Tuesday, January 5, 2016

PENGAMBILAN DASAR HUKM USHUL FIQIH




Dosen Pengampu :
Drs. H. Musnad Rozin, MH



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH 2014/2015







KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang ”PENGAMBILAN SUMBER HUKUM USHUL FIQIH” ini. Makalah  ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat  bagi kita semua, khususnya  bagi penulis sendiri.


Hormat kami


penulis







Daftar isi

HALAMAN JUDUL..............................................................................         I
KATA PENGANTAR............................................................................       II
DAFTAR ISI..........................................................................................      III
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................        2
A.    PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL..................................        2
B.     SUMBER DAN DALIL HUKUM USHUL FIQIH.................        4
1.      Pengertian Al-Qur’an............................................................        4
2.      Sunnah Rasulullah.................................................................        7
3.      Ijma’......................................................................................      13
4.      Qiyas.....................................................................................      16
BAB III PENUTUP...............................................................................      20
Daftar Pustaka.........................................................................................      22
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang ”PENGAMBILAN SUMBER HUKUM USHUL FIQIH” ini. Makalah  ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat  bagi kita semua, khususnya  bagi penulis sendiri.

Hormat kami

penulis







PENDAHULUA
Sumber hukum islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut di sebut juga dengan dalil-dalil pokok hukum islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur’an dan Assunnah seperti Qiyas, Istihsan, dan Ishtislah, tetapi tiga dalil yang di sebut ini hanya sebagai dalil pendukung   yang hanya alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an dan sunnah Rasulallah. Kerena hanya sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur’an Dan Sunnah, sebagian Ulama menyebut sebagai metode isthimbat. Imam Al-Gozali misalnya  menyebut qiyas sebagai metode istinbat. Dalam tulisan ini istilah sumber sekaligus dalil kita gunakan untuk Al-Qur’an dan sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur’an dan sunnah seperti ijma’, qiyas, istishan, masalah mursalah, istishab, ‘urf, dan saad az-zari’ah tidak digunakan istilah dalil. Oleh karena yang di sebut “dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga sebagai metode Istinbat, maka ketika menjelaskan pembahasan mengenai metode istimbat memlalui maqasid syari’ah, akan di jelaskan sepintas dalil-dalil tersebut dengan metode istinbat. Dalam ushul fiqih terdapat dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati seperti dalam pembahasan yang akan kita bahas.








