Wednesday, January 6, 2016

PERADABAN ISLAM PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN


 Sejarah Peradaban Islam
Semester 1
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2014
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum WR.WB
            Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt atas segala rahmatnya yang telah menciptakan manusia di atas mahkluk –mahkluk yang lain . Juga tidak lupa shalawat dan salam atas junjungan kita nabi Muhammad saw beserta pengikutnya. Alhamdulilah berkat rahmat dan karunia nya kami dapat meyelesaikan makalah yang berjudul  PERADABAN ISLAM DI MASA KHULAFAUR RASYIDIN”. Makalah ini akan sedikit mengupas kehidupan politik pada masa Khulafa al –rasyidin yang di sajikan secara ringkas.
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritiknya sangat kami harapkan.
 Akhir kata kami ucapkan Terima kasih untuk semua yang  berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Wassalam


                                                                                         Metro, 14 November 2014





DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................. 3
A.    Pengertian Khulafaurrasyidin ...................................................... 3
B.     Khalifah-Khalifah Khulafarrasyidin ............................................ 5
C.     Kemajuan pada Masa Khulafaurrasyidin .................................. 24
BAB III PENUTUP ................................................................... .....27
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejarah adalah suatu rujukan saat kita akan membangun masa depan. Namun, kadang orang malas untuk melihat sejarah. Sehingga orang cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa lalu. Disnilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang masa depan.
Khulafa al-Rasyidun sebagai sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad kiranya pantas untuk dijadikan sebagai rujukan saat kita akan melaksanakan sesuatu dimasa depan. Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam. Dari mulai cara pengaangkatan sebagai khalifah, sistem pemerintahan, pengelolaan administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan lain sebagainya.
Dalam memahami sejarah kita dituntut untuk dapat berpikir kritis. Sebab, sejarah bukanlah sebuah barang mati yang tidak dapat dirubah. Akan tetapi sejarah bisa saja dirubah kisahnya oleh sang penulis sejarah. Nalar kritis kita dituntut untuk mampu membaca sejarah dan membandingkan dengan pendapat lain. Saat kita sudah mampu untuk menyibak tabir sejarah dari berbagai sumber, barulah kita dapat melakukan rekonstruksi sejarah.
Rekonstruksi sejarah perlu dilakukan agar kita dapat memisahkan antara peradaban Arab dan peradaban Islam. Sebab, kita sering memakan mentah-mentah peradaban yang datang dari Arab sebab semuanya dianggap sebagai peradaban Islam. Kita perlu memandang peradaban dari berbagai aspeknya. Langkah ini agar kita tidak hanya sekedar ”bangga” dan larut dalam historisisme yang seringkali ”menjebak” pemikiran progressif kita.


B.     Rumusan Masalah
Secara garis besar pembuatan makalah kami ini akan membahas tentang:
1.      Pengertian dan tugas khulafaurrasyidin
2.      Khalifah-Khalifah pada masa khulafaurrasyidin
3.      Kemajuan peradaban pada masa khulafaurrasyidin




BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KHULAFAURRASYIDIN

1.      Khulafaurrasyidin
Kata khulafaurrasyidin itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata khulafa dan rasyidin, khulafa’ itu menunjukkan banyak khalifah, bila satu disebut khalifah, yang mempunyai arti pemimpin dalam arti orang yang mengganti kedudukan Rasulullah SAW sesudah wafat melindungi agama dan siasat (politik) keduniaan agar setiap orang menepati apa yang telah ditentukan oleh batas-batasnya dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama islam.
Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi khulafaurrasyidin mempunyai arti pemimpin yang bijaksana sesudah nabi Muhammad wafat. Para khulafaurrasyidin itu adalah pemimpin yang arif dan bijaksana.
 Mereka itu terdiri dari para sahabat nabi Muhammad SAW yang berkualitas tinggi dan baik adapun sifat-sifat yang dimiliki khulafaurrasyidin sebagai berikut:
a)      Arif dan bijaksana
b)      Berilmu yang luas dan mendalam
c)      Berani bertindak
d)     Berkemauan yang keras
e)      Berwibawa
f)       Belas kasihan dan kasih sayang
g)      Berilmu agama yang amat luas serta melaksanakan hukum-hukum Islam.
Para sahabat yang disebut khulafaurrasyidin terdiri dari empat orang khalifah yaitu:
1)      Abu Bakar Shiddiq khalifah yang pertama (11–13 H/632–634 M)
2)      Umar bin Khattab khalifah yang kedua (13–23 H/634–644 M)
3)      Utsman bin Affan khalifah yang ketiga (23–35 H/644–656 M)
4)      Ali bin Abi Thalib khalifah yang keempat (36–41 H/656–661M)

2.      Tugas-tugas Khulafaurrasyidin
Tugas Rasulullah SAW meliputi dua hal, yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Para khalifah hanya menggantikan Rasulullah dalam tugas kenegaraan, yaitu sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pemimpin umat. Tugas beliau sebagai Nabi dan Rasul tidak digantikan oleh siapapun, karena tugas kenabian yang dimilikinya itu bersifat khusus atas pemilihan langsung oleh Allah SWT di samping itu, beliau adalah nabi dan rasul terakhir. Tidak ada nabi dan rasul yang diangkat setelah beliau wafat.
Masa kekhalifaan beliau kurang lebih selama 30 tahun. Waktu yang sekian lama itu Islam meluas ke daerah Syam, Irak, Palestina, Mesir, Sudan dan beberapa daerah di Benua Afrika. Panglima perang pada masa khulafaurrasyidin yang terkenal diantaranya ialah Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, Amr bin Ash, Mutsanna bin Haritsah, Sa’ad bin Abu Waqqosh.






