Wednesday, January 6, 2016

ISLAM DAN GAGASAN UNIVERSA



Metodologi Studi Islam

Dosen Pengampu : Didik Kusno Aji Nugroho, S.E.I, M.S.I.
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) JURAI SIWO
METRO
2014



ISLAM DAN GAGASAN UNIVERSAL

A.      PENDAHULUAN
Islam adalah agama terbuka dan universal yang mana inti ajarannya selain memerintahkan penegakan keadilan dan menghapuskan kezaliman, juga meletakan pilar-pilar perdamaian yang diiringi dengan himbauan kepada umat manusia agar hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan agama, karena manusia pada awalnya berasal dari asal yang sama. Firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur   .   (QS annisa’:1)
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama.
Agama islam adalah bersifat terbuka terhadap dunia barat, hal ini  sesuai dengan anjuran agama islam. Kita tahu bahwa kita adalah pemilik risalah islamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia diseluruh penjuru dunia. Benar bahwa kitab suci kita berbahasa Arab, Rasul kita seorang Arab, dan islam tumbuh di dunia Timur (Arab), tetapi ini bukan berarti bahwa islam di tujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang islam dan gagasan universal yang mana sub pembahasannya adalah:
1.      Islam terhadap arus Globalisasi
2.      Modernisasi dan puritanisme islam
3.      Gerakan fundamentalisme dan radikalisme islam
4.      Islam Ekslusif dan Inklusif
5.      Islamisasi sains
6.      dan Pluralisme agama-agama.




