benar untuk dijadikan hujjah (argumentasi) dalam
pengakuannya sebagai Rasul dan untuk dijadikan sebagai dustur (undang-undang)
bagi seluruh umat manusia, dimana mereka mendapatkan petunjuk daripadanya, di
samping merupakan amal ibadah bagi kaum muslimin yang membacanya.
B.
Hukum-Hukum Dalam Al- Qur’an
Di dalam
Al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk
tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh
ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk Al-Qur’an terkadang memang bersifat global
sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan
karena itu pula Al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya
disuruh puasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah
tersebut tidak kita jumpai dalam Al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang
selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam
kitab-kitab fiqih.
Dengan
demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi)
Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya di samping semua
kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan
hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana
perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an
semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
Hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an secara garis besardapat dibagi 3 macam yaitu:
1. Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepercayaan
(akidah) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini, seperti masalah
tauhid, masalah kenabian, mengenai kitab-Nya, Malaikat, hari Kemudian dan
sebagainya yang berhubungan dengan doktrin ‘akidah.
2. Hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak, yaitu
hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf berupa
sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada
kehinaan.
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan amal perbuatan mukalaf. Dari
hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fikih, hukum-hukum
amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu:
a) Hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah, yang disebut dengan ibadah, bersifat tetap dan tidak menerima
perubahan dan harus dikerjakan sebagaimana yang diterangkan.
b) Hukum-hukum mu’amalat yang mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya.
Dalam
betuk hukum Al-Qur’an selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
a) Tidak memberatkan,
b) Tidak memperbanyak,
c) Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Abdul
Wahhab Khallaf merinci macam hukum-hukum bidang mu’amalat dan jumlah ayatnya
sebagai berikut:
1. Hukum keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan
sampai masalah talak, rujuk, ‘iddah, dan sampai msalah warisan. Ayat-ayat yang
mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat. Surat al-Baqarah ayat 234
2. Hukum mu’amalat (perdata), yaitu hukum-hukum
yang mengatur hubungan seseorang dengan sesamanya, seperti jual beli,
sewa menyewa, gadai menggadai, utang piutang, dan hokum perjanjian. Hukum-hukum
jenis ini mengatur hubungan perorang, masyarakat, hal-hal yang berhubungan
dengan harta kekayaan, dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing.
Ayat-ayat yang mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat. Contoh: surat an-Nisa’
ayat 29
3. Hukum jinayat (pidana), yaitu hokum-hukum yang
menyangkut dengan tindakan kejahatan. Hukum-hukum seperti ini bermaksud untuk
memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sanksi
hukumnya, larangan menganiaya orang lain, berzina, mencuri, serta ancaman hokum
atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 30 ayat. Surat
al-Maidah ayat 90
4. Hukum al-murafa’at (acara), yaitu hokum-hukum yang
berkaitan dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Hokum-hukum seperti ini
dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk itu diatur
hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah.
Ayat-ayat yang mengatur hal ini berjumlah sekitar 13 ayat.
5. Hukum ketatanegaraan, yatiu ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan pemerintahan. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan untuk
mengatur hubungan penguasa dengan rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan
masyarakat. Ayat ayat yang berhubungan dengan masalah ini sekitar 10 ayat.
An-Nahl ayat 90
6. Hukum antara bangsa (internasional), yaitu hukum-hukum
yang mengatur hubungan antara Negara islam dengan non islam, dan tata cara
pergaulan dengan non muslim yang berada di Negara islam. Ayat-ayat yang
mengatur hal ini sekitar 25 ayat. QS Al-Hujarat ayat 13
7. Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum-hukum yang
mengatur hak-hak fakir miskin dari harta rang-orang kaya. Hukum-hukum semacam
ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang yang berupaya dan
orang-orang yang tidak berupaya, dan antara Negara dan perorangan. Ayat-ayat
yang mnegatur bidang ini sekitar 10 ayat.
C. Pengertian Qiyas
Qiyas
merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk mengistimbatkan
hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling
jelas.[4]
Qiyasmenurutbahasaberartimengukur (التقدير), persamaan (المساوة),
mengetahuidengananggapan (الإعتبار), sepertikalimat قست الارض بالمتر “Akumengukurtanahdengansatuanmeter”, قست الثوب بالذراع “Akumengukurbajudenganmenggunakansiku/hasta”. qiyasmengharuskanadanyaduaperkara, yang
salahsatunyadisandarkankepada yang lainsecarasama.