B.     KHALIFAH-KHALIFAH KHULAFAUARRASYIDIN

1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Dia temasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena dia lah orang yang paling awal memeluk agama Islam. Gelar Ash-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj. Seringkali mendampingi rasulullah di saat-saat penting atau jika berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan di Madinah.
Hal menarik dari Abu Bakar, bahwa pidato inaugurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Rasulullah. Di bawah ini adalah sebagian kutipan dari pidato Abu Bakar yang terkenal itu:
“Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah,maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang kamu anggap lemah, aku pandang kuat sampai aku mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu menaatiku”.[1]
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya nabi. Terpilihnya Abu Bakar membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas mulia nabi. Dia menyadari bahwa kekuatan kepemimpinannya bertumpu pada komunitas yang bersatu ini, yang pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan nabi yang hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah di bawah pimpinan Usamah. Hal tersebut dilakukan untuk membalas pembunuhan ayahnya, Zaid, dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah. Sebagian sahabat menentang keras rencana ini, tetapi khalifah tidak perduli. Nyatanya ekspedisi ini sukses dan membuat pengaruh positif bagi umat Islam, khususnya di dalam membangkitkan kepercayaan diri mereka yang nyaris pudar.
            Wafatnya nabi mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya melakuakan riddah, yaitu gerakan pengingkaran terhadap Islam. Riddah berarti murtad, beralih agama dari Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan pembangkangan (distortion) terhadap lembaga khalifah. Sikap mereka adalah perbuatan makar yang melawan agama dan pemerintah sekaligus.
            Oleh karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut kekuasaan.
            Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri, Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Persia dan Bizantium, yang akhirnya menjurus kepada serangkaian peperangan melawan kedua kekaisaran itu.
            Tentara Islam di bawah pimpinan Musanna dan Khalid bin Walid dikirim ke Irak dan menaklukan Hirah. Sedangkan ke Syiria, suatu negara di utara Arab  yang dikuasai Romawi Timur (Bizantium), Abu Bakar mengutus empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Ash dan Syurahbil. Ekspedisi ke Syiria ini memang sangat besar artinya dalam konstalasi politik umat Islam karena daerah protektorat itu merupakan front terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Romawi Timur. Faktor penting lainnya dari pengiriman pasukan besar-besaran ke Syiria ini sehingga dipimpin oleh empat panglima sekaligus adalah karena umat Islam Arab memandang Syiria sebagai bagian integral dari semenanjung Arab.
Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari terbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari. Sebelum wafat, khalifah Abu Bakar  telah berwasiat kepada para sahabatnya, bahwa khalifah pengganti setelah dirinya adalah Umar bin Khattab. Hal ini dilakukan guna menghindari perpecahan diantara kaum muslimin.
Langkah-langkah kebijakan Abu Bakar
Setelah rasulullah wafat, muncullah kesulitan-kesulitan yang dihadapi umat islam dibawah pimpinan Abu Bakar, diantaranya yang terpenting adalah menghadapi orang-orang yang mengaku nabi, menghadapi orang-orang murtad, dan orang-orang yang membangkang tidak mau membayar pajak.
1. Menumpas Nabi Palsu
