Dosen Pengampu
:
Drs. H. Musnad Rozin, MH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN)
JURAI SIWO METRO
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
”PENGAMBILAN SUMBER HUKUM USHUL FIQIH” ini. Makalah ini merupakan laporan
yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan
salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW,
keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam
ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan
oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga
penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang
telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa
Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat bagi kita semua,
khususnya bagi penulis sendiri.
Hormat kami
penulis
|
Daftar isi
HALAMAN JUDUL.............................................................................. I
KATA PENGANTAR............................................................................ II
DAFTAR ISI.......................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 2
A. PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL.................................. 2
B. SUMBER DAN DALIL HUKUM USHUL FIQIH................. 4
1. Pengertian Al-Qur’an............................................................ 4
2. Sunnah Rasulullah................................................................. 7
3. Ijma’...................................................................................... 13
4. Qiyas..................................................................................... 16
BAB III PENUTUP............................................................................... 20
Daftar Pustaka......................................................................................... 22
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
”PENGAMBILAN SUMBER HUKUM USHUL FIQIH” ini. Makalah ini merupakan laporan
yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan
salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW,
keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam
ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan
oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga
penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang
telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa
Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat bagi kita semua,
khususnya bagi penulis sendiri.
Hormat kami
penulis
PENDAHULUA
Sumber
hukum islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut di
sebut juga dengan dalil-dalil pokok hukum islam karena keduanya merupakan
petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil lain selain
Al-Qur’an dan Assunnah seperti Qiyas, Istihsan, dan Ishtislah, tetapi tiga
dalil yang di sebut ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya alat bantu untuk sampai kepada
hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an dan sunnah Rasulallah. Kerena hanya
sebagai alat bantu untuk memahami Al-Qur’an Dan Sunnah, sebagian Ulama menyebut
sebagai metode isthimbat. Imam Al-Gozali misalnya menyebut qiyas sebagai metode istinbat. Dalam
tulisan ini istilah sumber sekaligus dalil kita gunakan untuk Al-Qur’an dan
sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur’an dan sunnah seperti ijma’, qiyas,
istishan, masalah mursalah, istishab, ‘urf, dan saad az-zari’ah tidak digunakan
istilah dalil. Oleh karena yang di sebut “dalil pendukung” di atas pada sisi
lain disebut juga sebagai metode Istinbat, maka ketika menjelaskan pembahasan
mengenai metode istimbat memlalui maqasid syari’ah, akan di jelaskan sepintas
dalil-dalil tersebut dengan metode istinbat. Dalam ushul fiqih terdapat
dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati seperti dalam
pembahasan yang akan kita bahas.
BAB II
A.
PENGERTIAN
SUMBER DAN DALIL
Sumber secara etimologi berarti asal
dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti petunjuk
pada sesuatu, baik yang bersifat material, maupun non material. Adapu secara
terminologi dalam ushul fiqih, sumber diartikan sebagai rujukan yang
pokok/utama, dalam menetapkan hukum islam, yaitu berupa Al-qur’an dan
As-Sunnah. Sedangkan dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yan
bersifat praktis, baik yang di dukungnya Qath’i (pasti) atau Zhanni ( relatif).[1]
Abdul Wahhab Khalaf mengatakan bahwa
pengertian dalil Al-Hukum
دَلِيْلُ الْحُكْمِ ) Atau Adillah Al-ahkam (أَدِلّةُ اْلأَحْكَامِ)
ini identik dengan Ushul al-ahkam (أُصُوْلُ
اْلأَحْكَامِ )
(sumber-Sumber Hukum). Karenanya para
ulama’ ushul fikih menggunakan istilah adillah Al-Ahkam untuk menunjuk mashadir
Al-Ahkam dan sebaliknya. Oleh sebab itu para ulama ushul fiqih kontemporer
lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum islam mashaadir
ahkam al-ayar’iyah)tersebut adalah al-Qur’an dan Assunah. Karena Al-qur’an dan
Sunnah disepakati oleh ulama ushul fikih,klasik dan kontemporer, sebagai sumber
primer hukum Islam.[2]
Sedangkan sumber atau dalil fikih yang di sepakati seperti di
kemukakan ‘Abd. Al-Majid Muhammad Al-Khafawi, Ahli hukum islam berkebangsaan
mesir, ada 4 (empat) yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’ dan Qiyas.