BAB II
A.    PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL
Sumber secara etimologi berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti petunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat material, maupun non material. Adapu secara terminologi dalam ushul fiqih, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama, dalam menetapkan hukum islam, yaitu berupa Al-qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yan bersifat praktis, baik yang di dukungnya Qath’i (pasti) atau Zhanni ( relatif).[1]
Abdul Wahhab Khalaf mengatakan bahwa pengertian dalil Al-Hukum
دَلِيْلُ الْحُكْمِ ) Atau Adillah Al-ahkam (أَدِلّةُ اْلأَحْكَامِ) ini identik dengan Ushul al-ahkam (أُصُوْلُ اْلأَحْكَامِ ) (sumber-Sumber  Hukum). Karenanya para ulama’ ushul fikih menggunakan istilah adillah Al-Ahkam untuk menunjuk mashadir Al-Ahkam dan sebaliknya. Oleh sebab itu para ulama ushul fiqih kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum islam mashaadir ahkam al-ayar’iyah)tersebut adalah al-Qur’an dan Assunah. Karena Al-qur’an dan Sunnah disepakati oleh ulama ushul fikih,klasik dan kontemporer, sebagai sumber primer hukum Islam.[2]
Sedangkan sumber atau dalil fikih yang di sepakati seperti di kemukakan ‘Abd. Al-Majid Muhammad Al-Khafawi, Ahli hukum islam berkebangsaan mesir, ada 4 (empat) yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’ dan Qiyas. Mengenai keharusan berpegang kepada keempat sumber tersebut dapat di pahami dari ayat 59 surat An-Nisa:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasull (Nya), dan ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasull (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 4:59)[3].
Perintah menaati Allah dan Rasullnya artinya perintah untuk mengikuti AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sedangkan untuk menaati ulil-amri menurut Abdul-Wahhab Khallaf, ialah perintah untuk mengikuti ijma’ yaitu hukum-hukum yang telah di sepakati oleh para mujtahidin, kerena mereka itulah ulil-Amri (pemimpin) kaum musli dalam hal pembentukan hukum-hukum islam. Dan perintah untuk  mengembalikan kejadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat-umat islam kepada Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk melakukan Qiyas, karena dengan perintah Qiyas itulah terlaksana perintah mengmbalikan maslah kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Dalam kaitanya dengan pengertian dalil yang di kemukakan atas Al-Qur’an dan Sunnah juga di sebut dengan dalil hukum. Aritnya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW disamping sebagai sumber hukum islam sekaligus sebagi dalil (alasan sebagai Penetapan Hukum Islam) karena itu dari sisi ini apa yang di kemuakakan oleh abdul wahab Khalaf di atas adalah adillah al-ahkam identik dengan mashaadir al-ahkam adalah benar. Namjun dalil lain seperti ijma’, qiyas, isthisna, maslahah al-mursalah, dan sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum islam karena dalil-dalil ini hanya bersifat al-kasyf wal-izhar li al-kukm (menyingkap dan menyimpulkan hukum)yang ada dalm Al-Qur’an dan Sunnah. Disamping itu keberadaan suatu dalil, seperti ijma’, qiyas, isthisna, dan sebagainya tidak boleh bertentangan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu para Ulama’ ushul fiqih juga sering menyebut adillah al-ahkam, seperti ijma’, qiyas, istishan, isthishab, dan sebagainya sebagai turuq isthinbhat al-Ahkam (metode dalam menetapkan Hukum).
B.     AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM.
1.      Pengertian Al-Qur’an.
Semua ulama sepakat bahw Al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam sekaligus hukum Islam yang pertama dan paling utama.
Kata Al-Qur’an dalam bahas Arab merupakan masdar dari kata Qara’a (قَرَأَ )yang secara etimologi berarti bacaan dan atau pada tertulis padanya. Subjek dari kata Qara’a ((قَرَأَ )berupa isim fa’il yaitu maqru’ (مَقْرُوْءٌ ) seperti terdapat dalam firman Allah SWT.
a.        Surat Al-Qiyamah ayat 17-18 :
artinya :
Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) bacaannya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya. (QS. Al-Qiyamah: 17-18).
b.       Surat Al-Isra’ ayat 9:
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.

Ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Menurut ulama Ushul Fiqih ayat itu dapat dapat memaknai bahwa Al-qur’an menjadi patokan atau kaidah dan tatanan hukum manusia agar menjalankan kehidupan dengan baik dan benar menurut paraturan atau hukum-hukum Allah SWT.[4]
c.       Surat Al-Baqarah ayat 1-2:

1. Alif laam miin.
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Modal dasar keyakinan atas Al-Qur’an adalh kimanan, sebagai fondasiketakwaan, sedangkan ketakwaan yang sempurna harus didasarkan apada keyakinan bahwa Al-Qur’an sebagai petunjuknya.
Al-Qur’an adalah petunjuk dan sumber hukum bagi kehidupan manusia. Menurut Moenawar Chalil, Al-Qur’an adalah landasan amaliah manusia yang paling sempurna dengan penjelasan yang sempurna dari Rasulallah SAW. Yang tidak pernah menjelaskannya dengan hawa nafsu, kecuali atas dasar wahyu dari Allah SWT.[5]
Al-Quran merupakan nama kitab suci Allah SWT. Yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-qur’an juga disebutkan dengan beberapa nama sepereti:
a.       Al-Kitab , artinya tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita kaum muslimin agar Al-Qur’an dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku.
Kata tersebut antara lain dapat dijemput dalam surat Al-baqarah ayat 2:
Artinya:
“kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS.Al-Baqarah: 2)
Juga firman Allah AWT. Dalam surat Al-An’am ayat 114 :