Ada empat orang yang menamakan dirinya sebagai nabi. Padahal Islam mengajarkan bahwa Nabi muhammad SAW adalah nabi akhiruzzaman. keempat yang mengaku nabi itu adalah nabi palsu. yaitu Musailamah Al kazab dari bani hanifah di Yamamah, Sajah Tamimiyah dari bani tamim, Al aswad Al Anshi dari Yaman dan Tulaihah bin Khuwailid dari bani asad di Nejed. Adanya nabi-nabi palsu itu pasti membahayakan kehidupan agama dan negara islam. khalifah Abu Bakar menugaskan pasukan islam untuk menumpas mereka dan pengikut-pengikutnya, penumpasan itu berhasil dengan gemilang dibawah pimpinan panglima Khalid bin Walid. Musailamah dibunuh oleh Washy, Al Aswad dibunuh oleh istrinya sendiri, Tulaihah dan Sajad lari dan menyembunyikan diri.
2. Memberantas Kaum Murtad
Berita wafatnya rasulullah SAW, berakibat menggoyahkan iman bagi orang-orang islam yang masih tipis imannya, banyak orang menyatakan dirinya keluar dari Islam (murtad). Tidak mau shalat dan tidak lagi membayar zakat, bahkan ada sementara daerah-daerah memisahkan diri dengan pemerintahan pusat di Madinah, sedangkan daerah-daerah yang masih setia adalah Madinah, Mekah dan Thaif. Abu Bakar berunding dengan para sahabat yang lain dalam menghadapi para kaum murtad itu. Mereka sepakat menyeru agar bertaubat, jika tidak mau sadar, mereka akan dihadapi dengan menggunakan kekerasan. Tetapi usaha lemah lembut dari pemerintahan Islam di Madinah itu mereka abaikan, kaum murtad didukung oleh kekuatan besar kurang lebih 40.000 orang. muslimin menghadapi mereka dengan pasukan yang besar pula, Abu Bakar mengirim ekspedisi dibawah pimpinan Ikhrimah bin Abu Jahal, Syurahbil bin Hasnah, Amru bin Ash, dan khalid bin Walid. Tindakan tegas kaum muslimiin itu dapat melumpuhkan kekuatan kaum murtad, sehingga mereka kembali mentaati perintah syariat Islam.Abu Bakar berhasil dalam usaha ini, sehingga wilayah Islam utuh kembali.
3. Menghadapi Kaum yang Ingkar Zakat
Banyak diantara kaum muslimin yang pemahaman mereka, terhadap hukum Islam belum mendalam dan imannya masih tipis, mereka beanggapan bahwa kewajiban berzakat hanya semata-mata untuk nabi. karena nabi telah wafat, maka bebaslah mereka dari kewajiban untuk berzakat.padahal zakat adalah salah satu rukun Islam yang harus ditegakkan.
Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat menghadapi kaum ingkar zakat itu. meskipun keputusan musyawarah itu tidak bulat, Abu Bakar tetap teguh pada pendiriannya bahwa kewajiban zakat harus dilaksanakan. mereka yang membangkang harus diperangi. sebelum pasukan muslimin dikerahkan, Abu Bakar terlebih dahulu mengirimkan surat kepada pembangkang agar kembali ke Islam. namun sebagian besar mereka tetap bersikeras, karena itu pasukan muslimin pun dikerahkan dan dalam waktu yang relatif singkat pasukan Abu Bakar telah berhasil dengan gemilang.
Dengan berhasilnya kaum muslimin ini, keadaan negara Arab kembali tenang, dan suasana umat Islam pun kembali damai.seluruh kabilah taat kembali membayar zakat sebagaimana pada masa rasulullah SAW.
4. Mengumpulkan Ayat-Ayat Al-Qur’an
Akibat peperangan yang sering dialami oleh kaum muslimin, banyak penghafal Al-Qur’an (huffadz) yang gugur sebagai syuhada dalam pertempuran. Jumlahnya tidak kurang dari 70 orang sahabat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dikalangan umat Islam serta kecemasan dihati Umar bin Khattab akan kehilangan ayat suci Al-Qur’an itu. Maka dinasehatkan kepada Abu Bakar agar ayat-ayat Al-Qur’an dikumpulkan. Atas saran-saran dari Umar bin Khattab pada awal 13 H Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Qur’an menjadi Mushaf. Mengingat dahulu berserakan dalam dada penghafal, bahkan ada yang ditulis di atas batu, pada kain, tulang dan sebagainya. Menurut Jalaluddin As-Suyuti bahwa pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an ini termasuk salah satu jasa terbesar dari khalifah Abu Bakar.[2]
2.      Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)

