Sejarah Peradaban Islam
Semester
1
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI
SIWO METRO
2014
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum WR.WB
Puji syukur kami panjatkan kepada
Allah swt atas segala rahmatnya yang telah menciptakan manusia di atas mahkluk
–mahkluk yang lain . Juga tidak lupa shalawat dan salam atas junjungan kita
nabi Muhammad saw beserta pengikutnya. Alhamdulilah berkat rahmat dan karunia
nya kami dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “PERADABAN ISLAM DI MASA
KHULAFAUR RASYIDIN”.
Makalah ini akan sedikit mengupas kehidupan politik pada masa Khulafa al
–rasyidin yang di sajikan secara ringkas.
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritiknya sangat kami harapkan.
Akhir
kata kami ucapkan Terima kasih untuk semua yang
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Wassalam
Metro,
14
November 2014
COVER
.............................................................................................. i
KATA
PENGANTAR ...................................................................... ii
DAFTAR
ISI ................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN ................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN ................................................................. 3
A.
Pengertian
Khulafaurrasyidin ...................................................... 3
B.
Khalifah-Khalifah
Khulafarrasyidin ............................................ 5
C. Kemajuan
pada Masa Khulafaurrasyidin .................................. 24
BAB
III PENUTUP ................................................................... .....27
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah
adalah suatu rujukan saat kita akan membangun masa depan. Namun, kadang orang
malas untuk melihat sejarah. Sehingga orang cenderung berjalan tanpa tujuan dan
mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa lalu. Disnilah sejarah
berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah terjadi sebuah kisah yang
patut kita pelajari untuk merancang masa depan.
Khulafa
al-Rasyidun sebagai sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad
kiranya pantas untuk dijadikan sebagai rujukan saat kita akan melaksanakan
sesuatu dimasa depan. Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam. Dari mulai
cara pengaangkatan sebagai khalifah, sistem pemerintahan, pengelolaan
administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan lain sebagainya.
Dalam
memahami sejarah kita dituntut untuk dapat berpikir kritis. Sebab, sejarah
bukanlah sebuah barang mati yang tidak dapat dirubah. Akan tetapi sejarah bisa
saja dirubah kisahnya oleh sang penulis sejarah. Nalar kritis kita dituntut
untuk mampu membaca sejarah dan membandingkan dengan pendapat lain. Saat kita
sudah mampu untuk menyibak tabir sejarah dari berbagai sumber, barulah kita
dapat melakukan rekonstruksi sejarah.
Rekonstruksi
sejarah perlu dilakukan agar kita dapat memisahkan antara peradaban Arab dan
peradaban Islam. Sebab, kita sering memakan mentah-mentah peradaban yang datang
dari Arab sebab semuanya dianggap sebagai peradaban Islam. Kita perlu memandang
peradaban dari berbagai aspeknya. Langkah ini agar kita tidak hanya sekedar
”bangga” dan larut dalam historisisme yang seringkali ”menjebak” pemikiran
progressif kita.
B. Rumusan Masalah
Secara garis besar pembuatan makalah kami ini akan
membahas tentang:
1. Pengertian dan tugas khulafaurrasyidin
2. Khalifah-Khalifah pada masa khulafaurrasyidin
3. Kemajuan peradaban pada masa khulafaurrasyidin
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KHULAFAURRASYIDIN
1.
Khulafaurrasyidin
Kata khulafaurrasyidin itu berasal dari bahasa arab yang
terdiri dari kata khulafa dan rasyidin, khulafa’ itu menunjukkan
banyak khalifah, bila satu disebut khalifah, yang mempunyai arti pemimpin dalam
arti orang yang mengganti kedudukan Rasulullah SAW sesudah wafat melindungi agama dan siasat
(politik) keduniaan agar setiap orang menepati apa yang telah ditentukan oleh
batas-batasnya
dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama islam.
Adapun kata Arrasyidin
itu berarti arif dan bijaksana. Jadi khulafaurrasyidin mempunyai arti pemimpin yang bijaksana sesudah nabi Muhammad wafat. Para khulafaurrasyidin itu adalah pemimpin
yang arif dan bijaksana.
Mereka itu terdiri dari para sahabat nabi Muhammad SAW yang berkualitas
tinggi dan baik adapun sifat-sifat yang dimiliki khulafaurrasyidin sebagai
berikut:
a)
Arif dan bijaksana
b)
Berilmu yang luas dan mendalam
c)
Berani bertindak
d)
Berkemauan yang keras
e)
Berwibawa
f)
Belas kasihan dan kasih sayang
g)
Berilmu agama yang amat luas serta melaksanakan
hukum-hukum Islam.
Para sahabat yang disebut khulafaurrasyidin terdiri
dari empat orang khalifah yaitu:
1)
Abu Bakar Shiddiq khalifah yang
pertama (11–13 H/632–634 M)
2)
Umar bin Khattab khalifah yang kedua (13–23 H/634–644 M)
3)
Utsman
bin Affan khalifah yang ketiga (23–35 H/644–656 M)
4)
Ali bin Abi Thalib khalifah yang keempat (36–41 H/656–661M)
2. Tugas-tugas Khulafaurrasyidin
Tugas
Rasulullah SAW meliputi dua hal, yaitu tugas
kenabian dan tugas kenegaraan. Para khalifah hanya menggantikan Rasulullah dalam tugas kenegaraan,
yaitu sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pemimpin umat. Tugas
beliau sebagai Nabi
dan Rasul tidak digantikan oleh
siapapun, karena tugas kenabian yang dimilikinya itu bersifat khusus atas pemilihan langsung oleh
Allah SWT di
samping itu, beliau adalah nabi dan rasul terakhir. Tidak ada nabi dan rasul
yang diangkat setelah beliau wafat.
