Dosen Pengampu :
Drs. Musnad rozin, MH
Disusun Oleh :
KHOIRUL AMRI
Semester II
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2015
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh.
Dalam penyusunan tugas ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang nasakh dalam konsep ushul fiqh, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca, khususnya para mahasiswa Stain Jurai Siwo.
Metro, 19 Mei 2015
Penulis
|
DAFTAR ISI
HALAMA JUDUL.................................................................................... I
KATA PENGANTAR.............................................................................. II
DAFTAR ISI.............................................................................................. III
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian nasakh............................................................................ 7
2. Rukun nasakh................................................................................... 10
3. Syarat-syarat nasakh........................................................................ 11
4. Macam-macam nasakh..................................................................... 12
5. Pembagian nasakh............................................................................ 15
6. Tata cara terjadinya nasakh.............................................................. 16
7. Hikmah nasakh................................................................................. 20
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Secara umum maqashid al-tasyiri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakan adanya nasakh mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini disebut dengan nasakh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasakh mansukh terjadi karna al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karna itu, untuk mengetahui al-qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasakh mansukh dalam al-qur’an. Sangat tepat yang dikemukakan oleh imam jalaludin as-syuthi dalam kitab Al-Itqan Fi Ulumul Qur’an “seorang tidak akan dapat menafsirkan al-qur’an dengan baik tanpa mengetahui nasakh mansukh”.
Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh, dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”. Dari riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini makalah mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Nasakh dalam konsep ushul fiqh..
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah seebagai berikut:
1. Apa pengertian nasakh?
2. Bagaimana syarat dan rukun nasakh?
3. Bagaimana pembagian nasakh?
4. Seperti apa pembagian nasakh dan tata cara nasakh?
5. Apa hukmah dari nasakh itu?
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian nasakh
2. Untuk mengetahui kenapa hukum itu dinasakh
3. Untuk mengetahui sebab hukum di nasakh
BAB II
PEMBAHASAN
Ulama’ berbeda pendapat tentang bagaimana cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas menunjukan adanya gejala kontradiksi. Dari situlah munculnya pembahasan tentang nasakh mansukh dalam al-qur’an.
Nasakh mansukh dalam al-qur’an di ungkap sebanyak empat kali:
1. Al Baqarah ayat 106
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
2. Al A’raf ayat 154
$£Js9ur |Ms3y `tã ÓyqB Ü=Òtóø9$# xs{r& yy#uqø9F{$# ( Îûur $pkÉJyó¡èS Wèd ×puH÷quur tûïÏ%©#Ïj9 öNèd öNÍkÍh5tÏ9 tbqç7ydöt ÇÊÎÍÈ
sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
3. Al Hajj ayat 52
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqߧ wur @cÓÉ<tR HwÎ) #sÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÎËÈ
dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
4. Al Jatsiah ayat 29
#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZt Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ
(Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".
Untuk mengetahui ada tidaknya nasakh dalam al-qur’an terlebih dahulu kita ketahui apa hakikat nasakh tersebut.
A. Pengertian nasakh
Secara etimologi Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai makna nasakh. Karna memang kata tersebut memiliki makna yang lebih dari satu. Nasakh dapat berarti الإزالة artinya menghilangkan atau meniadakan. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqߧ wur @cÓÉ<tR HwÎ) #sÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÎËÈ
dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(qs al hajj:52)
Dalam ungkapan orang arab juga dikatakan: نسـخت الشـمس الظـل “matahari menghilangkan bayangan itu”.
Kata nasakh juga berarti التحـويـل, artinya pengalihan, seperti pengalihan bagian harta warisan.
(تنـا سـخ المـوار). Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.
Kara nasakh juga berarti “الـتـبــــد يـــل”, artinya mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain. Ini dapat kita lihat pada ayat :
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ÇÊÉÊÈ
Dan Apabila Kami Letakkan Suatu Ayat Di Tempat Ayat Yang Lain (qs an nahl:101)
Kata nasakh juga berarti “النــقـل”, artinya menyalin, memindahkan atau mengutip apa yang ada dalam buku, sebagai contoh:
نسـخت الكـتاب
Aku memindahkan atau mengutip isi buku persis menurut kata dan penulisnya.[1]
Sedangkan secara terminologi (istilah) nasakh berarti seruan (khithab) syar’i (allah) yang melarang berlangsungnya suatu hukum dari seruan (khitab) syar’i yang sebelumnya.[2]
Secara istilah nasakh dapat di katagorikan pada dua katagori, yaitu menurut ulama’ mutaqaddimin dan mutaakhirin.
a. Mutaqoddimin
Nasakh adalah
رفـع الحكـم الشـر عي بخـطا ب شـر عي
Mengangkat hukum syar’i (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang lain.