Mengenai keharusan berpegang kepada keempat sumber tersebut dapat di pahami
dari ayat 59 surat An-Nisa:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasull
(Nya), dan ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasull
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’:
4:59)[3].
Perintah
menaati Allah dan Rasullnya artinya perintah untuk mengikuti AL-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, sedangkan untuk menaati ulil-amri menurut Abdul-Wahhab
Khallaf, ialah perintah untuk mengikuti ijma’ yaitu hukum-hukum yang telah di
sepakati oleh para mujtahidin, kerena mereka itulah ulil-Amri (pemimpin) kaum
musli dalam hal pembentukan hukum-hukum islam. Dan perintah untuk mengembalikan kejadian-kejadian yang
diperselisihkan antara umat-umat islam kepada Allah dan Rasul-Nya artinya
perintah untuk melakukan Qiyas, karena dengan perintah Qiyas itulah terlaksana
perintah mengmbalikan maslah kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Dalam kaitanya dengan pengertian
dalil yang di kemukakan atas Al-Qur’an dan Sunnah juga di sebut dengan dalil
hukum. Aritnya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW disamping sebagai sumber
hukum islam sekaligus sebagi dalil (alasan sebagai Penetapan Hukum Islam)
karena itu dari sisi ini apa yang di kemuakakan oleh abdul wahab Khalaf di atas
adalah adillah al-ahkam identik dengan mashaadir al-ahkam adalah benar. Namjun
dalil lain seperti ijma’, qiyas, isthisna, maslahah al-mursalah, dan
sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum islam karena dalil-dalil
ini hanya bersifat al-kasyf wal-izhar li al-kukm (menyingkap dan menyimpulkan
hukum)yang ada dalm Al-Qur’an dan Sunnah. Disamping itu keberadaan suatu dalil,
seperti ijma’, qiyas, isthisna, dan sebagainya tidak boleh bertentangan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu para
Ulama’ ushul fiqih juga sering menyebut adillah al-ahkam, seperti ijma’, qiyas,
istishan, isthishab, dan sebagainya sebagai turuq isthinbhat al-Ahkam (metode
dalam menetapkan Hukum).
B.
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM.
1.
Pengertian Al-Qur’an.
Semua ulama sepakat bahw Al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam
sekaligus hukum Islam yang pertama dan paling utama.
Kata
Al-Qur’an dalam bahas Arab merupakan masdar dari kata Qara’a (قَرَأَ )yang secara
etimologi berarti bacaan dan atau pada tertulis padanya. Subjek dari kata
Qara’a ((قَرَأَ )berupa isim fa’il yaitu maqru’ (مَقْرُوْءٌ ) seperti terdapat dalam firman Allah SWT.
a.
Surat Al-Qiyamah ayat 17-18 :
artinya
:
Sesungguhnya
atas tanggungan kami lah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai)
bacaannya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya.
(QS. Al-Qiyamah: 17-18).
b.
Surat Al-Isra’ ayat 9:
Sesungguhnya
Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.
Ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi
orang-orang yang beriman. Menurut ulama Ushul Fiqih ayat itu dapat dapat
memaknai bahwa Al-qur’an menjadi patokan atau kaidah dan tatanan hukum manusia
agar menjalankan kehidupan dengan baik dan benar menurut paraturan atau
hukum-hukum Allah SWT.[4]
c.
Surat
Al-Baqarah ayat 1-2:
1. Alif laam miin.
2.
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.
Modal dasar keyakinan atas Al-Qur’an adalh kimanan, sebagai
fondasiketakwaan, sedangkan ketakwaan yang sempurna harus didasarkan apada
keyakinan bahwa Al-Qur’an sebagai petunjuknya.