Umar bin Khaththab nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-Quraisy dari suku Adi; salah satu suku terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekah empat tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani.[3]
Beberapa keunggulan yang dimiliki Umar, membuat kedudukannya semakin dihormati dikalangan masyarakat Arab, sehingga kaum Quraisy memberi gelar ”Singa padang pasir”, dan karena kecerdasan dan kecepatan dalam berfikirnya, ia dijuluki ”Abu Faiz”. Itulah sebabnya pada saat-saat awal penyiaran Islam, Rasulullah SAW berdoa kepada Allah, ”Allahumma Aizzul Islam bi Umaraini” artinya: ”Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah satu dari dua Umar” yang dimaksud dua Umar oleh Rasulullah SAW adalah Umar bin Khattab dan Amru bin Hisyam (nama asli Abu Jahal).
Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai Khalifah itu merupakan fenomena yang baru, tapi haruslah dicatat bahwa proses pralihan kepemimpinan tetap dalam bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Untuk menjajagi pendapat umum, Khalifah Abu Bakar melakukan serangkaian konsultasi terlebih dahulu dengan beberapa sahabat, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan.
Setelah mendapat persetujuan dari para sahabat dan baiat dari semua anggota masyarakat Islam Umar menjadi Khalifah. Umar bin Khathtab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya.
Langkah-langkah Kebijakan Umar bin Khattab
Usaha Umar bin Khattab lebih luas di bandingkan dengan usaha Abu Bakar, karena meliputi usaha meneruskan ekspansi dan penyiaran Islam ke Syiria dan Persia yang diteruskan ke Mesir. Dalam bidang kenegaraan, khalifah membentuk dewan-dewan pemerintah serta mengatur tata tertib kehidupan masyarakat Islam. Dengan demikian pemerintahan Umar lebih maju diantara keempat zaman khulafaurrasyidin. Diantara usaha-usaha Umar gelombang ekspansi Islam ialah melalui peperangan yang sangat sengit seperti: perang cadesia (16 H=636 M) panglima perang pada waktu itu adalah Saat bin Abi Waqos beserta pasukannya sebanyak 8.500 orang untuk menghadapi tentara persia sebanyak 30.000 yang dipimpin oleh panglima Rustam. Pasukan Islam menang dan pada akhir pertempuran berhasil menangkap putri Kisra Yaz Dajrid. Penaklukan Persia, Perluasan penyiaran Islam ke Persia sudah dimulai oleh Khalid bin Walid pada masa Khalifah Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar. Tetapi dalam usahanya itu tidak sedikit tantangan yang dihadapinya bahkan sampai menjadi peperangan. Ibu kota Madinah jatuh (18 H/636 M). Madinah merupakan ibu kota Persia. Setelah kota itu dikepung selama 2 bulan maka jatuhlah ketangan Islam. Raja Kisra Yaz Dajrid III meninggalkan Istana dan melarikan diri ke Nahawan. Di Nahawan. Yaz dajrid III berhasil mengumpulkan tentara sebanyak 150.000 orang, semua kekuatan dipusatkan disana. Oleh karena itu Khalifah Umar mengirim bantuan pasukan kepada Saad bin Abi Waqos. Perang nahawan (21 H/642 M), Disinilah puncak pertempuran di Persia, perang itu berakhir dengan kemenangan pasukan Islam. Karena dahsyatnya pertempuran itu, dalam sejarah dikenal dengan sebutan Fathul Futuh, artinya pembuka lembar kemenangan. Persia jatuh ketangan Islam (31 H/652 M), Setelah Nahawan dikuasai, mudahlah pasukan Islam menaklukkan daerah-daerah lain di Persia. Raja Yaz Dajrid III terus melarikan diri ke timur menuju perbatasan Persia. Tetapi malang bagi Kisra belum sampai ketempat yang dituju dia mati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan(31 H/652 M). Dengan tewasnya Raja Kisra berarti jatuhlah negeri Persia ketangan kaum Muslimin. Dengan demikian terbuktilah ramalan Rasulullah SAW, dengan kisahnya sebagai berikut: pernah terjadi (tahun 6H) dimana seorang Raja Persia mengoyak-ngoyak surat dariku, sebaliknya kelak negeri Persia akan dikoyak-koyak dan dikuasai kaum Muslimin.
Iskandariah, ibu kota Mesir telah dikepung selama empat bulan sebelum di taklukkan oleh pasuka Islam di bawah pimpinan Ubadah bin Samit yang dikirim oleh khalifah di front peperangan Mesir. Cyirus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian tersebut berisi beberapa hal sebagai berikut.
1)      Setiap warga negara diminta untuk membayar pajak perorangan sebanyak 2 dinar setiap tahun.
2)      Gencatan senjata akan berlangsung selama 7 bulan .
3)      Bangsa Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani tidak akan menyerang Iskandariah dan harus menjatuhkan diri dari permusuhan.
4)      Umat Islam tidak akan menghancurkan gereja-gerejan dan tidak boleh mencampuri urusan umat Kristen.
5)      Pasukan tetap Yunani harus meninggalkan Iskandariah dengan membawa harta benda dan uang, mereka akan membayar pajak perseorangan selama satu bulan.
6)      Umat Yunani harus tetap tinggal di Iskandariah.
7)      Umat Islam harus menjaga 150 tentara Yunani dan 50 sipil sebagai sandera sampai batas waktu dari perjanjian ini dilaksanakan.
Dengan jatuhnya Iskandariah maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. ibu kota negeri itu dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang dibangun oleh ‘Amr bin Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di pinggiran kota Kairo hingga kini sebagai saksi sejarah yang tidak dapat dihilangkan.
