Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Didik Kusno Aji Nugroho,
S.E.I, M.S.I.
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
JURAI SIWO
METRO
2014
ISLAM DAN GAGASAN UNIVERSAL
A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama terbuka dan universal yang
mana inti ajarannya selain memerintahkan penegakan keadilan dan menghapuskan kezaliman,
juga meletakan pilar-pilar perdamaian yang diiringi dengan himbauan kepada umat
manusia agar hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang
perbedaan ras, suku, bangsa dan agama, karena manusia pada awalnya berasal dari
asal yang sama. Firman Allah:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qà)®?$#
ãNä3/u
Ï%©!$#
/ä3s)n=s{
`ÏiB
<§øÿ¯R
;oyÏnºur
. (QS
annisa’:1)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama.”
Agama islam adalah
bersifat terbuka terhadap dunia barat, hal ini sesuai dengan anjuran agama islam. Kita tahu
bahwa kita adalah pemilik risalah islamiyah (global) yang datang untuk seluruh
manusia diseluruh penjuru dunia. Benar bahwa kitab suci kita berbahasa Arab,
Rasul kita seorang Arab, dan islam tumbuh di dunia Timur (Arab), tetapi ini
bukan berarti bahwa islam di tujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan
untuk segenap penduduk bumi.
Dalam makalah ini penulis akan membahas
tentang islam dan gagasan universal yang mana sub pembahasannya adalah:
1. Islam terhadap arus Globalisasi
2. Modernisasi dan puritanisme islam
3. Gerakan fundamentalisme dan radikalisme islam
4. Islam Ekslusif dan Inklusif
5. Islamisasi sains
6. dan Pluralisme agama-agama.
B. PEMBAHASAN
1.
Islam dan globalisasi
Dari segi bahasa (etimologi) Islam berasal
dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk kedalam kedamaian. Juga
berarti memelihara dalam keadaan sentosa, menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan
taat.[1]
Sedangkan Kata globalisasi berasal dari kata
global yang membawa makna universal. Makana Universal ini bersifat umum dan
agak sulit jika diartikan dengan khusus. Menurut Abuddin Nata, globalisasi merujuk kepada suatu keadaan dimana
antara satu negara dengan negara lainnya sudah menyatu. Batas-batas teritorial,
kultural dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan
penyatuan tersebut. Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa
pun, dimana pun, dan kapan pun, dengan cepat menyebar keseluruh pelosok dunia.[2]
Ketika membahas globalisasi, maka tak terlepas dari
yang namanya teknologi komunikasi.
Sekarang ini, dunia dengan segala perkembangannya dan kecanggihannya, sulit
untuk membedakan, mana yang dilegalkan oleh agama dan mana yang tidak. Karena,
dalam bentuk apapun sesuatu sudah terfasilitasi dengan mudah dan cepat.
Mulai yang berbentuk ibadah atau bahkan yang berbentuk kriminal. Dari sini,
tinggal diarahkan kemana manfaat teknologi tersebut.
Umat islam saat ini dalam posisi sangat
menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju, namun terbatas dalam dunia
teknologi, bukan penemu teknologi. Lebih parah lagi, mayoritas umat Islam
banyak yang sangat terlambat dalam mengikuti teknologi tersebut. Tak cukup
berhenti di sini, masih adanya umat Islam yang tidak mau menggunakan teknologi
karena melihat dari satu aspek kemudlorotan.[3]
Pada realita saat ini umat Islam minim dalam
penguasaan teknologi dan sains, umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang.
Disisi lain, umat non islam sangat maju dengan berbagai teknologi. Ahirnya,
dampak dari globalisasi akan menimbulkan berbagai reaksi yang bermacam-macam. Sementara
itu Atang Abdul Hakim mengelompokkan empat hal dampak besar dari globalisasi itu.
a.
Tradisionalis
Pemikir
tradisionalis, meyakini bahwa perjalanan umat islam, baik adanya kemajuan dan
kemunduran adalah ketentuan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu tentang semua
itu, baik dari segi hikmah kemajuan atau kemunduran umat islam. Karena menurut
mereka, mahluk tidak tau tentang gambaran besar mengenai sekenario Tuhan.