Artinya:
“Maka patutkan lah aku mencari hakim selain Allah, padahal dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci.  Orang-orang yang telah kita datangkan kepada mereka mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-sekali termasuk orang-orang yang ragu-ragu”.
b.      Al-Furqan,  artinya pembeda. Dalam mencari garis pembeda antara yang hak dan yang batil, yang baik dan yang buruk, haruslah merujuk padanya. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an membedakan sesuatu antara yang hak dan yang batil. Ini dapat kita jumpai antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Furqan ayat 1:
Artinya:
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (QS. Al-Furqan : 1)
c.       Al-Zikr, artinya Ingat.arti ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an berisi peringatan agar tuntutannya selalu di ingat dalam melakukan setiap tindakan. Hal ini dapat kita temukan dalam surat al-Hijr  ayat 9:
Artinya:
Sesungguhnya kami lahyang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya kami bener-benar memeliharanya. (QS. Al-Hujr: 9)[6]
d.      Al-Huda, Artinya adalah petunjuk arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tenang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikanya, atau yang memepunyai rujukan kepad Al-Qur’an.

2.      Sunnah Rasulullah.
a.       Pengertian Sunnah Rasulullah.
Kata sunnah secara bahasa adalah “perlaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau perilaku yang buruk”.[7]
Disini juga di sebutkan bahwa Sunnah (Arab, Al-Sunnah, bentuk plularnya adalah al-sunah). Cecara etimologi mengandung makna ”cara dan jalan hidup” baik yang berkualitas baik maupun yang buruk.[8]Dalam pengertian ini dapat dipahami kata sunnah dalam sebuah hadis Rasulullah:
عَنْ الْمُنْذِ بْنِ جَرِيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَنَّ فِيْ الْاِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ اَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ اُجوُرِهِمْ شَيْ ءٌ وَمَنْ سَنَّ فِيْ الْاِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهِا وَالَا يَنْقُصُ شَيْ ءٌمِنْ أَوْزَا رِهِمْ
Dari Al-Munziri bin jarir, dari bapaknya, dari nabi SAW bersabda :”Barang siapa yang melakukan perilaku (Sunnah) yang baik dalam islam ini, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang menirunya melakukan perilaku (sunnah) yang buruk dalam islam maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang y ng menirunya dan sedikit pun tidak dikurangi. (HR. Muslim).[9]
Menurut istilh usul fikih, Sunnah Rasull seperti di kemukakaan oleh muhammad ‘ajjaj al-khatib (guru besar Hadis Universitas Damaskus), berarti “ segala perilaku, ucapan, (Sunnah Qaulyyiah), Perbuatan (Sunnah Fi’liyyah), atau pengakuan (Sunnah Taqririyah).
Contoh unnah Qauliyah (ucapan ) Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عُبَادَةَبْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صّلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَوَلاَ ضِرَارَ {رواه ابن ماجه }
Dari Ubadah bin Samit, sesungguhnya Rasulullah SAW. Menetapkan bahwa tidakboleh melakukan kemadharatan dengan kemudaratan.” (HR. Ibnu Majah).
b.      Kategori Sunnah
Dari segi materinya Sunnah dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam,[10] yaitu
1.      Sunnah Fi’liyyah ialah segala perbuatan yang dipraktikkan oleh nabi seperti tentang rincian tata cara shalat sebagai berikut:
عَبْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلِّي كَمَا رَاَيْتُ اَصْحَابِيْ يُصَّلُّوْنَ لاَ اَنْهَى اَحَدًايُصَلِّي بِلَيْلٍ وَلاَنَهَارٍمَاشَاءَ غَيْرَأَنْ لاَتَحَرَّوْاطُلُوعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوْبَهَا { رواه البخارى}
Dari ibnu umar berkata: sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda : saya shalat seperti sahabat-sahabat ku kerjakan shalat aku tidak melarang mereka shalat baik siang maupun malam sesuai yang di kehendakinya, kecuali mereka sengaja shalat pada terbit dan tenggelamnya matahari. (HR. Bukhari).