Di zaman pemerintahan Umar pusat kekuasaan Islam di Madinah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Khalifah Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahaan yang handal untuk melayani tuntunan masyarakat baru yang terus perkembang. Umar mendirikan beberapa dewan yaitu: membangun Baitul Mal, Mencetak Mata Uang, membentuk kesatuan tentara untuk melindungi daerah tapal batas, mengatur gaji, mengangkat para hakim dan menyelenggarakan “hisbah”.
Khalifah Umar juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara. Kekuasaan bagi Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu  sehinnga tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu dapat dihubungi oleh rakyat.
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainya kemaslahatan umat Islam. Misalnya mengenai kepemilikan tanah-tanah yang diperoleh dari suatu peperangan(ghanimah).
 Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam ke arah khalifah yang akan menunaikan shalat subuh yang telah di tunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi di pagi buta itu. Khalifah terluka parah, dari pembaringannya ia mengangkat “Syura” (komisi pemilih) yang akan memilih penerus tongkat kekhalifahannya. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharam 23 H/644 M.[4]
Atas persetujuan Siti Aisyah istri rasulullah Jenazah beliau dimakamkan berjajar dengan makam Rasulullah dan makam Abu Bakar. Demikianlah riwayat seorang khalifah yang bijaksana itu dengan meninggalkan jasa-jasa besar yang wajib kita lanjutkan.
3.      Utsman bin Affan (23-36 H/644-656 M).
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sedehana, dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putri Nabi SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal. Dan Utsman pernah meriwayatkan hadis kurang lebih 150 hadis.
Proses Pemilihan Utsman sebagai Khalifah
Sebelum khalifah Umar wafat, beliau sempat berwasiat dan menunjuk tim yang terdiri dari 6 orang sahabat terkemuka, sekaligus telah dijamin Nabi masuk surga, sebagai calon ganti kekhalifaannya. Keenam orang tersebut adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqash. Kepada tim, Umar menganjurkan agar putranya, Abdullah bin Umar ikut sebagai peserta musyawarah dan tidak boleh dipilih menjadi khalifah.awalnya hasil musyawarah yang diketuai oleh Abdurrahman bin Auf menunjukkan bahwa suara pada posisi seimbang, antara Ali dan Utsman. Karena Utsman lebih tua, Abdurrahman menetapkan Utsman bin Affan sebagai khalifah. Ketetapan itu disetujui oleh anggota tim dengan berbagai pertimbangan yang matang. Disamping Utsman sebagai salah seorang sahabat yang terdekat dengan Nabi, beliau juga seorang Assabiqunal Awwalun yang terkenal kaya dan dermawan, jiwa dan hartanya dikorbankan demi kejayaan Islam. Utsman bin Affan dibaiat sebagai khalifah pada tahun 23 H/644 M.
Jasa Utsman dalam Pembukuan Mushaf
Pada masa Utsman terjadi perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai pada wilayah Afrika, Asia, dan Eropa. Kaum muslimin terpencar ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam tersebut. Karena mereka berasal dari berbagai bangsa yang berbeda, maka sering terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur’an, keadaan ini mendorong perlunya satu jenis Al-Qur’an yang dijadikan pedoman untuk semua kaum muslimin. Untuk maksud tersebut Khalifah Utsman akan membukukan dan menggandakan Al-Qur’an. Lembaran-lembaran ayat Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar dan disimpan oleh hafsah, diminta oleh Utsman. Ia kemudian membentuk panitia penulisan kembali ayat Al-Qur’an, yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota: Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Tugas panitia ini adalah menyalin kembali lembaran-lembaran buku Al-Qur’an yang telah telah menjadi buku ini disebut Al-Mushaf. Panitia menggandakan sebanyak 5 buah. Empat diantaranya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah, dan Kufah. Sedang satu buah ditinggal di Madinah, yang disebut Mushaf Utsmani atau Mushah Al Imami.
Pencapian Pada Masa Pemerintahan Utsman.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah sterategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak. Karya monumental Utsman yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci Al-Qur’an. Penyusunan Al-Qur’an, yaitu Zaid bin Tsabit, sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an antara lain Adalah dari Hafsah, salah seorang Istri Nabi SAW. Kemudian dewan itu membuat beberapa salinan naskah Al-Qur’an untuk dikirimkan ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.[5]
Khalifah Utsman r.a. berusaha menjaga dan melestarikan sistem pemerintahan yang telah ditetapkan oleh Khalifah Umar r.a. surat yang dituliskan khalifah Utsman mencerminkan pelestarian tersebut : “khalifah Umar r.a. telah menentukan beberapa sistem yang tidak hilang dari kita, bahkan melingkupi kehidupan kita. Dan tidak ditemukan seorang pun di antara kalian yang melakukan perubahaan dan penggantian. Allah yang berhak mengubah dan menggantinya.”
Di awal kekhalifahannya, umur Utsman r.a. relatif tua. Akan tetapi, di saat umur khalifah melebihi 70 tahun, beliau masih sanggup memberangkatkan pasukan perang. Bentuk manajemen yang ditetapkan dalam pemerintahaan Umar r.a. tercermin dalam pengumpulan mushaf Al-qur’an menjadi satu di kenal dengan Mushaf Utsmani. Pada masa kekhalifahan Utsman r.a. terdapat indikasi praktik nepotisme. Hal ini yang membuat sekelompok sahabat mencela kepemimpinan Utsman r.a. karena telah memilih keluarga kerabat sebagai pejabat pemerintahaan.[6]
Pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Pada tahun 35 H/655 M, Utsman di bunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang kecewa itu. Utsman menjadi khalifah selama 12 tahun, dan wafat dalam usia 82 tahun. Sifatnya yang lemah lembut dan berhati sosial telah meninggalkan jasa yang tidak sedikit untuk kepentingan Islam, antara lain:  Menyempurnakan pembukuan Al-Qur’an, Merenovasi bangunan Masjid Nabawi di Madinah, Membentuk angkatan laut atas usul Muawiyah bin Abu Sofyan, Membangun gedung-gedung pengadilan, yang semula masjid-masjid, Menumpas pemberontakan-pemberontakan seperti di Khurasan dan Iskandariyah.
Pembunuhan Utsman merupakan malapetaka besar yang menimpa umat Islam. Dikalangan umat Islam yang diturunkan melalui Muhammad yang berbahasa Arab (sehingga perwujudan islam pada masa awalnya bercorak Arab) dengan alam pemikiran yang dipengaruhi kebudayaan Helinesia dan persi. Pembenturan itu membawa kegoncanggan dan kericuhan dalam beberapa bidang sebagai berikut :
a. Bidang Bahasa Arab.
b. Bidang Akidah.
c. Bidang Politik.[7]
4.      Ali bin Abi Thalib (35-41 H/656-661 M).
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dan menantu Nabi. Ali adalah putra Abi Thalid bin Abdul Muthalib. Ali adalah seseorang yang memiliki kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasehat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad.
Gelar-gelar yang disandang oleh Ali
“Babul Ilmu” gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadist Zulfikar karena pedangnya yang bermata, juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap Rasulullah memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan memperole kemenangan. “Karramallahu Wajhahu” gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan jiwanya. “Imamul masakin” (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu belas kasih kepada orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan orang-orang fakir, miskin dan yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan. Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya, itulah sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang diridhai Allah dan Rasulnya.
Proses dan Khalifahan Ali bin Abi Thalib.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai memba’iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang di angkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali siatem distribusi pajak tahunan dia antara orang-orang Islam sebagaimana pernah ditetapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakkan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama “Perang Jamal (Unta)” Karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Kebijakan Ali Menyusun Kembali Aparatur Kekhalifaan
Dalam periode khalifah Abu Bakar dan Umar, kehidupan masyarakat masih dalam taraf kesederhanaan seperti periode Nabi Muhammad SAW. Rakyat masih bersatu padu dan kokoh dibawah ikatan tali persaudaraan Islam. Mereka selalu kompak dalam semangat jihad yang ikhlas demi kelulusan agama Islam. Keadaan ini mulai berubah sejak periode Khalifah Utsman bin Affan. Mereka mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi, apalagi saat gubernur yang diangkat Khalifah Utsman banyak yang tidak mampu memimpin umat dan tidak disenangi masyarakat. Oleh karena itu Khalifah Ali bin Abi Thalib menanggung beban yang berat dalam memimpin kaum muslimin dengan wilayah kekuasaan yang semakin meluas. Kebijakan-kebijakan Khalifah Ali dalam menanggulangi hal-hal tersebut adalah:
1. Tanah-tanah atau pemberian-pemberian yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan kepada keluarga, sanak kerabatnya dan kepada siapa saja yang tanpa alasan yang benar atau tidak syah, ditarik kembali dan menjadi milik Baitul Mal sebagai kekayaan negara. Hal ini dilakukan Khalifah untuk membersihkan pemerintahan.
2. Wali/Amir atau gubernur-gubernur penguasa wilayah yang diangkat Khalifah Utsman diganti dengan orang-orang baru.
a)      Kuwait, Abu Musa Al Asy’ari diganti Ammarah bin Syahab
b)      Mesir, Abdullah bin Sa’ad diganti Khais bin Tsabit
c)      Basyrah, Abdullah bin Amr diganti Usnab bin Hany Al Anshori
d)     Syam (Syiria), Muawwiyah bin Abi Sofyan diganti Shal bin Hanif
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena mereka banyak yang tidak disenangi oleh kaum muslimin, bahkan banyak yang menganggap bahwa mereka itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan pada masa Khalifah Usman.
3. Sebagai upaya untuk mencerdaskan umat, Khalifah Ali meningkatkan dalam Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab agar umat Islam mudah dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadits.
4. Berusaha untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan umat Islam. Akan tetapi usahanya ini kurang berhasil, karena api fitnah dikobarkan kaum munafik Yahudi yang tidak menyukai Islam.
5. Mengatur tata pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, seperti memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari Baitul Mal sebagaimana yang telah dilakukan Abu Bakar dan Umar.
Kekecewaan sebagian Masyarakat Terhadap Kegagalan Ali                             
Menangkap Pembunuh Utsman, umat Islam pada Khalifah Ali, pecah menjadi beberapa kelompok. Ini adalah akibat belum selesainya kasus wafatnya Utsman bin Affan. Oleh karena itu, masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai kekecewaan yang mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang ingin menumbangkan Khalifah Ali.
1.      Perang Jamal