Sedangkan kemajuan dan kemunduran umat islam dinilai sebagai ujian dari Tuhan
atas keimanan umat islam.[4]
b.
Modernis
Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti
pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham dan
intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang
ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernsme lebih
mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham
dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis percaya bahwa, aspek kemunduran umat
islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan sikap mental, budaya atau
teologi mereka. Artinya, umat islam terbelakang karena mereka melakukan
sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.[5]
c.
Revivalisme
Dalam kamus ilmiyah populer arti dari revivalisme adalah gerakan untuk membangkitkan atau
menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang kukuh.[6]
Kecendrungan kelompok ketiga ini mengenai kemunduran umat Islam dalam arus
globalisasi adalah revivalis, baik faktor eksternal maupun internal. Artinya,
umat islam menggunakan idiologi lain (yang masih kolot), bukan merujuk pada
sumbernya langsung (Al-Qur’an), sebagai acuan dasar bertindak. Dan biasa
disebut dengan istilah kaum fundamentalisme. Seperti yang dikatakan Syafiq Hasim,
bahwa contoh kelompok ini adalah wahabisme dari tokoh Mohammad Abduh dan
Muhammad Jamaluddin Al-afghani. Menurut kelompok ini, islam harus menjawab
tantangan di era modern, untuk menjawab moderenitas ini, konsep teologi yang
harus dipakai adalah teologi liberal.
d.
Transformatif
Gerakan
Transformatif merupakan alternatif atau jalan keluar dari tiga golongan diatas.
Mereka beranggapan bahwa, keterbelakangan umat islam akan era globalisasi
disebabkan oleh ketidak seimbangan sistim dan setruktur ekonomi, politik dan
kultur. Oleh karena itu, agenda mereka melakukan trensformasi (menata ulang)
terhadap struktur. Artinya, semua elemen harus disama ratakan dalam hal
pemerolehan fasilitas teknologi, agar keterbelakangan tidak muncul.[7]
2. Modernisme dan puritanisme islam
a. Modernisme
Menurut kamus
besar bahasa Indonesia kata “modern” yang
artinya “terbaru”.[8] Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti
pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham dan
intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang
ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernisme lebih
mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham
dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis
percaya bahwa, aspek kemunduran umat islam, lebih banyak disebabkan adanya
kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka. Artinya, umat islam
terbelakang karena mereka melakukan sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.[9]
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Moderenisme dalam
islam adalah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-demensi moral, dengan
berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang maha Esa, dan bukan westernisasi
(budaya barat). Sebab westernisme ialah suatu total kehidupan dimana faktor
paling menonjol adalah sekularisme.[10]
b. Puritanisme
Modernisme dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali
doktrin tradisional, menyesuaikan dengan aliran-aliran modern dalam filsafat,
sejarah, dan ilmu pengetahuan.[11]
Sedangkan puritanisme, berarti paham dan tingkah laku yang didasarkan atas
ajaran kaum puritan. Puritan memiliki arti orang yang hidup saleh dan yang
menganggap kemewahan dan kesenangansebagai dosa.[12]
3. Gerakan
fundamentalisme dan radikalisme islam
a. Fundamentalisme
Fundamentalis adalah Faham keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner
yang merasa terancam oleh ajaran agama yang modern dan liberal sehingga merasa
perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yg tersurat dalam kitab suci.[13]
Sedangkan Fundamentalisme dalam Islam adalah gerakan
pemikiran yang menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi
kontekstual, sebab bagi mereka, yang demikian itu tidak memberikan kepastian.
Maka dari itu, memahami teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (murni
apa yang tertulis) merupakan alternatif yang mereka tonjolkan.