2.      Sunnah Taqririyah (pengakuan) ialah pengakuan Rasulullah atas perilaku para sahabat. Contoh nya di masa Rasulullah  ada dua orang sahabat dalam suatu perjalanan, ketika akan shalat tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka menemukan air sedangkan waktu shalat masih berlanjut.lalu salah seorang diantaranya keduanya mengulangi shalat, dan lain tidak. Ketika mereka melaporkan ini pada Rasulullah,beliau memberikan kedua praktik tersebut. Kepada yang tidak mengulangi cukup bagimu shalatmu itu.
3.      Sunnah Qauliyah
Sunnah Qauliyyah  adalah merupakan perkataan atau sabda Rasulullah SAWyang di dalamnya mengandung hukum-hukum agama dan magsud Al-Qur’an yang berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan Akhlak. sunnah qauliyyah ini juga dinamakan Khabar, hadis atau Sunnah.
Sebagai contoh:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah maka akan diampuni dosanya (HR. Muslim).[11]
c.       Dalil keabsahan Sunnah sebagai sumber Hukum
Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Rasulullah seperti dalam ayat :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladananyang baik seperti firman Allah :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai orang yang agung akhlaknya:
dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Disamping itu Allah bahwa orang yang mentaati Rasul adalah sama dengan mentaati Allah dan Allah menganggap tidak ideal iman sesorang yang tidak menyerahkan kepada keputusan Rasulallah[12]
d.      Pembagian Sunnah atau Hadis.
Sunnah atau hadis dari segi sanadnyaatau periwayatannya dalam kajian Ushul Fikih dibagi kepada dua macam yaitu: hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
1)      Hadis Mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah aloeh Sekelompok Perawi yang wat kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong.
Hadis mutawatir dibagi menjadi dua macam: hadis Mutawatir Lafdzy dan Hadis Mutawatirma’nawy. Hadis muatwatir Lafdzy ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang bersamaan arti dan lafadznya.
Contoh:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَتَكْتُبُوْاعَنِّيْ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْانِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدَّثُوْاعَنِّيْ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأمَقْع!دَهُ مِنْ النَّارِ {رواه مسلم}

Artinya :
Dari Abu SA’id Al-Kudriy, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda janganlah anda tulis apa yang kamu ucapkan, barang siapa yang menulis dariku selain dari Al-Qur’an maka hapuslah maka ceritakan hadis dari ku serta jangan berbuat dosa. Barang siapa yang berbuat dusta atas dari ku dengan sengaja maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka. (HR. Muslim)
2)      hadis mutawatir ma’nawiy ialah beberapa hadis yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama. Misalnya hadis yang menjelaskan Rasulullah mengangkay tangannya dalam setiap berdoa. Hadis itu diriwayatkan dalam beberapa peristiwa, dan dalam berbagai redaksi antara lain diriwayatkan diriwayatkan oleh Tirmizi.
3)      Hadis Ahad ialah hadis yang diriwayatkan oleh seseorangatau lebih tetapi tidak sampai kebatas mutawatir. Hadis Ahad dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a)      Hadis Masyhuri, yaitu hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga orang perawi.tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi hadis mutawatir dilihat dari jumlah perawinya:
b)      Hadis ’Aziz yaitu hadis yang ada pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang meskipun pada peride-periode  Yng diriwayatkan oleh banyak orang.
c)      Hadis Ghorib, yaitu hadis yang diriwayatkan Oleh orang perorang pada setiap periode sampai hadis itu dibukukan.