Misalnya di keluarkan hukum syar’i dengan berdasarkan kitab syara’ dari seseorang karna dia mati atau gila. Contoh tentang waris, dimana hukum waris dinasakh-kan oleh hukum wasiat ibu bapak dan karib kerabat.
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ÇÊÊÈ
Ayat tersebut dinasabakh-kan oleh surat Al-baqarah ayat 180 yang berbunyi:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Ayat-ayat seperti tersebut di atas kadang-kadang oleh ulama mutaqadimin disebut juga dengan takhsis.
Dengan demikian tampak dengan gamblang bahwa ulama mutaqaddimin memberikan batasan pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian. Jadi tidak hanya bagi ketentuan hukum yang mencabut dan membatalkan ketentuan (hukum) yang sudah berlaku sebelumnya atau merubah ketentuan hukum yang sudah dinyatakan pertama berahir pada masa berlakunya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus-menerus. Pengertian nasakh menurut kelompok ini mencakup pengertian pembatasan (qayyad) terhadap pengertian bebas (muta’alaq), pengkhususan terhadap yang umum, pengecualian, syarat, dan sifat. Ini mulai berlaku mulai abad satu sampai abad ketiga hijriah.
b. Mutaakhirin
Pengertian nasakh yang begitu luas kemudian dipersempit oleh ulama yang datang kemudian. Pengertian nasakh menurut ulama mutaakhirin di antaranya adalah sebagaimana diungkapkan Quraish shihab:”nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berahirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada ditetapkan terakhir.
Dalam pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam nasakh diperlukan syarat sebagai berikut.
o Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
o Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
o Kitab yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adapun manfaat nasakh adalah agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur, sebagaimana perkataan Ali ra. Kepada seorang hakim”
أترف الـناسـخ والمنسـوخ قـال:لا,قـال:هلـكت وأهلـكت
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya:apakah kamu mengetahui nasakh dan mansukh?,”tidak” jawab hakim itu, maka kata ali “celakalah kamu, dan kamu celakakan orang lain.[3]
B. Rukun nasakh
Rukun nasakh itu ada empat, yaitu:
a. Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b. Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah Ta’ala, karena dialah yang membuat hukum dan dia pula-lah yang menghapusnya.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
C. Syarat-Syarat Nasakh
Sebagaiman telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.
Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
a. Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d. Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
a. Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu baik.
b. Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
c. Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah ayat 2.
d. Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadits yang mutawatir, maka nasikh itu harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadits mutawatir dengan hadits ahad.[5]
D. Macam-macam nasakh
Pada dasarnya yang membatalkan harus lebih kuat dari yang dibatalkan. Atas dasar ini, para ulama sepakat boleh naskh al-quran dengan al-quran, sunnah mutawattir dengan sunnah mutawattir, khabar ahad dengan khabar ahad dan khabar mutawattir. Sebagian ulama membolehkan naskh mutawattir dengan ahad, namun Imam Syafi’i tidak setuju dengan pendapat tersebut. Untuk itu, ia tidak mengakui adanya naskh al-Quran dengan sunnah atau sunnah dengan al-Quran. Begitu pula ulama tidak mengakui adanya naskh ijma’ dengan ijma’, al-Quran dan Sunnah dengan Qiyas.
1. Menasakh hukum dari seruan allah tetapi tidak diganti dengan hukum yang lainnya, seperti firman allah:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãLäêøyf»tR tAqߧ9$# (#qãBÏds)sù tû÷üt/ ôyt óOä31uqøgwU Zps%y|¹ 4 y7Ï9ºs ×öyz ö/ä3©9 ãygôÛr&ur 4 bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊËÈ ÷Läêø)xÿô©r&uä br& (#qãBÏds)è? tû÷üt/ ôyt óOä31uqøgwU ;M»s%y|¹ 4 øÎ*sù óOs9 (#qè=yèøÿs? z>$s?ur ª!$# öNä3øn=tæ (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 ª!$#ur 7Î7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÌÈ
Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Qs al mujadilah:12-13)
Yakni menasakh keharusan emberikan sedekah ketika ermunajat kepada rasulullah.