Menurut Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam secara garis
besar dapat di bagi menjadi dua kelompok besar, pertama Fundamentalisme Islam
yang merujuk pada wahabisme. Kedua Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada
model Syi’ah, gerakan ini mengalami perkembangannya pada tahun 1979 menyusul
kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini,
sebagai simbol fundamentalisme dunia Islam.[14]
1. Wahhabisme
Berbagai
kalangan banyak yang mengatakan bahwa munculnya fundamentalisme islam saat ini
berakar dari stilah salafi. Kaum salafi adalah gerakan yang menyerukan dirinya
kepada tradisi salaf atau dikenal dengan generasi 4 abad setelah nabi, dan
setelah 4 abad itu disebut dengan istilah generasi kholaf. Kemudian slogan ini
dipakai untuk pengikut Muhammad abduh yang juga santri seorang idiolog islam
Muhammad Jamaluddin Al afgan. Dasar klaim gerakan ini adalah ingin
mengembalikan ortodoksi syariat dengan memurnikan ajaran islam sesuai dengan
Al-Quran dan Al-Sunnah. Namun, hal yang patut di garis bawahi, mereka tidak mau
bila dikatakan sebagai kelompok yang mengikuti tokoh tertentu, termasuk
Muhammad Abdul Wahab.
Menurut Abdul
Hadi Abdurrohman, bahwa gerakan ini awal mulanya dipandegani oleh shohibul
Madzhab Hambali, Ahmad Ibnu Hambal (164
-241 H) kemudian deteruskan oleh Ibnu Taymiyah abad ke VII H. kemudian
dibakukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab pada abad XII H. di Jazirah Arab dan
sampai sekarang menjadi gerakan mayoritas di Arab yang di kenal dengan istilah
wahhabisme. Akidah menurut mereka tidak bisa dijadikan pegangan kecuali dari
teks, sedangkan akal menyesatkan. Karena para sahabat tidak pernah memakai
logika untuk memahami ajaran, tidak seperi filosop dan ahli kalam.
Menurut Abu Al-fadl, Cirri dari
kelompok ini adalah cara penafsiran teologis mereka cenderung mengucilkan
kelompok non islam, bahkan kelompok islam lain yang tidak sama dengan teologi
yang mereka punya. Dalam konsep jihad, kelompok ini lebih ekstrim karena model
penafsiran yang mereka pakai dan sering mengutip ayat-ayat yang memerintahkan
peperangan.
2. Syi’isme
Syi’isme adalah kelompok Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model syi’ah,
yakni mengembalikan ajaran kepada sumbernya namun dengan idiologi yang dicetuskan
oleh syiah. Gerakan ini mengalami perkembangannya pasca kemenangan Revolusi
Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, tahun 1979.[15]
b. Radikalisme
Radikalisme adalah gerakan yang ditandai empat hal. Pertama,
sikap tidak toleran atau tidak mau menghargai keyakinan orang lain. Kedua,
sikap fanatik atau menganggap dirinya yang paling benar. Ketiga, sikap
eksklusif atau membedakan diri dari kebiasaan umat islam mayoritas. Keempat,
sikap revolusioner, yaitu kecendrungan menggunakan kekerasan sebagai pencapaian
tujuan. Umumnya, radikalisme muncul karena pemaham agama yang tertutup dan
tekstual. Kelompok radikalisme selalu merasa kelompok yang paling memahami
ajaran Tuhan. Makanya mereka kerap sekali mengkafirkan atau menganggap sesat
orang lain.
Menurut Rahimi
Sabirin, radikalisme terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, radikalisme pemikiran
(yang sering disebut dengan kelompok fundamentalis) dan radikalisme dalam
tindakan (yang sering disebut dengan teroris).[16]
4. Islam: Eksklusif
dan Inklusif
Secara
etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan pengadopsian bahasa Inggris
“inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna “termasuk di
dalamnya” dan “tidak termsuk didalamnya/terpisah”.
Masalah
inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/gagasan
modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada
bidang teologi. Teologi Ekslusif tanpa menyisakan ruang toleransi untuk
berempati, apalagi simpati; “bagaimana orang lain memandang agamanya sendiri”.[17] Seperti sudah menemukan kesimpulan, kita
sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang lain, dengan memakai
standar teologi agama kita sendiri. Pun pula sebaliknya, orang lain menilai
bahkan menghakimi kita, dengan memakai standar teologi agamanya sendiri. Jelas
ini suatu mission imposible untuk bisa saling bertemu, apalagi sekedar toleran.