Dari kedua pembagian hadis di atas, para ulama ushul fikih sepakat bahwa hadis mutawtir adalah sah di jadikan sumber hukum tetapi mereka berbeda pendapat tentang keabsahan hadis ahad  sebagai sumber hukum.[13]
e.       Fungsi Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Secara Umum fungsi Sunnah adalah sebagai Bayan  (Penjelasan) atau Tabyiin  (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an).seperti di tunjukan oleh ayat 44 Surat Al-Nahl :
Artinya.:
Kami telah menurunkan Kepada mu Al-Qur’an agar kamu menjelaskanya kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya kamu mememikirkannya. (QS. An-Nahl/ 16:14).

 Ada beberapa bentuk fungsi Sunnah terhaap Al-Qur’an:
1)      Menjelaskan isi Al-Qur’an antara lain dengan merinci ayat-ayat Global.
2)      Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Al-Qur’an.
3)      Menetapkan hukum yang belum di singgung dalam Al-Qur’an.[14]
3.      Ijma’
a.       Pengertian Ijma’
Kata Ijma’ secara bahasa berarti “Kebulatan tekad terhadap sesuatu persoalan” atau “ Kesepakatan tentang sesuatu masalah”.
Menurut istilah Ushul Fiqih seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, adalah “keputusan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukuman syara’ pada satu masa setelah Rasulullah”.
Ijma’ diartikan kesepakatan (Al-Ittifaq) terhadap sesuatu. Pengertian ini di kemukakan oleh al-Asnamy Nihayassaul Lil Asnawi yang mengutip pendapat Abu Ali Al-Farisi dalam Kitab Al-Idha.  Pernyataan “ajmi’u” dapat di artikn bahwa “mereka menjadai sependapat”. Pendapat tersebut di perkuat Oleh Firman Allah SWT. Dalam Surat Yunus ayat 15:
 “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
اِتِّفَاقَ مُجْتَهِدِ اَمَّةٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيِ عَصْرٍ مِنَ الأَعْصَارِ عَلَى اَمْرٍ مِنَالأُمُوْرِ
Kesepakatan semua mujtahid dari Nabi Muhammad SAW sesudah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkara.[15]
b.      Syarat-syarat Ijma’
1.      Yang bersepakat adlah para mujtahid
2.      Yang bersepakat adalah seluruh Mujtahid
3.      Para Mujtahid Harue Umat Muhammad SAW
4.      Dilakkan Setelah wafatnya Nabi
5.      Kesepakat mereka harus berhubungan dengan syari’at
c.       Macam-macam Ijma’
1.      Ijma’ sharih
Magsudnya semua Mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing., kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat. Kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.
2.      Ijma’Sukuti
Adalah pendapat sebagai ulma tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainya.tapi mereka diam, tidak menyepakati atau menolak pendapat tersebut secara jelas.[16]
3.      ijma’ qauli atau ijma’ sharih: yaitu ijama’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan dan tulisan yang mengeluarkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada zamanya.
4.      Ijma’ sahabat  yaitu ijma’ yang di kelurkan oleh para sahabat.
5.      Ijma’ khalifah empat.
6.      Ijma’ Abubakar dan Umar.
7.      Ijma’ ulama Madinah.
8.      Ijma’  ulama Kufah dan Bashrah.
9.      Ijma’  itrah ( ahl al-bait  atau  kaum syi’ah).[17]
Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua ahli Ijtihad pada sutau masa atas suatu hukum syara’. Oleh karna itu menurut hanafi, dalam ijma’ terkandung hal-hal berikut:
1)      Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat seseirang sama dengan pendapat yang lain.
2)      Apabila ada yang tidak sependapat, tidak akan ada ijma’ tanpa kesepakatan secara keseluruhan ijma’, tidak terjadi, tetapi pendapat pendapat terbanyak dapat menjadi Hujjah.
3)      Jika pendapat ini di suatu masa tersebut hanya keluar dari seorang mujtahid, bukan termasuk ijma’.
4)      Kebulatan pendapat harus real, artinya semua menyatakannya, baik dengan lisaan, tulisan, maupun isyarat.
5)      Kesepakatan yang dimagsudakn hanya berlaku untuk mujtahid bukan yang lainya.
6)      Kebualatan dari kelompok tertentu, bukan merupakan ijma’. Sebab yang dimagsud dengan ijma’ disini adalah ijma’ ummah ssekuruh umat bersepakat.
d.      Terjadi Ijma’ disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
1.      Karna pernah terjadi, dan hal itu juga diakui secara mutawatir.
2.      Pada masa awal islam, para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan ijma’ dan memetapkan suatu ketetapan hukum. Akan tetapi ijma’ diakui validitasnya oleh ulama ahli ushul, hanyalah ijma’ sahabat, karena jumlah sahabat yaang sedikit pada zamannya. Sahabat adalah orang yang bertemu, bergaul dengan Nabi SAW. Dan banyak menyaksikan sebab-sebab turunya ayat Al-Qur’an.
3.      Ijma’ pada zaman sekarang sangat sulit sekali terjadi, karena jika seluruh mujtahid umat Muhammad SAW, berkumpul. Artiya jika seluruh dunia berkumpul untuk bersepakat dalam menetapkan suatu ketetepan hukum. Yang ada hanyalah sebuah “ijama”-nya saja, misalnya ijma’ ulama madinah, ijma’ Ulama Syafi’iyah, ijma’ majlis Ulam, ijma’ Ormas islam, dan sekelompok umat Muhammad SAW. Yang diam dalam institusi tertentu, yang akhirnya disebut dengan “fatwa”  sebagai sumber hukum Islam atau dalil yang tidak mengikat karena dapat dilakukan oleh seorang Mujtahid atau oleh sekelompok Ulama’.
4.      Ijma’ tidak mungkin terjadi tidak akan ada dan tidak akan pernah ada, karena persoalan agama, sejak diutusnya Nabi hingga kiamat merupakan masalah yang di sepakati.