Masa
kekhalifaan beliau
kurang lebih selama 30 tahun. Waktu yang sekian lama itu Islam meluas ke daerah
Syam, Irak, Palestina, Mesir,
Sudan dan beberapa daerah di Benua Afrika. Panglima perang pada masa khulafaurrasyidin
yang terkenal diantaranya ialah Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, Amr bin Ash,
Mutsanna bin Haritsah, Sa’ad
bin Abu Waqqosh.
B.
KHALIFAH-KHALIFAH
KHULAFAUARRASYIDIN
1.
Abu
Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu
Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra
Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Dia
temasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena dia lah
orang yang paling awal memeluk agama Islam. Gelar Ash-Shiddiq diperolehnya
karena ia dengan segera membenarkan dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’
dan Mi’raj. Seringkali mendampingi rasulullah di saat-saat penting atau jika
berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani
tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan di Madinah.
Hal
menarik dari Abu Bakar, bahwa pidato inaugurasi yang diucapkan sehari setelah
pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar
terhadap nilai-nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat
sepeninggal Rasulullah. Di bawah ini adalah sebagian kutipan dari pidato Abu
Bakar yang terkenal itu:
“Wahai manusia! Aku
telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang
terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik,
bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah,maka luruskanlah! Orang
yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari
padanya. Sedangkan orang yang kamu anggap lemah, aku pandang kuat sampai aku
mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan
Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu menaatiku”.[1]
Abu
Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang
dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang
muncul akibat wafatnya nabi. Terpilihnya Abu Bakar membangun kembali kesadaran
dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas mulia nabi. Dia menyadari bahwa
kekuatan kepemimpinannya bertumpu pada komunitas yang bersatu ini, yang pertama
kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan nabi yang
hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah di
bawah pimpinan Usamah. Hal tersebut dilakukan untuk membalas pembunuhan
ayahnya, Zaid, dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah.
Sebagian sahabat menentang keras rencana ini, tetapi khalifah tidak perduli.
Nyatanya ekspedisi ini sukses dan membuat pengaruh positif bagi umat Islam,
khususnya di dalam membangkitkan kepercayaan diri mereka yang nyaris pudar.
Wafatnya nabi mengakibatkan beberapa
masalah bagi masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya
melakuakan riddah, yaitu gerakan
pengingkaran terhadap Islam. Riddah berarti
murtad, beralih agama dari Islam ke kepercayaan semula, secara politis
merupakan pembangkangan (distortion)
terhadap lembaga khalifah. Sikap mereka adalah perbuatan makar yang melawan
agama dan pemerintah sekaligus.
Oleh karena itu, khalifah dengan
tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu
dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar,
lalu berkembang menjadi perang merebut kekuasaan.
Sesudah memulihkan ketertiban di
dalam negeri, Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat
perbatasan dengan wilayah Persia dan Bizantium, yang akhirnya menjurus kepada
serangkaian peperangan melawan kedua kekaisaran itu.
Tentara Islam di bawah pimpinan
Musanna dan Khalid bin Walid dikirim ke Irak dan menaklukan Hirah. Sedangkan ke
Syiria, suatu negara di utara Arab yang
dikuasai Romawi Timur (Bizantium), Abu Bakar mengutus empat panglima, yaitu Abu
Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Ash dan Syurahbil. Ekspedisi ke Syiria
ini memang sangat besar artinya dalam konstalasi politik umat Islam karena
daerah protektorat itu merupakan front terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan
Romawi Timur. Faktor penting lainnya dari pengiriman pasukan besar-besaran ke
Syiria ini sehingga dipimpin oleh empat panglima sekaligus adalah karena umat
Islam Arab memandang Syiria sebagai bagian integral dari semenanjung Arab.
Khalifah Abu
Bakar meninggal dunia, pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang
selama 15 hari terbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan
kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari. Sebelum wafat, khalifah Abu
Bakar telah berwasiat kepada para
sahabatnya, bahwa khalifah pengganti setelah dirinya adalah Umar bin Khattab.
Hal ini dilakukan guna menghindari perpecahan diantara kaum muslimin.
Langkah-langkah
kebijakan Abu Bakar
Setelah
rasulullah wafat, muncullah kesulitan-kesulitan yang dihadapi umat islam
dibawah pimpinan Abu Bakar, diantaranya yang terpenting adalah menghadapi
orang-orang yang mengaku nabi, menghadapi orang-orang murtad, dan orang-orang
yang membangkang tidak mau membayar pajak.
1.
Menumpas Nabi Palsu
Ada empat orang yang
menamakan dirinya sebagai nabi. Padahal Islam mengajarkan bahwa Nabi muhammad SAW adalah nabi
akhiruzzaman. keempat yang mengaku nabi itu adalah nabi palsu. yaitu Musailamah
Al kazab dari bani hanifah di Yamamah,
Sajah Tamimiyah dari bani tamim, Al
aswad Al Anshi dari Yaman
dan Tulaihah bin Khuwailid dari bani asad di Nejed.
Adanya nabi-nabi palsu itu pasti membahayakan kehidupan agama dan negara islam.
khalifah Abu Bakar menugaskan pasukan islam untuk menumpas mereka dan pengikut-pengikutnya,
penumpasan itu berhasil dengan gemilang dibawah pimpinan panglima Khalid bin
Walid. Musailamah dibunuh oleh Washy, Al Aswad dibunuh oleh istrinya sendiri,
Tulaihah dan Sajad lari dan menyembunyikan diri.
2.