Al-Qur’an
adalah petunjuk dan sumber hukum bagi kehidupan manusia. Menurut Moenawar Chalil,
Al-Qur’an adalah landasan amaliah manusia yang paling sempurna dengan
penjelasan yang sempurna dari Rasulallah SAW. Yang tidak pernah menjelaskannya
dengan hawa nafsu, kecuali atas dasar wahyu dari Allah SWT.[5]
Al-Quran
merupakan nama kitab suci Allah SWT. Yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan perantara malaikat Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-qur’an juga
disebutkan dengan beberapa nama sepereti:
a.
Al-Kitab
, artinya tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita kaum muslimin agar
Al-Qur’an dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku.
Kata
tersebut antara lain dapat dijemput dalam surat Al-baqarah ayat 2:
Artinya:
“kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS.Al-Baqarah: 2)
“kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS.Al-Baqarah: 2)
Juga
firman Allah AWT. Dalam surat Al-An’am ayat 114 :
Artinya:
“Maka patutkan lah aku mencari hakim selain Allah, padahal dialah
yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci. Orang-orang yang telah kita datangkan kepada
mereka mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan
sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-sekali termasuk orang-orang yang
ragu-ragu”.
b.
Al-Furqan, artinya pembeda. Dalam mencari garis pembeda
antara yang hak dan yang batil, yang baik dan yang buruk, haruslah merujuk
padanya. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an membedakan sesuatu antara yang hak
dan yang batil. Ini dapat kita jumpai antara lain dalam firman Allah SWT. Surat
Al-Furqan ayat 1:
Artinya:
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan
(Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam”. (QS.
Al-Furqan : 1)
c.
Al-Zikr,
artinya Ingat.arti ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an berisi peringatan agar
tuntutannya selalu di ingat dalam melakukan setiap tindakan. Hal ini dapat kita
temukan dalam surat al-Hijr ayat 9:
Artinya:
Sesungguhnya kami lahyang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya
kami bener-benar memeliharanya. (QS. Al-Hujr: 9)[6]
d.
Al-Huda,
Artinya adalah petunjuk arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tenang kebenaran
hanyalah petunjuk yang diberikanya, atau yang memepunyai rujukan kepad
Al-Qur’an.
2.
Sunnah Rasulullah.
a.
Pengertian
Sunnah Rasulullah.
Kata sunnah
secara bahasa adalah “perlaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau
perilaku yang buruk”.[7]
Disini juga di sebutkan bahwa Sunnah (Arab, Al-Sunnah, bentuk
plularnya adalah al-sunah). Cecara etimologi mengandung makna ”cara dan
jalan hidup” baik yang berkualitas baik maupun yang buruk.[8]Dalam
pengertian ini dapat dipahami kata sunnah dalam sebuah hadis Rasulullah:
عَنْ الْمُنْذِ بْنِ جَرِيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّ
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَنَّ فِيْ الْاِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ اَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا
يَنْقُصُ مِنْ اُجوُرِهِمْ شَيْ ءٌ وَمَنْ سَنَّ فِيْ الْاِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً
فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهِا وَالَا
يَنْقُصُ شَيْ ءٌمِنْ أَوْزَا رِهِمْ
Dari Al-Munziri bin jarir, dari bapaknya, dari nabi SAW bersabda
:”Barang siapa yang melakukan perilaku (Sunnah) yang baik dalam islam ini, maka
ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang menirunya melakukan perilaku (sunnah)
yang buruk dalam islam maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang y ng
menirunya dan sedikit pun tidak dikurangi. (HR. Muslim).[9]
Menurut istilh
usul fikih, Sunnah Rasull seperti di kemukakaan oleh muhammad ‘ajjaj al-khatib
(guru besar Hadis Universitas Damaskus), berarti “ segala perilaku, ucapan,
(Sunnah Qaulyyiah), Perbuatan (Sunnah Fi’liyyah), atau pengakuan (Sunnah
Taqririyah).