4.      Qiyas
a.       Pengertian Qiyas
Dalil keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi.
Qiyas menurut bahasa adalah “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”[18].menurut istilah Ushul Fikih seperti yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah :
ألحا أمرغيرمنصوص على حكمه الشر عي بأمر منص ص على كمه لاشتراكهما علة الحكم
Menghubungkan (menyamakan hukum)sesuatu yang tidak ada ketentuan hukunya dengan sesuatu yang ada keetentuan hukumnya karena persamaan ‘illat antara keduanya.
Menurut pendapat yang lain Qiyas berasal dari kata”qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan ukuran. Kata Qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu., atu pengukuran dengan satu dan yang lainya. Atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya,misalnya kalimat

Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegasakan dalam Al-qur’an dan Sunnah. Adapun Qiyas dilakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (illat) dari rumusan hukum itu dan setelah rumusan hukum itu dan setelah itu ditetapkan pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasullah. Bila benar ada kesamaan ‘illatnya maka keras dugaan bahwa hukumannya juga sama maka dilakukan pada setiap praktik qiyas.[19]
b.      Dalil Keabsahan Qiyas sebagai Landasan Hukum.
Para Ulama Ushul Fikih menganggap qiyas  secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai argumentasi, antara lain:
1)      Surat an-Nisa’ ayat 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya[20].
Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat diantaranya ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya, dengan mengembalikannya kepada Al-qur’an dan sunnah Rasulullah. Cara mengembalikannya antara lain dengan melakukan Qiyas.
2)      Hadis yang berisi Dialaok antara Nabi den Mu’az ketika yang disebutkan terahir ini menjadi hakim di Yaman.
c.       Operasional Qiyas
Operasional penggunaan qiyasdimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa yang tidak cukup yang tidak hanya dengan pemahamanmakna lafadz saja. Selanjutnya mujtahid mencari dan meneliti ada dantidaknya nash-nya, apabila ada illatnya itu faqih menggunakan ketentuan Hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadilan illat. Dengan demikian yang dicari mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash (pokok hukum).[21]
d.      Rukun Qiyas
dengan pemikiran tersebut ulama ushul fiqih mengatakan bahwa rukun Qiyas terdiri dari:
1.      Ashl atau pokok yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat penganalogian.
2.      Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya ­yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashl yang disebut dengan maqis dan musyabah (yang dianalaogikan dan diserupakan).
3.      Hukum ashl  yaitu hukum syar[22]a’ yang telah ditentukan oleh Nash.
4.      Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl dengan adanya sifat itulah ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itulah terdapat cabang sehingga hukum cabang itulah disamakan dengan hukum ashl.