Memberantas Kaum
Murtad
Berita wafatnya
rasulullah SAW, berakibat menggoyahkan iman bagi orang-orang islam yang masih
tipis imannya, banyak orang menyatakan dirinya keluar dari Islam (murtad). Tidak mau shalat dan tidak lagi
membayar zakat, bahkan
ada sementara daerah-daerah memisahkan diri dengan pemerintahan pusat di Madinah, sedangkan daerah-daerah
yang masih setia adalah Madinah, Mekah dan Thaif. Abu Bakar berunding dengan para sahabat yang lain
dalam menghadapi para kaum murtad itu. Mereka sepakat menyeru agar bertaubat, jika tidak mau
sadar, mereka akan dihadapi dengan menggunakan kekerasan. Tetapi usaha lemah
lembut dari pemerintahan Islam di Madinah itu mereka abaikan, kaum murtad
didukung oleh kekuatan besar kurang lebih 40.000 orang. muslimin menghadapi
mereka dengan pasukan yang besar pula, Abu Bakar mengirim ekspedisi dibawah
pimpinan Ikhrimah bin Abu Jahal, Syurahbil bin Hasnah, Amru bin Ash, dan khalid
bin Walid. Tindakan tegas kaum muslimiin itu dapat melumpuhkan kekuatan kaum
murtad, sehingga mereka kembali mentaati perintah syariat Islam.Abu Bakar
berhasil dalam usaha ini, sehingga wilayah Islam utuh kembali.
3.
Menghadapi Kaum yang
Ingkar Zakat
Banyak diantara kaum
muslimin yang pemahaman mereka, terhadap hukum Islam belum mendalam dan imannya
masih tipis, mereka beanggapan bahwa kewajiban berzakat hanya semata-mata untuk
nabi. karena nabi telah wafat, maka bebaslah mereka dari kewajiban untuk berzakat.padahal
zakat adalah salah satu rukun Islam yang harus ditegakkan.
Abu Bakar
bermusyawarah dengan para sahabat menghadapi kaum ingkar zakat itu. meskipun
keputusan musyawarah itu tidak bulat, Abu Bakar tetap teguh pada pendiriannya
bahwa kewajiban zakat harus dilaksanakan. mereka yang membangkang harus
diperangi. sebelum pasukan muslimin dikerahkan, Abu Bakar terlebih dahulu
mengirimkan surat kepada pembangkang agar kembali ke Islam. namun sebagian
besar mereka tetap bersikeras, karena itu pasukan muslimin pun dikerahkan dan
dalam waktu yang relatif singkat pasukan Abu Bakar telah berhasil dengan
gemilang.
Dengan
berhasilnya kaum muslimin ini, keadaan negara Arab kembali tenang, dan suasana
umat Islam pun kembali damai.seluruh kabilah taat kembali membayar zakat
sebagaimana pada masa rasulullah SAW.
4.
Mengumpulkan Ayat-Ayat
Al-Qur’an
Akibat peperangan
yang sering dialami oleh kaum muslimin, banyak penghafal Al-Qur’an (huffadz)
yang gugur sebagai syuhada dalam pertempuran. Jumlahnya tidak kurang dari 70
orang sahabat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dikalangan umat Islam serta
kecemasan dihati Umar bin Khattab akan kehilangan ayat suci Al-Qur’an itu. Maka
dinasehatkan kepada Abu Bakar agar ayat-ayat Al-Qur’an
dikumpulkan. Atas saran-saran dari Umar bin Khattab pada awal 13 H Abu Bakar
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Qur’an menjadi
Mushaf. Mengingat
dahulu berserakan dalam dada penghafal, bahkan ada yang ditulis di atas batu,
pada kain, tulang dan sebagainya. Menurut Jalaluddin As-Suyuti bahwa pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an ini
termasuk salah satu jasa terbesar dari khalifah Abu Bakar.[2]
2.
Umar bin
Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Umar bin
Khaththab nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail keturunan Abdul
Uzza Al-Quraisy dari suku Adi; salah satu suku terpandang mulia. Umar
dilahirkan di Mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ia adalah
seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani.[3]
Beberapa
keunggulan yang dimiliki Umar, membuat kedudukannya semakin dihormati
dikalangan masyarakat Arab, sehingga kaum Quraisy memberi gelar ”Singa padang
pasir”, dan karena kecerdasan dan kecepatan dalam berfikirnya, ia dijuluki ”Abu
Faiz”. Itulah sebabnya pada saat-saat awal penyiaran Islam, Rasulullah SAW berdoa
kepada Allah, ”Allahumma Aizzul Islam bi Umaraini” artinya: ”Ya
Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah satu dari dua Umar” yang dimaksud
dua Umar oleh Rasulullah SAW adalah Umar bin Khattab dan Amru bin Hisyam (nama
asli Abu Jahal).
Meskipun
peristiwa diangkatnya Umar sebagai Khalifah itu merupakan fenomena yang baru,
tapi haruslah dicatat bahwa proses pralihan kepemimpinan tetap dalam bentuk
musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan
kepada persetujuan umat Islam. Untuk menjajagi pendapat umum, Khalifah Abu
Bakar melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa sahabat,
antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan.
Setelah
mendapat persetujuan dari para sahabat dan baiat dari semua anggota masyarakat
Islam Umar menjadi Khalifah. Umar bin Khathtab menyebut dirinya “Khalifah
Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga mendapat
gelar Amir Al-Mukminin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan
penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya.
Langkah-langkah
Kebijakan Umar bin Khattab
Usaha
Umar bin Khattab lebih luas di bandingkan dengan usaha Abu Bakar, karena meliputi usaha meneruskan
ekspansi dan penyiaran Islam ke Syiria dan Persia yang diteruskan ke Mesir. Dalam bidang kenegaraan, khalifah
membentuk dewan-dewan pemerintah serta mengatur tata tertib kehidupan masyarakat
Islam. Dengan demikian pemerintahan Umar lebih maju diantara keempat zaman khulafaurrasyidin. Diantara usaha-usaha Umar
gelombang ekspansi Islam ialah melalui peperangan yang sangat sengit seperti: perang cadesia (16 H=636 M)
panglima perang pada waktu itu adalah Saat bin Abi Waqos beserta pasukannya sebanyak 8.500
orang untuk menghadapi tentara persia sebanyak 30.000 yang dipimpin oleh
panglima Rustam. Pasukan
Islam menang dan pada akhir
pertempuran berhasil menangkap putri Kisra Yaz Dajrid. Penaklukan Persia, Perluasan penyiaran Islam ke
Persia sudah dimulai oleh Khalid bin Walid pada masa Khalifah Abu Bakar,
kemudian dilanjutkan oleh Umar. Tetapi dalam usahanya itu tidak sedikit
tantangan yang dihadapinya bahkan sampai menjadi peperangan. Ibu kota Madinah
jatuh (18 H/636
M). Madinah merupakan ibu kota
Persia. Setelah kota itu dikepung selama 2 bulan maka jatuhlah ketangan Islam.