Hasilnya justru perbandingan terbaliknya. Masing-masing agama malah menyodorkan
proposal “klaim kebenaran” dan “klaim keselamatan” yang hanya ada pada agamanya
sendiri-sendiri, sementara pada agama lain dituduh salah, menyimpang, bahkan
menyesatkan.
Ide utama dari
teologi inklusif adalah pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab
suci (injil, Zabur, Taurat dan Qur‟an) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan Taqwa. Dalam
Qur’an Surat An-nisa, ayat 131.
¬!ur
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû
ÇÚöF{$#
3
ôs)s9ur
$uZø¢¹ur
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
öNà6Î=ö6s%
öNä.$Î)ur
Èbr&
(#qà)®?$#
©!$#
4
bÎ)ur
(#rãàÿõ3s?
¨bÎ*sù
¬!
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû
ÇÚöF{$#
4
tb%x.ur
ª!$#
$ÏZxî
#YÏHxq
.
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di
bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu
kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi
hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti sikap
patuh kehadirat tuhan. Sebagaimana cak nur paparkan bahwa : “pesan tuhan
itu bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama samawi, yang
mewarisi agama arab, yakni yahudi (nabi musa), kristen (nabi isa), dan islam
(nabi muhammad). Lewat firman-nya tuhan menekankan agar kita berpegang teguh
kepada agama itu, karena hakikaat dasar agama-agama itu (sebagai pesan tuhan)
adalah satu dan sama. Agama tuhan, pada esensinya sama, baik yang diberikan
kepada nabi nuh, musa, isa atau kepada nabi Muhammad. Kesamaan yang dimaksud
cak nur, terletak pada kesamaan dalam pesan besar, yakni paham ketuhanan yang
maha esa atau monoteisme, istilah inti ajaran para nabi dan rasul tuhan. Hal
tersebut sejalan pula dengan Ibn Taymiyah yang menyatakan bahwa meskipun
syari’atnya bermacam-macam. Maka kata nabi muhammad saw, “bahwa kami golongan
para nabi, agama kami adalah satu”. Yakni risalah tawhid yang berlandasan
kepada kepasrahan kehadirat tuhan. Bahkan, “kesadaran ketuhanan” (taqwa) yang
sifatnya monoteistik (tauhid) merupakan implikasi langsung dari al-islam itu
sendiri. Al-islam adalah al-din (tunduk patuh). “sesungguhnya ikatan (al-din)
disisi allah adalah sikap pasrah (al-islam) demikian firman tuhan”. Sikap
pasrah tersebut merupakan inti dasar teologi inklusif dari pandangan: kesatuan
kemanusiaan yang berangkat dari konsep ke-maha esa tuhan. Dimana akhirnya
sikap pasrah merupakan titik temu semua agama (ajaran) yang benar, sebagai
upaya menuju tuhan yang maha esa. Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat
ditarik kesepahaman sementara bahwa bangunan epistimologi inklusifisme dalam
islam diawalai dengan tafsiran al-islam sebagai sikap pasrah kehadirat tuhan.
Dimana kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar, yakni
bersikap berserah diri kepada tuhan (world view al-qur‟an). Dimana secara esensialnya wacana inklusif dan
ekslusif dalam islam, terutama yang berkenaan dengan konsep taqwa, tawhid
(monoteisme) dan al-islam (sikap pasrah).[18]
5. Islamisasi Sains
Islam dan Sains
adalah konteks yang mempunyai peranan besar dalam kehidupan. Agama menjadi
bagian integral dari keseluruhan kehidupan manusia. Sementara sains capaian
besar yang dibawa oleh peradaban modern.[19]
Agama dan Sains mempunyai cara kerja yang khas, ada
beberapa hal yang mempertemukan keduanya, namun dari keduanya sering
dipertentangkan. Tantangan terhadap kepercayaan beragama bukan berasal dari
pertentangan isi ilmu pengetahuan dan agama. Karena keduanya saling melengkapi.