Contoh unnah Qauliyah (ucapan ) Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عُبَادَةَبْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صّلّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَوَلاَ ضِرَارَ {رواه ابن ماجه }
Dari Ubadah bin Samit, sesungguhnya Rasulullah SAW. Menetapkan
bahwa tidakboleh melakukan kemadharatan dengan kemudaratan.” (HR. Ibnu Majah).
b.
Kategori
Sunnah
Dari
segi materinya Sunnah dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam,[10]
yaitu
1.
Sunnah
Fi’liyyah ialah segala perbuatan yang dipraktikkan oleh nabi seperti tentang
rincian tata cara shalat sebagai berikut:
عَبْ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلِّي كَمَا
رَاَيْتُ اَصْحَابِيْ يُصَّلُّوْنَ لاَ اَنْهَى اَحَدًايُصَلِّي بِلَيْلٍ وَلاَنَهَارٍمَاشَاءَ
غَيْرَأَنْ لاَتَحَرَّوْاطُلُوعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوْبَهَا { رواه البخارى}
Dari ibnu umar berkata: sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda : saya
shalat seperti sahabat-sahabat ku kerjakan shalat aku tidak melarang mereka
shalat baik siang maupun malam sesuai yang di kehendakinya, kecuali mereka
sengaja shalat pada terbit dan tenggelamnya matahari. (HR. Bukhari).
2.
Sunnah
Taqririyah (pengakuan) ialah pengakuan Rasulullah atas perilaku para sahabat.
Contoh nya di masa Rasulullah ada dua
orang sahabat dalam suatu perjalanan, ketika akan shalat tidak mendapatkan air,
lalu mereka bertayamum dan mengerjakan shalat. Kemudian mereka menemukan air
sedangkan waktu shalat masih berlanjut.lalu salah seorang diantaranya keduanya
mengulangi shalat, dan lain tidak. Ketika mereka melaporkan ini pada
Rasulullah,beliau memberikan kedua praktik tersebut. Kepada yang tidak
mengulangi cukup bagimu shalatmu itu.
3.
Sunnah
Qauliyah
Sunnah
Qauliyyah adalah merupakan perkataan atau sabda
Rasulullah SAWyang di dalamnya mengandung hukum-hukum agama dan magsud
Al-Qur’an yang berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan Akhlak. sunnah
qauliyyah ini juga dinamakan Khabar, hadis atau Sunnah.
Sebagai
contoh:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah maka akan
diampuni dosanya (HR. Muslim).[11]
c.
Dalil
keabsahan Sunnah sebagai sumber Hukum
Al-Qur’an
memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Rasulullah seperti dalam ayat :
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladananyang
baik seperti firman Allah :
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.
bahkan
dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai orang yang agung akhlaknya:
dan
Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Disamping
itu Allah bahwa orang yang mentaati Rasul adalah sama dengan mentaati Allah dan
Allah menganggap tidak ideal iman sesorang yang tidak menyerahkan kepada
keputusan Rasulallah[12]
d.
Pembagian
Sunnah atau Hadis.
Sunnah atau hadis dari segi sanadnyaatau periwayatannya dalam
kajian Ushul Fikih dibagi kepada dua macam yaitu: hadis Mutawatir dan
Hadis Ahad.
1)
Hadis
Mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan dari
Rasulullah aloeh Sekelompok Perawi yang wat kebiasaan
individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong.
Hadis
mutawatir dibagi menjadi dua macam: hadis Mutawatir Lafdzy dan Hadis
Mutawatirma’nawy. Hadis muatwatir Lafdzy ialah hadis yang diriwayatkan oleh
orang banyak yang bersamaan arti dan lafadznya.