Raja Kisra Yaz Dajrid III meninggalkan Istana dan melarikan diri ke Nahawan. Di
Nahawan. Yaz dajrid III berhasil mengumpulkan tentara sebanyak 150.000 orang,
semua kekuatan dipusatkan disana. Oleh karena itu Khalifah Umar mengirim
bantuan pasukan kepada Saad bin Abi Waqos. Perang nahawan (21 H/642 M), Disinilah puncak pertempuran di
Persia, perang itu berakhir dengan kemenangan pasukan Islam. Karena dahsyatnya
pertempuran itu, dalam sejarah dikenal dengan sebutan Fathul Futuh, artinya pembuka lembar kemenangan. Persia jatuh
ketangan Islam (31 H/652
M), Setelah Nahawan dikuasai,
mudahlah pasukan Islam menaklukkan daerah-daerah lain di Persia. Raja Yaz Dajrid
III terus melarikan diri ke timur menuju perbatasan Persia. Tetapi malang bagi Kisra
belum sampai ketempat yang dituju dia mati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada
masa pemerintahan Khalifah Utsman
bin Affan(31 H/652
M). Dengan
tewasnya Raja Kisra berarti jatuhlah negeri Persia ketangan kaum Muslimin.
Dengan demikian terbuktilah ramalan Rasulullah SAW, dengan kisahnya sebagai
berikut: pernah terjadi (tahun 6H) dimana seorang Raja Persia mengoyak-ngoyak
surat dariku, sebaliknya kelak negeri Persia akan dikoyak-koyak dan dikuasai
kaum Muslimin.
Iskandariah,
ibu kota Mesir telah dikepung selama empat bulan sebelum di taklukkan oleh
pasuka Islam di bawah pimpinan Ubadah bin Samit yang dikirim oleh khalifah di
front peperangan Mesir. Cyirus menandatangani perjanjian damai dengan kaum
muslimin. Perjanjian tersebut berisi beberapa hal sebagai berikut.
1)
Setiap warga negara diminta untuk
membayar pajak perorangan sebanyak 2 dinar setiap tahun.
2)
Gencatan senjata akan berlangsung
selama 7 bulan .
3)
Bangsa Arab akan tinggal di
markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak akan menyerang
Iskandariah dan harus menjatuhkan diri dari permusuhan.
4)
Umat Islam tidak akan menghancurkan
gereja-gerejan dan tidak boleh mencampuri urusan umat Kristen.
5)
Pasukan tetap Yunani harus
meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda dan uang, mereka akan
membayar pajak perseorangan selama satu bulan.
6)
Umat Yunani harus tetap tinggal di
Iskandariah.
7)
Umat Islam harus menjaga 150 tentara
Yunani dan 50 sipil sebagai sandera sampai batas waktu dari perjanjian ini
dilaksanakan.
Dengan
jatuhnya Iskandariah maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. ibu kota negeri
itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang dibangun oleh ‘Amr bin
Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di pinggiran kota Kairo
hingga kini sebagai saksi sejarah yang tidak dapat dihilangkan.
Di zaman
pemerintahan Umar pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Khalifah Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu
pemerintahaan yang handal untuk melayani
tuntunan masyarakat baru
yang terus perkembang. Umar mendirikan beberapa dewan yaitu: membangun Baitul
Mal, Mencetak Mata Uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah
tapal batas, mengatur gaji, mengangkat para hakim dan menyelenggarakan “hisbah”.
Khalifah
Umar juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan
membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan Umar menjamin
hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekuasaan bagi Umar tidak memberikan
hak istimewa tertentu sehinnga tidak ada perbedaan antara penguasa dan
rakyat, dan mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat.
Khalifah
Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki
dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan
demi tercapainya kemaslahatan umat Islam. Misalnya mengenai kepemilikan
tanah-tanah yang diperoleh dari suatu peperangan(ghanimah).
Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih
6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak Persia bernama Fairuz
atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam ke arah
khalifah yang akan menunaikan shalat subuh yang telah di tunggu oleh jama’ahnya
di masjid Nabawi di pagi buta itu. Khalifah terluka parah, dari pembaringannya
ia mengangkat “Syura” (komisi pemilih) yang akan memilih penerus tongkat
kekhalifahannya. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman atas
dirinya, yakni 1 Muharam 23 H/644 M.[4]
Atas
persetujuan Siti Aisyah istri rasulullah Jenazah beliau dimakamkan berjajar
dengan makam Rasulullah dan makam Abu Bakar. Demikianlah riwayat seorang
khalifah yang bijaksana itu dengan meninggalkan jasa-jasa besar yang wajib kita
lanjutkan.
3. Utsman bin Affan (23-36 H/644-656 M).
Khalifah
ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil
Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar,
dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku
sedehana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia
mendapat julukan zun nurain, artinya memiliki dua cahaya, karena
menikahi dua putri Nabi SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal. Dan
Utsman pernah meriwayatkan hadis kurang lebih 150 hadis.