Artinya, agama akan semakin meyakinkan bila di topang dengan sains, dan sains
pun muncul karena adanya pengalaman, dan salah satu wahana pengalaman adalah
agama. Kemudian jika ada pertentangan antara agama dengan sains, maka muara
perbedaan itu justru pada pandangan bahwa metode ilmiyah adalah sebagai
penyebab atas kebenaran. Karena, pembuktian sains akan agama belum tentu hal
yang dimaksud oleh agama itu sendiri.[20]
6. Pluralisme
Agama-Agama
Pluralitas
adalah sebagai "menerima perbedaan" atau menerima perbedaan yang
banyak".
Berkenaan
dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralism agama beberapa tahun
terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang
banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya
juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para
tokoh agama. Lebih lebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang
lalu di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, yang isinya :
a. Pluralism,
Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama
adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
b. Umat Islam
haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
c. Dalam masalah
aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram
mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk
agama lain.
d. Bagi
masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama),
dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam
bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk
agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Dalam pandangan Islam, faham pluralime adalah sikap menghargai dan toleran kepada
pemeluk agama lain, adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai
bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah
sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa
Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah.[21]
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari makalah d
atas dapat penulis simpulkan bahwa ada tiga pola pemikiran Islam tersebut di
atas yaitu : Tradisionalisme, Modernisme, dan Fundamentalisme.
masing-masing memiliki sisi kesamaan dan juga memeiliki kekurangan.
Tradisionalisme,
karena terlalu jauh menyatu dengan budaya lokal dan cenderung bertahan dengan
produk pemikiran lampau, sangat selektif terhadap gagasan-gagasan baru. Ia tidak
mempunyai keberanian mendobrak gagasan-gagasan ulama salaf sehingga nyaris
mandul.
Sedangkan
modernisme, karena terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga
pembaharuannya mengakibatkan kehilangan kesegaran orientasi. Disamping itu,
karena slogannya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga
penentangannya pada tradisi, mempunyai penolakan atas warisan khazanah klasik
Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme mengalami kekeringan intelaktual.
Sementara itu,
fundamentalisme juga tidak cukup menyakinkan mengingat ia sebenarnya hanyalah
bentuk keberagamaan yang reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang
mengakibatkan sangat rapuh dalam rumusan konsepsi dan konstruksi pemikrannya.
Dan dari
pembahasan di atas sangat sifatnya masih umum, artinya belum menggolongkan
kelompok tertentu untuk dimasukkan pada Moderenisme, Puritanisme,
Fundamentalisme, Pluralisme dan Radikalisme. Dan alangkah lebih lengkap lagi
jika dimasukkan juga kelompok kelompok tertentu yang ada di Indonesia. Untuk
itu, harus ada kajian yang lebih spesifik dan kongkrit, biar kita bisa
menghukumi mana golongan di sekitar kita yang masuk pada gerakan gerakan
diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar
Grafika Offset,
2006
Al Barri, M. Dahlan, Kamus
Ilmiyah Populer, Surabaya: Arkola, 2005
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2004
Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi
Islam, Yogyakarta: Teras, 2010
Madjid, Nurcholish, Islam Kemoderenan dan
keindonesianan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008
Nata, Abuddin, Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Sabirin, Rahimi, Islam & Radikalisme.
Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007
Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm: 942.
Hakim, Nurul, Islam Dalam Takaran Ekslusif
Dan Inklusif , diakses dari : www.badilag.net
www.voa-islam.com/read/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang
-pluralisme-agama.
[1] M.
Yatimin Abdullah, Studi Islam
Kontemporer, (Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2006). Hlm.15.
[2] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media, 2003). Hlm. 200.
[3]
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:PT.
Remaja Rosdakarya, 2004). Hlm. 194.
[6] M.
Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya:Arkola, 2005 ), Hlm.
678.
[10] Nurcholish
Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesianan, (Bandung:PT. Mizan
Pustaka, 2008), Hlm. 24.
[11] Kamus Bahasa
Indonesia. Op.cit. Hlm. 662.
[14]
Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Afkar, 2002), Hlm: 13
[15]
Ibid. hlm.13
[17]
Loc.cit
[18]
Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari :
www.badilag.net
[19]
Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam, (Yogyakarta:Teras, 2010). Hlm: 173.
[20]
Ibid. Hlm. 137.
0 komentar:
Post a Comment