BAB III

1.      KESIMPULAN
Ushul fiqih adalah ilmu yang menjadikan dasar dari semua. Dan dalam ushul Fiqih menngambil sumber-sumberhukum yang sebagai landasan hukum pada ushul fiqih.yang dimagsud dengan sumber dalil hukum yaitupetunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat material, maupun non material. Adapu secara terminologi dalam ushul fiqih, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama, dalam menetapkan hukum islam, yaitu berupa Al-qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yan bersifat praktis, baik yang di dukungnya Qath’i (pasti) atau Zhanni ( relatif).
 Sumber-sumber hukum yang di magsud yaitu diantaranya:
a.       Al-Qur’an
Semua ulama sepakat bahw Al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam sekaligus hukum Islam yang pertama dan paling utama
b.      Sunnah
berarti “ segala perilaku, ucapan, (Sunnah Qaulyyiah), Perbuatan (Sunnah Fi’liyyah), atau pengakuan (Sunnah Taqririyah).
c.       Ijma’
keputusan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukuman syara’ pada satu masa setelah Rasulullah”.
d.      Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”[23].menurut istilah
Menghubungkan (menyamakan hukum)sesuatu yang tidak ada ketentuan hukunya dengan sesuatu yang ada keetentuan hukumnya karena persamaan ‘illat antara keduanya.
2.      SARAN
Demikian makalah ini dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Saya sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu saya mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi saya. Harapan saya semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!























Daftar Pustaka
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih , Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011
Jaih Mubarok, Yogyakarta.metodelogi Ijtihad Hukum Islam, UII Press, 2002
Khoirul Umam, ushul Fiqiih 1, Bandung, CV  Pustaka Setia, 2000
Moenawar Chalil, Kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta, Bula Bintang, 1974
Musthafa al-Siba’iy, al-Sunnah wa kanamatuha fi al-Tasyri al-Islamiy, Dar al-Qumiyah,1996
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2007
Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009




[1] Khoirul Umam, ushul Fiqiih 1,CV  Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal :31

[2] Khoirul Umam, ushul Fiqiih 1,CV  Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal : 23
[3] Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm :78
[4] Moenawar Chalil, Kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bula Bintang, Jakarta, 1974, hlm.180
[5]Moenawar Chalil, Kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bula Bintang, Jakarta, 1977 hal : 36
[6]Khoirul Umam, ushul Fiqiih 1,CV  Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal: 34
[7] Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 112
[8]Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqih , Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal: 38
[9] Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 113
[10] Musthafa al-Siba’iy, al-Sunnah wa kanamatuha fi al-Tasyri al-Islamiy, Dar al-Qumiyah,1996,hal
;53
[11] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih , Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal: hal 40
[12]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka setia, Bandung, 2008, hal: 157
[13] Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 117
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal:66
[15] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih , Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal: 84
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal: 72
[17] Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 129
[18] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal: 86
[19] Jaih Mubarok, metodelogi Ijtihad Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta.2002,Hal 99
[20]Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm:131
[21]Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 87
[22] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal:88

Add to Cart

0 komentar:

Post a Comment