Proses Pemilihan Utsman sebagai Khalifah
Sebelum
khalifah Umar wafat, beliau sempat berwasiat dan menunjuk tim yang terdiri dari 6 orang sahabat
terkemuka, sekaligus telah dijamin Nabi masuk surga, sebagai calon ganti
kekhalifaannya. Keenam orang tersebut adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqash. Kepada tim, Umar
menganjurkan agar putranya, Abdullah bin Umar ikut sebagai peserta musyawarah
dan tidak boleh dipilih menjadi khalifah.awalnya hasil musyawarah yang diketuai
oleh Abdurrahman bin Auf menunjukkan bahwa suara pada posisi seimbang, antara
Ali dan Utsman.
Karena Utsman lebih tua, Abdurrahman
menetapkan Utsman
bin Affan sebagai khalifah. Ketetapan itu disetujui oleh anggota tim dengan
berbagai pertimbangan yang matang. Disamping Utsman sebagai salah seorang sahabat yang terdekat
dengan Nabi, beliau juga seorang Assabiqunal Awwalun yang terkenal kaya dan
dermawan, jiwa dan hartanya dikorbankan demi kejayaan Islam. Utsman bin Affan diba’iat sebagai khalifah pada tahun
23 H/644 M.
Jasa Utsman dalam Pembukuan Mushaf
Pada masa Utsman terjadi perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai pada
wilayah Afrika,
Asia, dan Eropa. Kaum muslimin
terpencar ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam tersebut. Karena mereka berasal
dari berbagai bangsa yang berbeda, maka sering terjadi perbedaan dalam membaca
Al-Qur’an, keadaan ini mendorong perlunya satu jenis Al-Qur’an yang dijadikan
pedoman untuk semua kaum muslimin. Untuk maksud tersebut Khalifah Utsman akan membukukan dan
menggandakan Al-Qur’an. Lembaran-lembaran ayat
Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar dan disimpan oleh hafsah,
diminta oleh Utsman.
Ia kemudian membentuk panitia penulisan kembali ayat Al-Qur’an, yang terdiri
dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota: Abdullah bin Zubair, Sa’ad
bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Tugas panitia ini adalah menyalin kembali
lembaran-lembaran buku Al-Qur’an yang telah telah menjadi buku ini disebut
Al-Mushaf. Panitia menggandakan sebanyak 5 buah. Empat diantaranya dikirim ke
Mekkah, Syiria, Basrah, dan Kufah. Sedang satu buah ditinggal di Madinah, yang
disebut Mushaf Utsmani
atau Mushah Al Imami.
Pencapian
Pada Masa Pemerintahan Utsman.
Pada
masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya,
terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah sterategis yang
sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak. Karya monumental Utsman yang
dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci Al-Qur’an. Penyusunan
Al-Qur’an, yaitu Zaid bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan
Al-Qur’an antara lain Adalah dari Hafsah, salah seorang Istri Nabi SAW.
Kemudian dewan itu membuat beberapa salinan naskah Al-Qur’an untuk dikirimkan
ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa
selanjutnya.[5]
Khalifah
Utsman r.a. berusaha menjaga dan melestarikan sistem pemerintahan yang telah
ditetapkan oleh Khalifah Umar r.a. surat yang dituliskan khalifah Utsman
mencerminkan pelestarian tersebut : “khalifah Umar r.a. telah menentukan
beberapa sistem yang tidak hilang dari kita, bahkan melingkupi kehidupan kita.
Dan tidak ditemukan seorang pun di antara kalian yang melakukan perubahaan dan
penggantian. Allah yang berhak mengubah dan menggantinya.”
Di awal
kekhalifahannya, umur Utsman r.a. relatif tua. Akan tetapi, di saat umur khalifah
melebihi 70 tahun, beliau masih sanggup memberangkatkan pasukan perang. Bentuk
manajemen yang ditetapkan dalam pemerintahaan Umar r.a. tercermin dalam
pengumpulan mushaf Al-qur’an menjadi satu di kenal dengan Mushaf Utsmani. Pada
masa kekhalifahan Utsman r.a. terdapat indikasi praktik nepotisme. Hal ini yang
membuat sekelompok sahabat mencela kepemimpinan Utsman r.a. karena telah
memilih keluarga kerabat sebagai pejabat pemerintahaan.[6]
Pemerintahan
Utsman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya,
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya.
Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Pada tahun
35 H/655 M, Utsman di bunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang
kecewa itu. Utsman menjadi khalifah selama 12
tahun, dan wafat dalam usia 82 tahun. Sifatnya yang lemah lembut dan berhati
sosial telah meninggalkan jasa yang tidak sedikit untuk kepentingan Islam,
antara lain: Menyempurnakan pembukuan Al-Qur’an, Merenovasi bangunan Masjid Nabawi
di Madinah, Membentuk
angkatan laut atas usul Muawiyah bin Abu Sofyan, Membangun gedung-gedung pengadilan, yang semula
masjid-masjid,
Menumpas pemberontakan-pemberontakan seperti di Khurasan dan
Iskandariyah.
Pembunuhan
Utsman merupakan malapetaka besar yang menimpa umat Islam. Dikalangan umat
Islam yang diturunkan melalui Muhammad yang berbahasa Arab (sehingga perwujudan
islam pada masa awalnya bercorak Arab) dengan alam pemikiran yang dipengaruhi
kebudayaan Helinesia dan persi. Pembenturan itu membawa kegoncanggan dan
kericuhan dalam beberapa bidang sebagai berikut :
a. Bidang
Bahasa Arab.
b. Bidang
Akidah.
c. Bidang
Politik.[7]
4. Ali bin Abi Thalib (35-41 H/656-661 M).
Khalifah
keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dan menantu Nabi. Ali
adalah putra Abi Thalid bin Abdul Muthalib. Ali adalah seseorang yang memiliki
kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas
dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah
pahlawan yang gagah berani, penasehat yang bijaksana, penasihat hukum yang
ulung dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan
yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang
kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad.