Contoh:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَتَكْتُبُوْاعَنِّيْ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ
الْقُرْانِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدَّثُوْاعَنِّيْ وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأمَقْع!دَهُ مِنْ النَّارِ {رواه مسلم}
Artinya
:
Dari
Abu SA’id Al-Kudriy, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda janganlah anda tulis
apa yang kamu ucapkan, barang siapa yang menulis dariku selain dari Al-Qur’an
maka hapuslah maka ceritakan hadis dari ku serta jangan berbuat dosa. Barang
siapa yang berbuat dusta atas dari ku dengan sengaja maka hendaklah ia
mengambil tempatnya di neraka. (HR. Muslim)
2)
hadis
mutawatir ma’nawiy ialah beberapa
hadis yang beragam redaksinya tetapi maknanya sama. Misalnya hadis yang
menjelaskan Rasulullah mengangkay tangannya dalam setiap berdoa. Hadis itu
diriwayatkan dalam beberapa peristiwa, dan dalam berbagai redaksi antara lain
diriwayatkan diriwayatkan oleh Tirmizi.
3)
Hadis
Ahad ialah hadis yang diriwayatkan oleh seseorangatau lebih tetapi
tidak sampai kebatas mutawatir. Hadis Ahad dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a)
Hadis
Masyhuri, yaitu hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga orang
perawi.tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya hadis itu menjadi hadis
mutawatir dilihat dari jumlah perawinya:
b)
Hadis
’Aziz yaitu hadis yang ada pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang
meskipun pada peride-periode Yng
diriwayatkan oleh banyak orang.
c)
Hadis
Ghorib, yaitu hadis yang diriwayatkan Oleh orang perorang pada setiap periode
sampai hadis itu dibukukan.
Dari
kedua pembagian hadis di atas, para ulama ushul fikih sepakat bahwa hadis mutawtir
adalah sah di jadikan sumber hukum tetapi mereka berbeda pendapat tentang
keabsahan hadis ahad sebagai
sumber hukum.[13]
e.
Fungsi
Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Secara Umum fungsi Sunnah adalah sebagai Bayan (Penjelasan) atau Tabyiin (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an).seperti di tunjukan oleh ayat 44 Surat Al-Nahl :
Artinya.:
Kami
telah menurunkan Kepada mu Al-Qur’an agar kamu menjelaskanya kepada manusia apa
yang diturunkan kepada mereka dan supaya kamu mememikirkannya. (QS. An-Nahl/
16:14).
Ada beberapa bentuk fungsi Sunnah terhaap
Al-Qur’an:
1)
Menjelaskan
isi Al-Qur’an antara lain dengan merinci ayat-ayat Global.
2)
Membuat
aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan
pokok-pokoknya di dalam Al-Qur’an.
3)
Menetapkan
hukum yang belum di singgung dalam Al-Qur’an.[14]
3.
Ijma’
a.
Pengertian
Ijma’
Kata Ijma’ secara bahasa berarti “Kebulatan tekad terhadap sesuatu
persoalan” atau “ Kesepakatan tentang sesuatu masalah”.
Menurut
istilah Ushul Fiqih seperti dikemukakan ‘Abdul-Karim Zaidan, adalah “keputusan
para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukuman syara’ pada satu
masa setelah Rasulullah”.
Ijma’
diartikan kesepakatan (Al-Ittifaq) terhadap sesuatu. Pengertian ini di
kemukakan oleh al-Asnamy Nihayassaul Lil Asnawi yang mengutip pendapat Abu Ali
Al-Farisi dalam Kitab Al-Idha. Pernyataan “ajmi’u” dapat di artikn
bahwa “mereka menjadai sependapat”. Pendapat tersebut di perkuat Oleh Firman
Allah SWT. Dalam Surat Yunus ayat 15:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat
memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia
sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat
lagi."
اِتِّفَاقَ مُجْتَهِدِ اَمَّةٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ بَعْدَ
وَفَاتِهِ فِيِ عَصْرٍ مِنَ الأَعْصَارِ عَلَى اَمْرٍ مِنَالأُمُوْرِ
Kesepakatan
semua mujtahid dari Nabi Muhammad SAW sesudah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap
suatu perkara.[15]
b.
Syarat-syarat
Ijma’
1.
Yang
bersepakat adlah para mujtahid
2.
Yang
bersepakat adalah seluruh Mujtahid
3.
Para
Mujtahid Harue Umat Muhammad SAW
4.
Dilakkan
Setelah wafatnya Nabi
5.