Dapatditariksebuahkesimpulan, Qiyasmenurutbahasaberartimengukur, membandingkan,
ataumenyamakansesuatudengan yang lain.
Qiyasmenurutistilah ushulfigh adalahmenyertakansuatuperkaraterhadapperkara
yang lainnyadalamhukumsyara’ karenaterdapatkesamaan ‘illat diantarakeduanya.
Yang menyebabkanadanyaqiyasadalahadanyakesamaanantara al-maqis (perkara yang diqiyaskan)
dengan al-maqisalaih (perkara yang diqiyasi) dalamsatuperkara,
yakniadanyapenyatuantarakeduanya. Perkaratersebutadalah ‘illat.
Ada beberapadefenisitentangqiyas yang
telahdikemukakanoleh para ulama UshulFigh, kadangberbedarumusannyanamunmaksudnyatetapsama.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan
:
إلحاق أمر غير منصوص علي حكمه الشرعي بأمر
منصوص علي حكمه لإشتراكهما في علة الحكم.
“menyatukan sesuatu yang tidak desebutkan hukumnya dalam nash dengan
sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum
antara keduanya”.
Dari defenisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul figh dapat
diambil gambaran bahwasanya qiyas sebagai metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan sesuatu hukum, ‘illat adalah
patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Obyek masalah adalah
sesuatu yang tidak memiliki nash.
Qiyasdapatjugadiartikanmenurutanalogi.
Sebuahprinsipuntukmenerapkanhukum yang terkandungdalam al-Qur’an,
ketetapansunnah nabi padapermasalahan yang tidakjelasketeapannya di
dalamkeduasumberhukum islam. Ataumengukursesuatudengansesuatu yang
lainuntukdiketahuiadanyapersamaanantarakeduanya.
Beberapa contoh qiyas, yaitu:[5]
1. Menjual sesuatu barang yang dalam proses pembelian orang lain, dilarang dengan hadis:
لَا يَحِلُّ لِلْاءِ نْسَانِ يَخطَبُ فِي خِطْبَةِ اَخِيهِ وَلَاأَنْ تُبَا عَ
عَلَي بَيْعِ أَخِيْهِ
(Tidak halal bagi seorang melamar wanita yang sudah
dilamar saudaranya dan menjual barang yang sudah dijual kepada saudaranya)
Diqiyaskan kepadanya
menyewakan sesuatu yang di sewakannya kepada sudaranya karena sama-sama
menyakiti pihak lain.
2.
Mempoligami antara dua
orang isteri yang bersaudara diharamkan dengan ayat Qur’an dan mempoligami
antara dua istri yang berhubungan anak kemenakan dilarang dengan hadis.
Diqiyaskan kepadanya mempoligami dua orang istri yang berhubungan muhrim,
karena sama-sama membawa putusnya hubungan keluarga (silahturrahmi)
Dengan memperhatikan definisi qiyas dan contohnya tersebut terungkap
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Peristiwa hukum baru
yng tidak disebutkan hukumnya oleh nash dan untuk mencaari hukum tersebutlah
sasaran qiyas disebut furuí / cabang dan maqis
2.
Peristiwa hukm yang
disebutkan hukumnya oleh nash, disebut asal atau maqis’alaih
3.
‘illat hukum, yaitu
yang dijadikan syari’ sebagai ladasan hukum terhadap peristiwa hukum
yang disebut nash.
D. Rukun-rukun Qiyas
Istinbath hukum berdasarkan qiyas harus
memunuhi empat rukun. Bila salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka analogi
hukum menjadi cacat. Rukun tersebut adalah: al-ashl, al-far’u, hukm
al-ashl, dan al-‘illah. Masing-masing rukun ini akan
dibahas satu persatu.
1. Al-ashl
Al-ashl memiliki
dua pengertian :
(1) ma bunia alaihi ghairuhu (sesuatu
yang dibangun diatasnya),
(2) Sesuatu yang dapat diketahui dengan
sendirinya tanpa butuh bantuan lain.[6]
Ulama
berbeda pendapat mengenai ashl bagi qiyas. Dalam
contoh keharaman nabizyang dikiaskan pada keharaman khamar, maka mana
yang menjadi ashl qiyas?Apakah nash yang mengharamkan khamar, atau khamar itu
sendiri, atau hukum yang terdapat dalam khamar- haram?[7]
Bagi mutakallimun: Ashl adalah nash yang
menunjukkan keharaman khamar. Karena nash merupakan sandaran
atas keharamannya. Sedangkan fuqahaperpendapat, yang menjadi ashl adalah khamar yang
haram itu. Dan menurut pendapat lain, ashl adalah hukum yang
terdapat dalam khamar.