Gelar-gelar
yang disandang oleh Ali
“Babul Ilmu”
gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak
meriwayatkan hadist Zulfikar karena pedangnya yang bermata, juga disebut
“Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap Rasulullah memimpin peperangan Ali
selalu ada dibarisan depan dan memperole kemenangan. “Karramallahu Wajhahu”
gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan oleh Allah, karena sejak
kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan jiwanya. “Imamul masakin”
(pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu belas kasih kepada
orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan orang-orang fakir,
miskin dan yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan. Ali termasuk salah
satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin kepribadian Rasulullah
SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi
Thalib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya, itulah sebabnya
Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang diridhai Allah dan Rasulnya.
Proses dan
Khalifahan Ali bin Abi Thalib.
Setelah Utsman
wafat, masyarakat beramai-ramai memba’iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.
Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi
berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang
dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para
gubernur yang di angkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali siatem distribusi pajak
tahunan dia antara orang-orang Islam sebagaimana pernah ditetapkan Umar.
Tidak lama
setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakkan Thalhah, Zubair, dan
Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman dan mereka
menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali
sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah
dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara
damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun
berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “Perang Jamal (Unta)” Karena Aisyah
dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya.
Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah
ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Kebijakan Ali Menyusun Kembali Aparatur Kekhalifaan
Dalam
periode khalifah Abu Bakar dan Umar, kehidupan masyarakat masih dalam taraf
kesederhanaan seperti periode Nabi Muhammad SAW. Rakyat masih bersatu padu dan
kokoh dibawah ikatan tali persaudaraan Islam. Mereka selalu kompak dalam
semangat jihad yang ikhlas demi kelulusan agama Islam. Keadaan ini mulai
berubah sejak periode Khalifah Utsman bin Affan. Mereka mulai terpengaruh oleh hal-hal
yang bersifat duniawi, apalagi saat gubernur yang diangkat Khalifah Utsman banyak yang tidak mampu
memimpin umat dan tidak disenangi masyarakat. Oleh karena itu Khalifah Ali bin
Abi Thalib menanggung beban yang berat
dalam memimpin kaum muslimin dengan wilayah kekuasaan yang semakin meluas.
Kebijakan-kebijakan
Khalifah Ali dalam menanggulangi hal-hal tersebut adalah:
1. Tanah-tanah atau pemberian-pemberian yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan kepada keluarga, sanak kerabatnya
dan kepada siapa saja yang tanpa alasan yang benar atau tidak syah, ditarik kembali dan
menjadi milik Baitul Mal sebagai kekayaan negara. Hal ini dilakukan Khalifah untuk
membersihkan pemerintahan.
2. Wali/Amir atau gubernur-gubernur penguasa wilayah
yang diangkat Khalifah Utsman
diganti dengan orang-orang baru.
a)
Kuwait, Abu Musa Al Asy’ari diganti Ammarah bin Syahab
b)
Mesir, Abdullah bin Sa’ad diganti Khais bin Tsabit
c)
Basyrah, Abdullah bin Amr diganti Usnab bin Hany Al
Anshori
d)
Syam (Syiria), Muawwiyah bin Abi Sofyan diganti Shal
bin Hanif
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena mereka banyak yang tidak disenangi oleh kaum muslimin, bahkan banyak yang menganggap bahwa mereka itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan pada masa Khalifah Usman.
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena mereka banyak yang tidak disenangi oleh kaum muslimin, bahkan banyak yang menganggap bahwa mereka itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan pada masa Khalifah Usman.
3. Sebagai upaya untuk mencerdaskan umat, Khalifah Ali
meningkatkan dalam
Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab agar umat
Islam mudah dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadits.
4. Berusaha untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan
umat Islam. Akan tetapi usahanya ini kurang berhasil, karena api fitnah
dikobarkan kaum munafik Yahudi yang tidak menyukai Islam.
5. Mengatur tata pemerintahan untuk mengembalikan
kepentingan umat, seperti memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang
diambil dari Baitul Mal sebagaimana yang telah dilakukan Abu Bakar dan Umar.
Kekecewaan sebagian Masyarakat
Terhadap Kegagalan Ali
Menangkap
Pembunuh Utsman, umat
Islam pada Khalifah Ali, pecah menjadi beberapa kelompok. Ini adalah akibat belum selesainya
kasus wafatnya Utsman
bin Affan. Oleh karena itu, masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai kekecewaan
yang mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang ingin menumbangkan Khalifah Ali.
1.
Perang Jamal
Dinamakan perang Jamal, karena dalam perang itu Aisyah
mengendarai unta. Perang ini terjadi antara Khalifah Ali dengan Aisyah yang
didukung oleh Zubair dan Thalhah. Ketiga sahabat ini menuntut balas atas
kematian Khalifah Usman bin Affan. Perang ini terjadi pada tahun 36 H dan tidak
berlangsung lama. Zubair dan Thalhah tewas, begitu juga unta yang ditunggangi Aisyah terbunuh.
Sedangkan Aisyah pun dapat ditawan oleh pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib. “Sebaiknya Ibunda kembali ke
Madinah”, usul Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Baiklah. Akan tetapi aku ber amanat agar engkau tetap mencari
pembunuh Usman bin Affan dan memenggal kepala penjahat itu”, sahut Aisyah.
“Saya setuju,
Demi Allah, saya akan mencari pembunuh Usman bin Affan”, sumpah Khalifah Ali.
Akhirnya Aisyah janda Nabi Muhammad SAW dikembalikan ke Madinah
dengan penuh kehormatan.
2.
Perang Siffin
Setelah Khalifah Ali menundukkan pasukan berunta di
Basrah, beliau bersama pasukannya menuju Kufah. Dari Kufah beliau mengirim
Jabir bin Abdullah Al Bajali untuk meminta Muawwiyah mengurungkan niatnya
menentang beliau, dan mengajak agar Muawwiyah menyatakan bai’ahnya terhadap
Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Utusan Ali diterima oleh Muawwiyah. Ia memberi jawaban:
1. Ia tidak akan memberi bai’ah, sebelum kematian Utsman diselesaikan dengan tuntas.
2. Kalau Ali mengabaikan pengusutan terhadap pembunuhan
Utsman, bukan bai’ah yang
dilakukan. Tetapi Muawwiyah akan mengangkat senjata untuk melawan Ali.