2. Nasakh dengan mengganti hukum yang lebih ringan. Seperti ketetapan satu orang berhadapan dengan sepuluh musuh (diganti) menjadi seorang melawan dua musuh. Allah berfirman:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym úüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4ÇÏÎÈ
Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.(Qs al anfal:65)
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur cr& öNä3Ïù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4ÇÏÏÈ
sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, (Qs al anfal:66)
3. Nasakh, mengganti hukum dengan hukum yang lain yang sebanding. Seperti manasakh hukum wajibnya (shalat) menghadap ke baitul maqdis dengan kewajiban menghadap ke ka’bah.
ôs% 3ttR |==s)s? y7Îgô_ur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© ÇÊÍÍÈ
sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. (Qs al Baqarah:144)
4. Nasakh, mengganti hukum dengan (hukum) yang lebih berat. Pada pemulaan islam hukuman bagi pezina adalah mengurungnya di rumah dan memberikan kekerasan (hukuman) kemudian dinasakh dengan hukuman yang diketahui.
ÓÉL»©9$#ur úüÏ?ù't spt±Ås»xÿø9$# `ÏB öNà6ͬ!$|¡ÎpS (#rßÎhô±tFó$$sù £`Îgøn=tã Zpyèt/ör& öNà6ZÏiB ( bÎ*sù (#rßÍky Æèdqä3Å¡øBr'sù Îû ÏNqãç6ø9$# 4Ó®Lym £`ßg8©ùuqtFt ßNöqyJø9$# ÷rr& @yèøgs ª!$# £`çlm; WxÎ6y ÇÊÎÈ Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uÏ?ù't öNà6ZÏB $yJèdrè$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊÌôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs an-nisa:15-16)
hukuman bagi pezina dalam ayat ini di nasakh dengan ayat:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# ÇËÈ
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.(Qs an nurr:2)
Penting untuk diketahui bahwa nasakh berlaku bagi hukum, tidak bagi ancaman. Ini sudah menjadi ketetapan. Sebagai contoh, hukum pada ayat tentang ‘iddah dengan haul dan hukum tentang wasiat kepada kedua orang tua telah dinasakh, akan tetapi kedua ayat tersebut tetap senantiasa dibaca. Begitu juga hukum-hukum lainya yang dinasakh. Adapun nasakh terhadap bacaan maka tidak ada dalilnya sedikitpun. Tidak adanya merupakan dalil atas ketidak bolehannya. Hadits-hadits yang membicarakan tentang topic ini adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan dalam masalah aqidah (ushul).[6]
E. Pembagian Nasakh
Nasakh dapat dibagi menjadi:
a. Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur.
Dalam undang-undang modern banyak juga terjadi, misalnya suatu undang-undang ditegaskan berlakunya untuk mengakhiri berlakunya undang-undang terdahulu yang sama materinya.
b. Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing, misalnya suatu nash positif dan yang lain negatif, sedang sejarah turunnya diketahui, seperti ayat wasiat pada ahli waris dinasakh oleh ayat mewaris.
Nasakh zimmi ini terbagi 2 macam:
1) Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh nash terdahulu.
2) Nasakh juz’i, yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang dicakup oleh nash kedua. Contohnya ayat had qadzab dengan ayat li’an karena dalam ayat qadzab dijelaskan hukum qadzab suami terhadap istrinya sendiri yang termasuk dalam umum ayat qadzab.