Ketiga
pendapat tersebut menyisakan celah kritikan, sebab defenisi mesti jami’
wa mani’. Dan tanpa terlibat jauh dalam perdebatan di atas. Pendapat
yang lebih kuat adalah apa yang dikemukakan oleh para fuqaha yaitu ashl bagi qiyas adalahkhamar, yaitu perkara
hukum (mahal al hukm) yang memiliki nash. Al-ashl disebutal
maqis alaih, al-mahmul alaih, dan al-musyabbah alaih.
Sedangkan far’u adalah al-maqis (yang
dikiaskan).
Para
ulama ushuliy memberi banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh ashl. Namun syarat yang dikemukakan tumpang tindih dengan
syarat hukum ashal. Menurut Dr. Wahbah Zuhaily, syarat ashal hanya
satu saja yaitu, bahwa ashl bukan merupakan far’u bagi ashl yang
lain.
2. Al-Far’u
Al-far’u adalah
perkara yang belum memiliki nash dan ijma’ dan
perkara yang dituntut penetapan hukumnya. Posisi al-far’u sebagai al-maqis bagi ashl.
Jadi al-far’u adalah peristiwa dan kejadian yang belum
memiliki status hukum, dan hendak dicari keputusan hukumnya melalui
metode qiyas.
Al-far’u dapat
menjadi al maqis bagi ashl bila memenuhi syarat-syarat tertentu. Pada
hakikatnya syarat al-far’u yaitu:
1. Al-far’u tidak
boleh mendahului ashl dalam penetapan hukumnya.
2. Al-far’u tidak
memiliki nash dan ijma’.
3. Al-far’u memiliki
kesamaan illah hukum ashl.[8]
Bila
syarat-syarat-syarat di atas tidak dipenuhi al-far’u maka qiyas menjadi
cacat. Karena al-far’u adalah perkara yang belum ada
penetapan hukumnya dan dianalogikan kepada ashl. Proses analogi
akan sempurna bila terdapat kesamaanillah antara ashl dan far’u.
Bagi
orang Indonesia, beras dikiaskan dengan gandum dalam pengeluaran zakat. Beras
merupakan far’u yang ketetapan hukumnya belum ada dalam nash
dan ijma’serta penetapan hukumnya berlangsung setelah hukum ashl.
Beras dan diqiaskan terhadap gandum dikarenakan kedua-duanya merupakan
makanan pokok bagi penduduk setempat.
3. Hukm al-Ashl
Hukm ashl adalah
Hukum syar’I pada ashl yang diperoleh dari nash. Dalam
contoh qiyas nabiz terhadap khamar, yang menjadi
hukum ashl adalah keharamankhamar. Keharaman ini
diperoleh dari nash.
Hukm ashl memiliki
syarat-syarat tertentu. Imam al-Amidi membuat delapan syarat hukum ashl,
yaitu:
b)
Hukum ashl
tsabit tidak mansukh
c)
Dalil
penetapannya bersifat syar’i
d) Hukum ashl tidak lahir (cabang) dari
hukum ashl lainnya
e)
Hukum ashl tidak
lari (ma’dul) dari hukum-hukum qiyas. Lari dari hukum qiyasterbagi
dua. (1). Sesuatu yang tidak diketahui maknanya seperti bilangan rakaat sholat,
jumlah nishab dan kafarat. Hal ini tidak bisa
menjadi qiyas bagi yang lain. (2). Sesuatu yang telah
disyariatkan sejak awal dan tidak ada menyerupainya. Sepertirukshah safar dan
mengangkat tangan kanan ketika bersumpah. Ini juga tidak dapat menjadi qiyas.
f)
Hukum ashl disepakati
g)
Dalil
penetapan hukum ashl bukan dalil penetapan atas hukum far’u
h)
Adanya
dalil atas illah hukum ashl (terjadi
perbedaan pendapat)
Dan Syaikh
Wahbah Zuhailiy menambahkan beberapa syarat lainnya:
a) Hukum ashl tidak bersifat khusus.