B.       PEMBAHASAN
1.        Islam dan globalisasi
Dari segi bahasa (etimologi) Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk kedalam kedamaian. Juga berarti memelihara dalam keadaan sentosa, menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.[1]
Sedangkan Kata globalisasi berasal dari kata global yang membawa makna universal. Makana Universal ini bersifat umum dan agak sulit jika diartikan dengan khusus.  Menurut Abuddin Nata, globalisasi merujuk kepada suatu keadaan dimana antara satu negara dengan negara lainnya sudah menyatu. Batas-batas teritorial, kultural dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, dimana pun, dan kapan pun, dengan cepat menyebar keseluruh pelosok dunia.[2]
Ketika membahas globalisasi, maka tak terlepas dari  yang namanya teknologi komunikasi. Sekarang ini, dunia dengan segala perkembangannya dan kecanggihannya, sulit untuk membedakan, mana yang dilegalkan oleh agama dan mana yang tidak. Karena, dalam bentuk  apapun sesuatu sudah terfasilitasi dengan mudah dan cepat. Mulai yang berbentuk ibadah atau bahkan yang berbentuk kriminal. Dari sini, tinggal diarahkan kemana manfaat teknologi tersebut.
Umat islam saat ini dalam posisi sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju, namun terbatas dalam dunia teknologi, bukan penemu teknologi. Lebih parah lagi, mayoritas umat Islam banyak yang sangat terlambat dalam mengikuti teknologi tersebut. Tak cukup berhenti di sini, masih adanya umat Islam yang tidak mau menggunakan teknologi karena melihat dari satu aspek kemudlorotan.[3]
Pada realita saat ini umat Islam minim dalam penguasaan teknologi dan sains, umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang. Disisi lain, umat non islam sangat maju dengan berbagai teknologi. Ahirnya, dampak dari globalisasi akan menimbulkan berbagai reaksi yang bermacam-macam. Sementara itu Atang Abdul Hakim mengelompokkan  empat hal dampak besar dari globalisasi itu.
a.      Tradisionalis
Pemikir tradisionalis, meyakini bahwa perjalanan umat islam, baik adanya kemajuan dan kemunduran adalah ketentuan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu tentang semua itu, baik dari segi hikmah kemajuan atau kemunduran umat islam. Karena menurut mereka, mahluk tidak tau tentang gambaran besar mengenai sekenario Tuhan. Sedangkan kemajuan dan kemunduran umat islam dinilai sebagai ujian dari Tuhan atas keimanan umat islam.[4]
b.      Modernis
Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham dan intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernsme lebih mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis percaya bahwa, aspek kemunduran umat islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka. Artinya, umat islam terbelakang karena mereka melakukan sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.[5]
c.       Revivalisme
Dalam kamus ilmiyah populer arti dari revivalisme adalah gerakan untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang kukuh.[6] Kecendrungan kelompok ketiga ini mengenai kemunduran umat Islam dalam arus globalisasi adalah revivalis, baik faktor eksternal maupun internal. Artinya, umat islam menggunakan idiologi lain (yang masih kolot), bukan merujuk pada sumbernya langsung (Al-Qur’an), sebagai acuan dasar bertindak. Dan biasa disebut dengan istilah kaum fundamentalisme. Seperti yang dikatakan Syafiq Hasim, bahwa contoh kelompok ini adalah wahabisme dari tokoh Mohammad Abduh dan Muhammad Jamaluddin Al-afghani. Menurut kelompok ini, islam harus menjawab tantangan di era modern, untuk menjawab moderenitas ini, konsep teologi yang harus dipakai adalah teologi liberal.
d.      Transformatif
Gerakan Transformatif merupakan alternatif atau jalan keluar dari tiga golongan diatas. Mereka beranggapan bahwa, keterbelakangan umat islam akan era globalisasi disebabkan oleh ketidak seimbangan sistim dan setruktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu, agenda mereka melakukan trensformasi (menata ulang) terhadap struktur. Artinya, semua elemen harus disama ratakan dalam hal pemerolehan fasilitas teknologi, agar keterbelakangan tidak muncul.[7]
2.      Modernisme dan puritanisme islam
a.      Modernisme
Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata “modern” yang artinya “terbaru.[8] Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham dan intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernisme lebih mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis percaya bahwa, aspek kemunduran umat islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka. Artinya, umat islam terbelakang karena mereka melakukan sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.[9]
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Moderenisme dalam islam adalah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-demensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang maha Esa, dan bukan westernisasi (budaya barat). Sebab westernisme ialah suatu total kehidupan dimana faktor paling menonjol adalah sekularisme.[10]
b.      Puritanisme
Modernisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikan dengan aliran-aliran modern dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan.[11] Sedangkan puritanisme, berarti paham dan tingkah laku yang didasarkan atas ajaran kaum puritan. Puritan memiliki arti orang yang hidup saleh dan yang menganggap kemewahan dan kesenangansebagai dosa.[12]
3.      Gerakan fundamentalisme dan radikalisme islam
a.      Fundamentalisme
Fundamentalis adalah Faham keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang merasa terancam oleh ajaran agama yang modern dan liberal sehingga merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yg tersurat dalam kitab suci.[13]
Sedangkan Fundamentalisme dalam Islam adalah gerakan pemikiran yang menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi kontekstual, sebab bagi mereka, yang demikian itu tidak memberikan kepastian. Maka dari itu, memahami teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (murni apa yang tertulis) merupakan alternatif yang mereka tonjolkan.
Menurut Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam secara garis besar dapat di bagi menjadi dua kelompok besar, pertama Fundamentalisme Islam yang merujuk pada wahabisme. Kedua Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model Syi’ah, gerakan ini mengalami perkembangannya pada tahun 1979 menyusul kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, sebagai simbol fundamentalisme dunia Islam.[14]
1.      Wahhabisme
Berbagai kalangan banyak yang mengatakan bahwa munculnya fundamentalisme islam saat ini berakar dari stilah salafi. Kaum salafi adalah gerakan yang menyerukan dirinya kepada tradisi salaf atau dikenal dengan generasi 4 abad setelah nabi, dan setelah 4 abad itu disebut dengan istilah generasi kholaf. Kemudian slogan ini dipakai untuk pengikut Muhammad abduh yang juga santri seorang idiolog islam Muhammad Jamaluddin Al afgan. Dasar klaim gerakan ini adalah ingin mengembalikan ortodoksi syariat dengan memurnikan ajaran islam sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah. Namun, hal yang patut di garis bawahi, mereka tidak mau bila dikatakan sebagai kelompok yang mengikuti tokoh tertentu, termasuk Muhammad Abdul Wahab.
Menurut Abdul Hadi Abdurrohman, bahwa gerakan ini awal mulanya dipandegani oleh shohibul Madzhab Hambali, Ahmad Ibnu Hambal (164 -241 H) kemudian deteruskan oleh Ibnu Taymiyah abad ke VII H. kemudian dibakukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab pada abad XII H. di Jazirah Arab dan sampai sekarang menjadi gerakan mayoritas di Arab yang di kenal dengan istilah wahhabisme. Akidah menurut mereka tidak bisa dijadikan pegangan kecuali dari teks, sedangkan akal menyesatkan. Karena para sahabat tidak pernah memakai logika untuk memahami ajaran, tidak seperi filosop dan ahli kalam.
Menurut Abu Al-fadl, Cirri dari kelompok ini adalah cara penafsiran teologis mereka cenderung mengucilkan kelompok non islam, bahkan kelompok islam lain yang tidak sama dengan teologi yang mereka punya. Dalam konsep jihad, kelompok ini lebih ekstrim karena model penafsiran yang mereka pakai dan sering mengutip ayat-ayat yang memerintahkan peperangan.