Dimulailah perang besar di dataran Siffin dengan
dahsyatnya antara Ali dengan Muawwiyah. Pertempuran berkecamuk hingga 4 hari
lamanya. Dalam pertempuran tersebut tentara Muawwiyah mula-mula menang, tetapi
kemudian kalah, dan akhirnya hendak melarikan diri. Tiba-tiba Amr mengambil siasat
damai dengan memerintahkan kepada seluruh tentaranya mengacungkan Mushaf
Al-Qur’an pada pucuk tombaknya serta menyeru “Marilah damai dengan hukum
Kitabullah”. Melihat situasi yang demikian, pasukan Ali pecah menjadi dua
golongan satu golongan menerima perdamaian, mengingat pertempuran yang
dilakukan sesama muslik, satu golongan yang lain berpendapat perang terus
hingga nyata siapa nanti yang menang, dengan dugaan mereka bahwa mengangkat
Kitabullah hanyalah semata-mata tipu daya musuh. Khalifah Ali terpaksa
mengikuti golongan pertama yang lebih banyak, yaitu menghentikan pertempuran
yang sedang berkobar dan menantikan keputusan yang akan dirundingkan tanggal 15
Rajab 37 H. Perundingan tersebut dikenal dengan perdamaian Daumatul Jandal,
karena terjadi di daerah Daumatul Jandal. Dalam perundingan itu, pihak
Muawwiyah mengangkat Amr bin Ash sebagai kepala utusan, dari pihak Ali mengangkat
Abu Musa Al Asy’ari. Tanya jawab diadakan dan akhirnya setuju untuk
mempersiapkan jawaban agar Ali dan Muawwiyah diturunkan dari keKhalifaan.
Kemudian diserahkan kepada umat untuk memilih Khalifah yang disukainya, demi
persatuan dan kesatuan umat Islam. Mula-mula
Abu Musa berdiri, kemudian memutuskan mencabut Ali dari ke Khalifahan. Setelah itu Amr bin Ash juga
berdiri dan memutuskan memecat Ali seperti yang dikatakan Abu Musa dan
menetapkan Muawwiyah menjadi Khalifah atas pemilihan umat.
Peristiwa
Tahkim dan Dampaknya
Akibat
terjadinya perselisihan pendapat dalam pasukan Ali, maka timbullah golongan
Khawarij dan Syi’ah. Khawarij adalah golongan yang semula pengikut Ali ,
setelah berhenti perang Siffin mereka tidak puas, dan keluar dari golongan Ali,
karena mereka ingin melanjutkan peperangan yang sudah hampir menang, dan mereka
tidak setuju dengan perundingan Daumatul Jandal. Mereka berkomentar mengapa
harus bertahkim kepada manusia, padahal tidak ada tempat bertahkim kecuali
allah. Maksudnya tidak ada hukum selain bersumber kepada Allah. Khawarij
menganggap Ali telah keluar dari garis Islam. Karena itu orang-orang yang
melaksanakan hukum tidak berdasarka Kitab Allah maka ia termasuk orang kafir.
Sebaliknya golongan kedua Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali
sebagai Khalifah) memberi tanggapan bahwa tidak menutup kemungkinan
kepemimpinan Muawwiyah bertindak salah, karena ia manusia biasa, selain itu
golongan Syi’ah beranggapan bahwa hanya Ali satu-satunya yang berhak menjadi
Khalifah. Mengingat perdebatan ini tidak titik temunya dan mengakibatkan
perundingan Daumatul Jandal gagal sehingga perdamaian tidak terwujud.
Ali bin Abi
Thalib Wafat
Kaum
Khawarij tidak lagi mempercayai kebenaran pemimpin-pemimpin Islam, dan mereka
berpendapat bahwa pangkal kekacauan Islam pada saat itu adalah karena adanya 3
orang imam, yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr.
Kemudian
kaum Khawarij membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh dalam
satu saat, bila hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”. Demikian
tekad mereka. “Saya membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya membunuh
Muawwiyah”, sambut Barak bin Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh Amr”,
demikian kesanggupan Amr bin Bakr Attamimi. Mereka bersumpah akan melaksanakan
pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara
tiga orang Khawarij itu. Tetapi hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali
ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun
tertangkap dan juga dibunuh.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuh di Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat. Khalifah Ali wafat dalam usia 58 tahun, kemudian Hasan bin Ali dinobatkan menjadi Khalifah yang berkedudukan di Kufah.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuh di Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat. Khalifah Ali wafat dalam usia 58 tahun, kemudian Hasan bin Ali dinobatkan menjadi Khalifah yang berkedudukan di Kufah.
C. KEMAJUAN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Masa kekuasaan khulafaur rasyidin
yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan
masa kekuasaan khalifah Islam yang berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam
lebih luas. Nabi Muhammad SAW yang telah meletakkan dasar agama Islam di Arab,
setelah beliau wafat, gagasan dan ide-idenya diteruskan oleh para khulafaur
rasyidin. Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintahan khulafaur
rasyidin dalam waktu yang relatif singkat telah membuahkan hasil yang
gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia, ekspansi kekuasaan Islam menembus
luar Arabia memasuki wilayah-wilayah Afrika, Syiria, Persia, bahkan menembus ke
Bizantium dan Hindia. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat
kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan
menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman
politik yang memadai.
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain sebagai
berikut :
1.
Islam, di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2.
Dalam dada para sahabat Nabi SAW tertanam keyakinan yang sangat kuat tentang
kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) keseluruh penjuru dunia.
3.
Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu
mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi
peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri
masing-masing.
4.
Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya
kemerdekaan beragama bagi rakyat.
5.
Islam datang kedaerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan
toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6.