Contoh: kekhususan yang diperoleh Nabi saw atau diterimanya kesaksian Khuzaimah
sendirian –seharusnya dua saksi. Hal-hal khusus ini tidak dapat dikiaskan
dengan orang lain.
b) Hukum ashl mendahului hukum far’u.
4. Al-‘Illah
Pembahasan illah merupakan
pembahasan yang banyak menyedot perhatian para ulama. Karena illah merupakan
rukun yang paling menentukan dalam proses analogi hukum. Defenisinya saja sudah
banyak perdebatan.
Imam
Ghazali memberi defenisi: al-washfu al-muatssiru fi al-ahkam bi ja’li
asy-syari’I la lizatihi (sifat yang berkesesuaian terhadap hukum yang
dibuat oleh Allah, bukan karena sifat itu sendiri). Sedangkan Mu’tazilah
mengatakan: al-muatssiru li zatihi fi al-hukm.
Al-Amidi
mendefenisikan illah sebagai al-ba’its ala al-hukm (alasan
hukum). Sedangkan ar-Razi: al-Muarrif lil hukm.
Defenisi
diatas bercorak kalam dan mengundang banyak perdebatan. Pengertian yang lebih
mudah apa yang ditulis oleh Abdul Wahhab Khallaf: Suatu sifat yang dibangun
diatasnya hukum ashl dan keberadaan sifat itu pada far’u dapat
disamakan dengan hukum ashl.
Illah merupakan
asas utama bagi qiyas, dan kesamaan sifat yang terdapat pada ashldan far’u menghasilkan
hukum pada far’u. Illah adalah pondasi hukum dan
keberadaannya menyebabkan keberadaan hukum lain. Nabiz menjadi
haram disebabkan adanya illah keharaman yang sama
pada khamar, yaitu memabukkan.
Para
ulama berbeda pendapat dalam merumuskan syarat-syarat illah sebagai
asas terwujud qiyas. Secara keseluruhan ada 24 syarat yang mereka
rumuskan. Sebagian syarat disepakati dan sebagian lain terjadi perbedaan
.Menurut Dr. Abdul Halim yang disepakati sangat sedikit sekali -kalau tidak
dikatakan tidak ada sama sekali.[9] Sedangkan
menurut Abdul Wahhab Khallaf ada empat syarat yang disepakati:
a) Illah harus
bersifat zhahir (washfan zhahiran). Yaitu dapat
diketahui oleh panca indra. Seperti zat memabukkan yang terdapat dalam khamar
dan juga nabiz
b) Illah bersifat mundhabit.
Maksudnya bahwa illah memiliki ketetapan sifat yang tidak berbeda
pada setiap kondisi dan keadaan. Seperti zat memabukkan dalam khamardan nabiz, yang
siapa saja meminumnya akan membuat mabuk.
c) Illah bersifat munasib.
Bahwa illah memiliki keterkaitan dengan maqasid syari’ah.
d) Illah tidak
bersifat terbatas pada ashl semata. Karena jika hanya terdapat
pada ashlmaka tidak akan bisa menjadi kiasan bagi far’u
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab
yang berisi firman-firman Allah swt yang diwahyukan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril selama
22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, diawali dengan surat Al-fatihah dan
diakhiri dengan An-nas.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat
untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum
jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pada
dasarnya ada dua macam cara penggunaan pendapat yaitu: penggunaan pendapat yang
masih merujuk kepada nash dan penggunaan pendapat secara bebas tanpa
mengaitkannya kepada nash.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah sering kali
mempunyai kesamaan hukum dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya atau
tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun peristiwa lain tersebut
tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal
sifatnya dengan peristiwa lain yang ditetapkan hukumnya dan dijelaskan dalam
dua sumber hukum, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada
kasus lain memiliki kemiripan.
DAFTAR PUSTAKA
As-Subkiy, Jam’u al-Jawami’ fi Ushul
al-Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 2003
Abdul Halim Abdur Rahman, Mabahits al-Illah fi
al-Qiyas, Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, 2000
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,
Riyadh: Dar ash-Shami’iy, 2003
Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu
Ushul Fikih, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Abuddin Nata, Al-Quran dan
Hadits, Jakarta: Raja Grafindo
[4]
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
hal. 82
[5]Ibid,
hal. 86
[6]Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam, (Riyadh: Dar ash-Shami’iy, 2003), hal. 237
[9]Abdul Halim Abdur Rahman, Mabahits
al-Illah fi al-Qiyas, (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, 2000)
hal. 190
0 komentar:
Post a Comment