Memberikan nama nasakh terhadap bagian nasakh juz’i adalah melihat nashnya. Karena sebenarnya pada fuqaha mengakui khas yang bersamaan dengan ’am sebagai takhsis bukan sebagai nasakh, tanpa memperhatikan mana diantaranya terdahulu dan terkemudian. Golongan Hanafiyah mengakui khas yang turun kemudian sebagaimana yang menasakhkan terhadap ‘am yang turun terdahulu. Dalam kasus ini, ayat qadzab dan ayat li’an turun serentak, sehingga menunjukkan takhsis sebagai gantinya nasakh.[7]
F. Tata cara terjadinya nasakh
1. Nasakh al-qur’an dengan al-qur’an
Contohnya adalah dinasakhnya hukuman memberikan sedekah kepada rasul ketika bermunajat. Juga hukum tentang ‘iddah dengan haul menjadi empat bulan sepuluh hari.
﴿tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) ÇËÍÉÈ ﴾
dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).(Qs al baqarah:240)
Hukum pada ayat ini dinasakh dengan ayat:
﴿ tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ÇËÌÍÈ ﴾
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.(Qs al baqarah:234)
begitu juga hukum-hukum yang lainya sebagaimana yang sudah diceritakan.
2. Nasakh as-sunnah dengan as-sunnah
Yaitu hadis mutawatir dan ahad dinasakholeh hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadits ahad. Contohnya adalah sabda rasulullah:
﴿ كـٌنْتٌ نَهَيْتٌـكُمْ عَنْ زٍيـارَةِالْـقُـبُوْرِأَلاَفـَزُوْرُوْهَـا ﴾
Dahulu aku melarang kalian melakuan ziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah.
Sabda rasulullah saw.
﴿ فـَإنَّ شُـرْبَ الـرَّابِـعَةِ فـَاقتـلوْهُ ﴾
Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah. Dinasakh oleh hadits:
﴿ أَنَّـهُ حُـمِلَ اِلـَيْهِ مَنْ شـَرِبـَهَاالـرَّابِـعَةَ فَـلَمْ يَـقـتُـلهُ ﴾
Sesungguhnya dibawa kepada rasulullah orang yang minum khamar keempat kalinya, tetapi rasulullah tidak membunuhnya.
Sabda rasulullah saw:
﴿ كُـنْتُ نَهَيْتُـكُمْ عَـنِ ادَّخَـارلُـحُـوْمِ الأَضَـاحِـيِ لأَخْـلِ الـدَّافَةِ فَادَّخِـرُوْهـا ﴾
Dahulu aku melarang kamu menyimpan daging kurban karna ada golongan yang membutuhkan, maka (sekarang) simpanlah.
3. Nasakh as-sunnah oleh al-qur’an
Contohnya adalah menghadap ke baitul maqdis telah dinasakh oleh al-qur’an:
﴿ ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ÇÊÍÍÈ ﴾
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Qs al baqarah:144)
4. Tidak boleh menahan hukum yang telah ditetapkan dengan ijma’ sahabat.
Hukum yang telah ditetapkan dengan ijma’ berarti tidak ada hadits yang diriwayatkan dalam masalah tersebut, hanya saja para sahabat mengetahui hadits yang tidak mereka riwayatkan. Kemudian mereka menceritakan hukum tanpa meriwayatkan haditsnya. Lagi pula tidak ada nash al-qur’an dan as-sunnah setelah berhentinya wahyu. Selanjutnya, tidak ada qiyas dan ijma’ kedua. Oleh karna itu, tidak ada tempat bagi datangnya nash baru yang menasakh hukum yang telah ditetapkan dengan ijma’.
5. Menasakh hukum qiyas
Tidak terjadi nasakh dalam hukum yang telah ditetapkan secara mutlak. Ini terjadi karna qiyas yang mu’tabar (bisa dijadikan pegangan) adalah qiyas yang ‘illatnya syar’iyyah. Dengan kata lain yang mendorong adanya hukum, baik secara sharihah dilalah, mustanbathah dan qiyasiyyah telah di ambil dari dalil, yakni al-qur’an, as-sunnah dan ijma’. Qiyas akan tetap berlangsung selama dalilnya tetap ada.oleh karna itu, tidak bisa terjadi nasakh pada hukum yang digali dengan qiyas selama hukum asalnya tetap ada.
Adapun jka terjadi penasakhan hukum asal maka pada saat itu tidak aka nada qiyas, karna ‘illatnya telah hilang. Tetapi dalam keadaan seprti ini nasakh tidak berarti telah terjadi pada hukum qiyas, melainkan menasakh hukum yang telah ditetapkan dengan al-qur’an, as-sunnah dan ijma’.