2.      Syi’isme
Syi’isme adalah kelompok Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model syi’ah, yakni mengembalikan ajaran kepada sumbernya namun dengan idiologi yang dicetuskan oleh syiah. Gerakan ini mengalami perkembangannya pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, tahun 1979.[15]
b.      Radikalisme
Radikalisme adalah gerakan yang ditandai empat hal. Pertama, sikap tidak toleran atau tidak mau menghargai keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik atau menganggap dirinya yang paling benar. Ketiga, sikap eksklusif atau membedakan diri dari kebiasaan umat islam mayoritas. Keempat, sikap revolusioner, yaitu kecendrungan menggunakan kekerasan sebagai pencapaian tujuan. Umumnya, radikalisme muncul karena pemaham agama yang tertutup dan tekstual. Kelompok radikalisme selalu merasa kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan. Makanya mereka kerap sekali mengkafirkan atau menganggap sesat orang lain.
Menurut Rahimi Sabirin, radikalisme terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, radikalisme pemikiran (yang sering disebut dengan kelompok fundamentalis) dan radikalisme dalam tindakan (yang sering disebut dengan teroris).[16]
4.      Islam: Eksklusif dan Inklusif
Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan pengadopsian bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna “termasuk di dalamnya” dan “tidak termsuk didalamnya/terpisah”.
Masalah inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/gagasan modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi. Teologi Ekslusif tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpati; “bagaimana orang lain memandang agamanya sendiri”.[17]  Seperti sudah menemukan kesimpulan, kita sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang lain, dengan memakai standar teologi agama kita sendiri. Pun pula sebaliknya, orang lain menilai bahkan menghakimi kita, dengan memakai standar teologi agamanya sendiri. Jelas ini suatu mission imposible untuk bisa saling bertemu, apalagi sekedar toleran. Hasilnya justru perbandingan terbaliknya. Masing-masing agama malah menyodorkan proposal “klaim kebenaran” dan “klaim keselamatan” yang hanya ada pada agamanya sendiri-sendiri, sementara pada agama lain dituduh salah, menyimpang, bahkan menyesatkan.
Ide utama dari teologi inklusif adalah pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (injil, Zabur, Taurat dan Quran) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan Taqwa. Dalam Qur’an Surat An-nisa, ayat 131.
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZøŠ¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$­ƒÎ)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YŠÏHxq .  
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti sikap patuh kehadirat tuhan. Sebagaimana cak nur paparkan bahwa : “pesan tuhan itu bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi agama arab, yakni yahudi (nabi musa), kristen (nabi isa), dan islam (nabi muhammad). Lewat firman-nya tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada agama itu, karena hakikaat dasar agama-agama itu (sebagai pesan tuhan) adalah satu dan sama. Agama tuhan, pada esensinya sama, baik yang diberikan kepada nabi nuh, musa, isa atau kepada nabi Muhammad. Kesamaan yang dimaksud cak nur, terletak pada kesamaan dalam pesan besar, yakni paham ketuhanan yang maha esa atau monoteisme, istilah inti ajaran para nabi dan rasul tuhan. Hal tersebut sejalan pula dengan Ibn Taymiyah yang menyatakan bahwa meskipun syari’atnya bermacam-macam. Maka kata nabi muhammad saw, “bahwa kami golongan para nabi, agama kami adalah satu”. Yakni risalah tawhid yang berlandasan kepada kepasrahan kehadirat tuhan. Bahkan, “kesadaran ketuhanan” (taqwa) yang sifatnya monoteistik (tauhid) merupakan implikasi langsung dari al-islam itu sendiri. Al-islam adalah al-din (tunduk patuh). “sesungguhnya ikatan (al-din) disisi allah adalah sikap pasrah (al-islam) demikian firman tuhan”. Sikap pasrah tersebut merupakan inti dasar teologi inklusif dari pandangan: kesatuan kemanusiaan  yang berangkat dari konsep ke-maha esa tuhan. Dimana akhirnya sikap pasrah merupakan titik temu semua agama (ajaran) yang benar, sebagai upaya menuju tuhan yang maha esa. Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat ditarik kesepahaman sementara bahwa bangunan epistimologi inklusifisme dalam islam diawalai dengan tafsiran al-islam sebagai sikap pasrah kehadirat tuhan. Dimana kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar, yakni bersikap berserah diri kepada tuhan (world view al-quran). Dimana secara esensialnya wacana inklusif dan ekslusif dalam islam, terutama yang berkenaan dengan konsep taqwa, tawhid (monoteisme) dan al-islam (sikap pasrah).[18]
5.      Islamisasi Sains
Islam dan Sains adalah konteks yang mempunyai peranan besar dalam kehidupan. Agama menjadi bagian integral dari keseluruhan kehidupan manusia. Sementara sains capaian besar yang dibawa oleh peradaban modern.[19]
Agama dan Sains mempunyai cara kerja yang khas, ada beberapa hal yang mempertemukan keduanya, namun dari keduanya sering dipertentangkan. Tantangan terhadap kepercayaan beragama bukan berasal dari pertentangan isi ilmu pengetahuan dan agama. Karena keduanya saling melengkapi. Artinya, agama akan semakin meyakinkan bila di topang dengan sains, dan sains pun muncul karena adanya pengalaman, dan salah satu wahana pengalaman adalah agama. Kemudian jika ada pertentangan antara agama dengan sains, maka muara perbedaan itu justru pada pandangan bahwa metode ilmiyah adalah sebagai penyebab atas kebenaran. Karena, pembuktian sains akan agama belum tentu hal yang dimaksud oleh agama itu sendiri.[20]
6.      Pluralisme Agama-Agama
Pluralitas adalah sebagai "menerima perbedaan" atau menerima perbedaan yang banyak".
Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralism agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama. Lebih lebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, yang isinya :
a.       Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
b.      Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
c.       Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
d.      Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Dalam pandangan Islam, faham pluralime adalah sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain, adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah.[21]