Bangsa Sami di Syiria dan Palestina, dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa
Arab lebih dekat daripada bangsa Eropa, Bizantiun, yang memerintah
mereka.
7.
Mesir, Syiria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan intu membantu
penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.[8]
Pada masa
kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di
antaranya adalah muculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara gerakan
pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut :
1.
Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpulkan dalam bentuk mushaf pada
masa Abu Bakar.
2.
Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3.
Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan
berIslam pada penduduk negeri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa
Utsman dikirim ke berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan
Al-Qur’an dan As-sunnah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4.
Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis
abad ke-19 banyak mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah dan
menafsirkan dengan motif bendawi.
5.
Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahaan antara dakwah dan Negara, antara
da’I maupun panglima.
Dr. Hasan
Ibrahim dalam bukunya “Tarikh Al-Islam As-Siyasi”, menjelaskan bahwa organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga negara
yang ada pada masa Khulafaur rasyidin, diantaranya sebagi berikut :
1.
Lembaga Politik.
Termasuk
dalam lembaga politik khilafah (jabatan
kepala negara), wizarah (kementerian
negara), dan kitabah (sekretaris
negara.
2.
Lembaga Tata Usaha Negara
Termasuk
dalam urusan lembaga tata usaha negara, Idaratul
Aqalim (pengelolaan pemerintah daerah) dan diwan (pengurusan departemen) seperti diwan kharaj (kantor urusan keuangan), diwan rasail (kantor urusan arsip), diwanul barid (kantor urusan pos), diwan shyurtah (kantor urusan kepolisian) dan departemen lainnya.
3.
Lembaga Keuangan Negara.
Termasuk
dalam lembaga keuangan negara adalah urusan-urusan keuangan dalam masalah ketentaraan,
baik angkatan perang maupun angkatan laut, serta perlengkapan dan persenjataannya.
4.
Lembaga Kehakiman Negara.
Termasuk
dalam lembaga kehakiman negara, urusan-urusan mengenai Qadhi (pengadilan negeri), Madhalim
(pengadilan banding), dan Hisabah (pengadilan
perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang memerlukan
pengurusan segera.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah di pilih berdasarkan musyawarah.
Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui
pertemuan saqifah atas usulan Umar. Problem besar yang dihadapi Abu Bakar ialah
munculnya nabi palsu dan kelompok ingkar zakat serta munculnya kamum murtad,
Musailimah bin Kazzab beserta pengikutnya menolak membayar zakat dan murtad
dari Islam yang mengakibatkan terjadinya perang Yamamah. Pasukan islam dipimpin
Khalid bin Walid berusaha menumpas kaum ingkar zakat yang dipimpin Musailamah
bin Kazzab tersebut hingga mengakibatkan banyak sahabat yang gugur termasuk 70
penghafal Al-Qur’an. Perang tersebut terjadi pada tahun 12 H. Umar yang tahu
akan hal itu merasa khawatir akan kelestarian Al-Qur’an hingga dia mengusulkan
kepada Abu Bakar agar membukukan/mengumpulkan mushaf yang ditulis pada masa
nabi menjadi satu mushaf Al-Qur’an. Mushaf yang sudah terkumpul disimpan oleh
Abu Bakar, ketika Abu Bakar sakit dia bermusyawarah dengan para sahabat untuk
menggantikan beliau menjadi khalifah pada masa Umar gelombang ekspansi pertama
terjadi. Umar membagi daerah kekuasaan islam menjadi 8 propinsi yaitu : Makkah,
Madinah, Syiria, Basrah, Kofah, Palestina, dan Mesir. Umar membentuk panitia
yang beranggotakan 6 orang sahabat dan meminta salah satu diantaranya menjadi
khalifah setelah Umar wafat. Panitia berhasil mengangkat Utsman menjadi khalifah.
Pada masa pemerintahan Utsman wilayah Islam meluas sampai ke Tripoli barat,
Armenia dan Azar Baijan hingga banyak penghafal Al-Qur’an yang tersebar dan
tarjadi perbedaan dialek, yang menyebabkan masalah serius. Utsman membentuk tim
untuk menyalin Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar, tim ini
menghasilkan 4 mushaf Al-Qur’an dan Utsman memerintahkan untuk membakar seluruh
mushaf selain 4 mushaf induk tersebut.
Utsman
dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat pejabat
dari kaumnya sendiri (Bani Umayah). Setelah Utsman wafat umat islam membaiak
Ali menjadi khalifah pengganti utsman, kaum Bani Umayah menuntut Ali untuk
menghukum pembunuh Utsman, karena merasa tuntutannya tidak dilaksanakan Bani Umayah
dibawah pimpinan Mu’awiyah memberontak terhadap pemerintahan Ali. Perang Sifin
mengakibatkan perpecahan pada kelompok Ali. Dipenghujung pemerintahan Ali umat
islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu, Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali),
dan Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali). Setelah Ali meninggal, ia
diganti oleh anaknya, Hasan. Hasan mengadakan perundingan damai dengan
Mu’awiyah dan umat islam dikuasai oleh Mu’awiyah. Dengan begitu berakhirlah
pemerintahan yang berdasarkan pemilihan (khulafaur rasyidin) berganti dengan
sistem kerajaan).
DAFTAR
PUSTAKA
Amin Samsul
Munir, Sejarah Perkembangan Islam,
Jakarta: Amzah, 2009.
Susanto
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik,
Jakarta Timur: Prenada Media
Yatim Badri,
Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Sinn Ahmad Ibrahim Abu, Manajemen
Syariah, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996.
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta:
Amzah, 2009). hlm. 93-94.
[2] Ibid. hlm.94-96.
[6]Ahmad
Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996). hlm. 44-46.
[7]Musyrifah
Susanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada Media). hlm. 32-33.
[9] Samsul Munir Amin. Opcit. hlm. 115-116.
0 komentar:
Post a Comment