Terhadap hal ini bisa diterapkan perkara yang telah terangkan tentang nasakh dari al-qur’an, as-sunnah dan ijma’.
6. Tidak boleh menasakh al-qur’an dengan hadits mutawatir
Hadis mutawatir meskipun qath’I tida bisa menasakh al-qur’an, karna beberapa hal berikut ini:
a. Allah berfirman:
﴿#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ÇÊÉÊÈ ﴾
dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya.(Qs an-nahl:101)
Maksudnya, ayat hanya bisa diganti dengan ayat. Artinya, hukum yang telah ditetapkan dengn ayat hanya bisa dinasakh dengan hukum yang telah ditetapkan oleh ayat yang lain.
b. Allah berfirman:
﴿ $tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB ÇÊÉÏÈ ﴾
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.(Qs al-baqarah:106)
Dlamir pada kata na’ti (maka kami akan mendatangkan) dikembalikan kepada allah. Maksudnya, bahwa yang mendatangkan nasakh suatu ayat adalah allah swt. Sedangkan as-sunnah datang dari rasul. Lafadz sunnah adalah dari rasul, seangkan lafdz al-qur’an adalah dari allah.meskipun makna al-qur’an dan as-sunnah semuanya merupakan wahyu dari allah, hanya saja as-sunnah dihubungkan kepada rasul dari sisi redaksional (kalam)nya, sedangkan al-qur’an adalah kalam allah. Oleh karna itu, hukum suatu ayat hanya bisa dinasakh dengan ayat yang lain.
c. Allah berfirman:
﴿Ï!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) ÇÍÍÈ﴾
dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.(Qs an-nahl:44)
jadi, rasulullah adalah penjelas ayat-ayat yang diturunkan, tetapi tidak menaskhnya. Karna nasakh berti menghilangkan hukum, bukan menjelaskan hukum.
Terlebih lagi tidak boleh menasakh al-qur’an dengan hadits ahad. Sebab, hadis ahad selain dihubungkan pada tiga perkara yang telah diceritakan tentang hadits mutawatir, juga merupakan dalil yang bersifat dzanni, sedangkan yang qath’I tidak bisa dinasakh dengan yang dzanni.
Begitu juga hadits mutawatir tida bisa dinasakh dengan hadits ahad, karna yang mutawatir lebih kuat dari yang ahad. Hadits yang qath’I tidak bisa dihilangkan degan hadits yang bersifat dzanni.[8]
G. Hikmah Nasakh
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disayariatkannya berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
Berkaitan dengan itu, Syar’i (Allah SWT) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada dimasyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin. Akan tetapi, tidak berarti bahwa Syar’i tidak mengetahui kejadian yang akan terjadi, justru disinilah kelebihan Islam, yakni menetapkan hukum secara berangsur-angsung. Oleh karena itu, persoalan nasakh itu hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup, makna setelah Rasulullah itu wafat, tidak ada lagi nasakh.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibelitas hukum Islam dan adannya tahapan dalam penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.[9]
BAB II
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari segi bahasa (lugah) naskh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.
Nasakh dapat dibagi menjadi:
a. Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur
b. Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing.
Berkaitan dengan itu, hukum Syar’i senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada dimasyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin. Diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibelitas hukum Islam dan adannya tahapan dalam penetapan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu anwar, ulumul qur’an, bandung:Amazah, 2005
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1990
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Qurais shihab, membumikan alquran, bandung: mizan, 2002
‘Atha bin khalil, ushul fiqih, Bogor: pustaka thariqul izzah, 2008
[1] Abu anwar, ulumul qur’an, (bandung:Amazah, 2005) hlm 47-50
[2] ‘Atha bin khalil, ushul fiqih, (bogor: pustaka thariqul izzah, 2008) hlm342
[3] Qurais shihab, membumikan alquran,(bandung: mizan,2002) hlm 114
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), hal. 21
[5] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 231
[6] ‘Atha bin khalil, op.cit. hlm 344-346
[7] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1990)
[8] ‘atha bin khalil. Op.cit , hlm 347-350
[9] Rahmat Syafi’i, Op. Cit, hal. 232
0 komentar:
Post a Comment