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari makalah d atas dapat penulis simpulkan bahwa ada tiga pola pemikiran Islam tersebut di atas yaitu : Tradisionalisme, Modernisme, dan Fundamentalisme. masing-masing memiliki sisi kesamaan dan juga memeiliki kekurangan.
Tradisionalisme, karena terlalu jauh menyatu dengan budaya lokal dan cenderung bertahan dengan produk pemikiran lampau, sangat selektif terhadap gagasan-gagasan baru. Ia tidak mempunyai keberanian mendobrak gagasan-gagasan ulama salaf sehingga nyaris mandul.
Sedangkan modernisme, karena terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuannya mengakibatkan kehilangan kesegaran orientasi. Disamping itu, karena slogannya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga penentangannya pada tradisi, mempunyai penolakan atas warisan khazanah klasik Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme mengalami kekeringan intelaktual.
Sementara itu, fundamentalisme juga tidak cukup menyakinkan mengingat ia sebenarnya hanyalah bentuk keberagamaan yang reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang mengakibatkan sangat rapuh dalam rumusan konsepsi dan konstruksi pemikrannya.
Dan dari pembahasan di atas sangat sifatnya masih umum, artinya belum menggolongkan kelompok tertentu untuk dimasukkan pada Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme, Pluralisme dan Radikalisme. Dan alangkah lebih lengkap lagi jika dimasukkan juga kelompok kelompok tertentu yang ada di Indonesia. Untuk itu, harus ada kajian yang lebih spesifik dan kongkrit, biar kita bisa menghukumi mana golongan di sekitar kita yang masuk pada gerakan gerakan diatas.





DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2006
Al Barri, M. Dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya: Arkola, 2005
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2004
Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam, Yogyakarta: Teras, 2010
Madjid, Nurcholish, Islam Kemoderenan dan keindonesianan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Sabirin, Rahimi, Islam & Radikalisme. Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007
Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm: 942.
Hakim, Nurul, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari : www.badilag.net
www.voa-islam.com/read/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang -pluralisme-agama.













[1] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2006). Hlm.15.
[2] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media, 2003). Hlm. 200.
[3] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2004). Hlm. 194.
[4] Ibid.,hlm,194.
[5] Ibid.,hlm,195.
[6] M. Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya:Arkola, 2005 ), Hlm. 678.
[7] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, op.cit, 2004. Hlm. 195.
[8] Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008). Hlm: 942.
[9] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, op.cit, 2004. Hlm. 195.
[10] Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan keindonesianan, (Bandung:PT. Mizan Pustaka, 2008), Hlm. 24.
[11] Kamus Bahasa Indonesia. Op.cit. Hlm. 662.
[12] Ibid, Hlm. 800.
[13] Ibid, Hlm. 438.
[14] Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Afkar, 2002), Hlm: 13
[15] Ibid. hlm.13
[16] Rahimi Sabirin, Islam & Radikalisme. (Jakarta:Center For Moderate Muslim, 2007). Hlm, 9.
[17] Loc.cit
[18] Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari : www.badilag.net
[19] Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam, (Yogyakarta:Teras, 2010). Hlm: 173.
[20] Ibid. Hlm. 137.
[21] www.voa-islam.com/read/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama.
Add to Cart

0 komentar:

Post a Comment