Dinamakan perang Jamal, karena dalam perang itu Aisyah mengendarai unta. Perang ini terjadi antara Khalifah Ali dengan Aisyah yang didukung oleh Zubair dan Thalhah. Ketiga sahabat ini menuntut balas atas kematian Khalifah Usman bin Affan. Perang ini terjadi pada tahun 36 H dan tidak berlangsung lama. Zubair dan Thalhah tewas, begitu juga unta yang ditunggangi Aisyah terbunuh. Sedangkan Aisyah pun dapat ditawan oleh pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib. “Sebaiknya Ibunda kembali ke Madinah”, usul Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Baiklah. Akan tetapi aku ber amanat agar engkau tetap mencari pembunuh Usman bin Affan dan memenggal kepala penjahat itu”, sahut Aisyah. “Saya setuju, Demi Allah, saya akan mencari pembunuh Usman bin Affan”, sumpah Khalifah Ali. Akhirnya Aisyah janda Nabi Muhammad SAW dikembalikan ke Madinah dengan penuh kehormatan.
2.      Perang Siffin
Setelah Khalifah Ali menundukkan pasukan berunta di Basrah, beliau bersama pasukannya menuju Kufah. Dari Kufah beliau mengirim Jabir bin Abdullah Al Bajali untuk meminta Muawwiyah mengurungkan niatnya menentang beliau, dan mengajak agar Muawwiyah menyatakan bai’ahnya terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Utusan Ali diterima oleh Muawwiyah. Ia memberi jawaban:
1. Ia tidak akan memberi bai’ah, sebelum kematian Utsman diselesaikan dengan tuntas.
2. Kalau Ali mengabaikan pengusutan terhadap pembunuhan Utsman, bukan bai’ah yang dilakukan. Tetapi Muawwiyah akan mengangkat senjata untuk melawan Ali.
Dimulailah perang besar di dataran Siffin dengan dahsyatnya antara Ali dengan Muawwiyah. Pertempuran berkecamuk hingga 4 hari lamanya. Dalam pertempuran tersebut tentara Muawwiyah mula-mula menang, tetapi kemudian kalah, dan akhirnya hendak melarikan diri. Tiba-tiba Amr mengambil siasat damai dengan memerintahkan kepada seluruh tentaranya mengacungkan Mushaf Al-Qur’an pada pucuk tombaknya serta menyeru “Marilah damai dengan hukum Kitabullah”. Melihat situasi yang demikian, pasukan Ali pecah menjadi dua golongan satu golongan menerima perdamaian, mengingat pertempuran yang dilakukan sesama muslik, satu golongan yang lain berpendapat perang terus hingga nyata siapa nanti yang menang, dengan dugaan mereka bahwa mengangkat Kitabullah hanyalah semata-mata tipu daya musuh. Khalifah Ali terpaksa mengikuti golongan pertama yang lebih banyak, yaitu menghentikan pertempuran yang sedang berkobar dan menantikan keputusan yang akan dirundingkan tanggal 15 Rajab 37 H. Perundingan tersebut dikenal dengan perdamaian Daumatul Jandal, karena terjadi di daerah Daumatul Jandal. Dalam perundingan itu, pihak Muawwiyah mengangkat Amr bin Ash sebagai kepala utusan, dari pihak Ali mengangkat Abu Musa Al Asy’ari. Tanya jawab diadakan dan akhirnya setuju untuk mempersiapkan jawaban agar Ali dan Muawwiyah diturunkan dari keKhalifaan. Kemudian diserahkan kepada umat untuk memilih Khalifah yang disukainya, demi persatuan dan kesatuan umat Islam. Mula-mula Abu Musa berdiri, kemudian memutuskan mencabut Ali dari ke Khalifahan. Setelah itu Amr bin Ash juga berdiri dan memutuskan memecat Ali seperti yang dikatakan Abu Musa dan menetapkan Muawwiyah menjadi Khalifah atas pemilihan umat.
Peristiwa Tahkim dan Dampaknya
Akibat terjadinya perselisihan pendapat dalam pasukan Ali, maka timbullah golongan Khawarij dan Syi’ah. Khawarij adalah golongan yang semula pengikut Ali , setelah berhenti perang Siffin mereka tidak puas, dan keluar dari golongan Ali, karena mereka ingin melanjutkan peperangan yang sudah hampir menang, dan mereka tidak setuju dengan perundingan Daumatul Jandal. Mereka berkomentar mengapa harus bertahkim kepada manusia, padahal tidak ada tempat bertahkim kecuali allah. Maksudnya tidak ada hukum selain bersumber kepada Allah. Khawarij menganggap Ali telah keluar dari garis Islam. Karena itu orang-orang yang melaksanakan hukum tidak berdasarka Kitab Allah maka ia termasuk orang kafir. Sebaliknya golongan kedua Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali sebagai Khalifah) memberi tanggapan bahwa tidak menutup kemungkinan kepemimpinan Muawwiyah bertindak salah, karena ia manusia biasa, selain itu golongan Syi’ah beranggapan bahwa hanya Ali satu-satunya yang berhak menjadi Khalifah. Mengingat perdebatan ini tidak titik temunya dan mengakibatkan perundingan Daumatul Jandal gagal sehingga perdamaian tidak terwujud.
Ali bin Abi Thalib Wafat
Kaum Khawarij tidak lagi mempercayai kebenaran pemimpin-pemimpin Islam, dan mereka berpendapat bahwa pangkal kekacauan Islam pada saat itu adalah karena adanya 3 orang imam, yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr.
Kemudian kaum Khawarij membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh dalam satu saat, bila hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”. Demikian tekad mereka. “Saya membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya membunuh Muawwiyah”, sambut Barak bin Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh Amr”, demikian kesanggupan Amr bin Bakr Attamimi. Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang Khawarij itu. Tetapi hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap dan juga dibunuh.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuh di Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat. Khalifah Ali wafat dalam usia 58 tahun, kemudian Hasan bin Ali dinobatkan menjadi Khalifah yang berkedudukan di Kufah.





C.    KEMAJUAN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

Masa kekuasaan khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam yang berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad SAW yang telah meletakkan dasar agama Islam di Arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide-idenya diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia, ekspansi kekuasaan Islam menembus luar Arabia memasuki wilayah-wilayah Afrika, Syiria, Persia, bahkan menembus ke Bizantium dan Hindia. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain sebagai berikut :
1.      Islam, di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2.      Dalam dada para sahabat Nabi SAW tertanam keyakinan yang sangat kuat tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) keseluruh penjuru dunia.
3.      Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4.      Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
5.      Islam datang kedaerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6.      Bangsa Sami di Syiria dan Palestina, dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab  lebih dekat daripada bangsa Eropa, Bizantiun, yang memerintah mereka.
7.      Mesir, Syiria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan intu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.[8]
Pada masa kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di antaranya adalah muculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut :
1.      Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpulkan dalam bentuk mushaf pada masa Abu Bakar.
2.      Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3.      Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berIslam  pada penduduk negeri. Oleh sebab itu, para sahabat pada masa Utsman dikirim ke berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Al-Qur’an dan As-sunnah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4.      Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19 banyak mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah dan menafsirkan dengan motif bendawi.
5.      Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahaan antara dakwah dan Negara, antara da’I maupun panglima.
Dr. Hasan Ibrahim dalam bukunya “Tarikh Al-Islam As-Siyasi”, menjelaskan bahwa organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga negara yang ada pada masa Khulafaur rasyidin, diantaranya sebagi berikut :
1.      Lembaga Politik.
Termasuk dalam lembaga politik khilafah (jabatan kepala negara), wizarah (kementerian negara), dan kitabah (sekretaris negara.
2.      Lembaga Tata Usaha Negara
Termasuk dalam urusan lembaga tata usaha negara, Idaratul Aqalim (pengelolaan pemerintah daerah) dan diwan (pengurusan departemen) seperti diwan kharaj (kantor urusan keuangan), diwan rasail (kantor urusan arsip), diwanul barid (kantor urusan pos), diwan shyurtah (kantor urusan kepolisian) dan departemen lainnya.
3.      Lembaga Keuangan Negara.
Termasuk dalam lembaga keuangan negara adalah urusan-urusan keuangan dalam masalah ketentaraan, baik angkatan perang maupun angkatan laut, serta perlengkapan dan  persenjataannya.
4.      Lembaga Kehakiman Negara.
Termasuk dalam lembaga kehakiman negara, urusan-urusan mengenai Qadhi (pengadilan negeri), Madhalim (pengadilan banding), dan Hisabah (pengadilan perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang memerlukan pengurusan segera.[9]



 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah di pilih berdasarkan musyawarah. Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah melalui pertemuan saqifah atas usulan Umar. Problem besar yang dihadapi Abu Bakar ialah munculnya nabi palsu dan kelompok ingkar zakat serta munculnya kamum murtad, Musailimah bin Kazzab beserta pengikutnya menolak membayar zakat dan murtad dari Islam yang mengakibatkan terjadinya perang Yamamah. Pasukan islam dipimpin Khalid bin Walid berusaha menumpas kaum ingkar zakat yang dipimpin Musailamah bin Kazzab tersebut hingga mengakibatkan banyak sahabat yang gugur termasuk 70 penghafal Al-Qur’an. Perang tersebut terjadi pada tahun 12 H. Umar yang tahu akan hal itu merasa khawatir akan kelestarian Al-Qur’an hingga dia mengusulkan kepada Abu Bakar agar membukukan/mengumpulkan mushaf yang ditulis pada masa nabi menjadi satu mushaf Al-Qur’an. Mushaf yang sudah terkumpul disimpan oleh Abu Bakar, ketika Abu Bakar sakit dia bermusyawarah dengan para sahabat untuk menggantikan beliau menjadi khalifah pada masa Umar gelombang ekspansi pertama terjadi. Umar membagi daerah kekuasaan islam menjadi 8 propinsi yaitu : Makkah, Madinah, Syiria, Basrah, Kofah, Palestina, dan Mesir. Umar membentuk panitia yang beranggotakan 6 orang sahabat dan meminta salah satu diantaranya menjadi khalifah setelah Umar wafat. Panitia berhasil mengangkat Utsman menjadi khalifah. Pada masa pemerintahan Utsman wilayah Islam meluas sampai ke Tripoli barat, Armenia dan Azar Baijan hingga banyak penghafal Al-Qur’an yang tersebar dan tarjadi perbedaan dialek, yang menyebabkan masalah serius. Utsman membentuk tim untuk menyalin Al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar, tim ini menghasilkan 4 mushaf Al-Qur’an dan Utsman memerintahkan untuk membakar seluruh mushaf selain 4 mushaf induk tersebut.
Utsman dibunuh oleh kaum yang tidak puas akan kebijakannya yang mengangkat pejabat dari kaumnya sendiri (Bani Umayah). Setelah Utsman wafat umat islam membaiak Ali menjadi khalifah pengganti utsman, kaum Bani Umayah menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman, karena merasa tuntutannya tidak dilaksanakan Bani Umayah dibawah pimpinan Mu’awiyah memberontak terhadap pemerintahan Ali. Perang Sifin mengakibatkan perpecahan pada kelompok Ali. Dipenghujung pemerintahan Ali umat islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu, Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali). Setelah Ali meninggal, ia diganti oleh anaknya, Hasan. Hasan mengadakan perundingan damai dengan Mu’awiyah dan umat islam dikuasai oleh Mu’awiyah. Dengan begitu berakhirlah pemerintahan yang berdasarkan pemilihan (khulafaur rasyidin) berganti dengan sistem kerajaan).













DAFTAR PUSTAKA
Amin Samsul Munir, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Susanto Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur: Prenada Media
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Sinn Ahmad Ibrahim Abu, Manajemen Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.






[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009). hlm. 93-94.
[2] Ibid. hlm.94-96.
[3] Ibid. hlm.98.
[4] Ibid. hlm. 98-104.
[5] Ibid. hlm. 104-106.
[6]Ahmad Ibrahim Abu Sinn, Manajemen Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). hlm. 44-46.
[7]Musyrifah Susanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada Media). hlm. 32-33.

[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2000), hlm.41-42.
[9] Samsul Munir Amin. Opcit. hlm. 115-116.
Add to Cart

0 komentar:

Post a Comment