Kesepakat
mereka harus berhubungan dengan syari’at
c.
Macam-macam
Ijma’
1.
Ijma’
sharih
Magsudnya semua Mujtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing., kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi bila
semua mujtahid berkumpul disuatu tempat. Kemudian masing-masing mengeluarkan
pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.
2.
Ijma’Sukuti
Adalah pendapat sebagai ulma tentang suatu masalah yang diketahui
oleh para mujtahid lainya.tapi mereka diam, tidak menyepakati atau menolak
pendapat tersebut secara jelas.[16]
3.
ijma’
qauli atau ijma’ sharih: yaitu
ijama’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan dan tulisan yang
mengeluarkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada zamanya.
4.
Ijma’
sahabat yaitu ijma’ yang di kelurkan oleh para
sahabat.
5.
Ijma’
khalifah empat.
6.
Ijma’
Abubakar dan Umar.
7.
Ijma’
ulama Madinah.
8.
Ijma’
ulama Kufah dan Bashrah.
Ijma’
merupakan kebulatan pendapat semua ahli Ijtihad pada sutau masa
atas suatu hukum syara’. Oleh karna itu menurut hanafi, dalam ijma’ terkandung hal-hal
berikut:
1)
Kebulatan
dapat terwujud apabila pendapat seseirang sama dengan pendapat yang lain.
2)
Apabila
ada yang tidak sependapat, tidak akan ada ijma’ tanpa kesepakatan secara
keseluruhan ijma’, tidak terjadi, tetapi pendapat pendapat terbanyak dapat
menjadi Hujjah.
3)
Jika
pendapat ini di suatu masa tersebut hanya keluar dari seorang mujtahid, bukan
termasuk ijma’.
4)
Kebulatan
pendapat harus real, artinya semua menyatakannya, baik dengan lisaan, tulisan,
maupun isyarat.
5)
Kesepakatan
yang dimagsudakn hanya berlaku untuk mujtahid bukan yang lainya.
6)
Kebualatan
dari kelompok tertentu, bukan merupakan ijma’. Sebab yang dimagsud dengan ijma’
disini adalah ijma’ ummah ssekuruh umat bersepakat.
d.
Terjadi
Ijma’ disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
1.
Karna
pernah terjadi, dan hal itu juga diakui secara mutawatir.
2.
Pada
masa awal islam, para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan
bagi mereka untuk melakukan ijma’ dan memetapkan suatu ketetapan hukum. Akan
tetapi ijma’ diakui validitasnya oleh ulama ahli ushul, hanyalah ijma’ sahabat,
karena jumlah sahabat yaang sedikit pada zamannya. Sahabat adalah orang yang
bertemu, bergaul dengan Nabi SAW. Dan banyak menyaksikan sebab-sebab turunya
ayat Al-Qur’an.
3.
Ijma’
pada zaman sekarang sangat sulit sekali terjadi, karena jika seluruh mujtahid
umat Muhammad SAW, berkumpul. Artiya jika seluruh dunia berkumpul untuk
bersepakat dalam menetapkan suatu ketetepan hukum. Yang ada hanyalah sebuah
“ijama”-nya saja, misalnya ijma’ ulama madinah, ijma’ Ulama Syafi’iyah, ijma’
majlis Ulam, ijma’ Ormas islam, dan sekelompok umat Muhammad SAW. Yang diam
dalam institusi tertentu, yang akhirnya disebut dengan “fatwa” sebagai sumber hukum Islam atau dalil yang
tidak mengikat karena dapat dilakukan oleh seorang Mujtahid atau oleh sekelompok
Ulama’.
4.
Ijma’
tidak mungkin terjadi tidak akan ada dan tidak akan pernah ada, karena
persoalan agama, sejak diutusnya Nabi hingga kiamat merupakan masalah yang di
sepakati.
4.
Qiyas
a.
Pengertian
Qiyas
Dalil keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi.
Qiyas
menurut bahasa adalah “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
diketahui adanya persamaan antara keduanya”[18].menurut
istilah Ushul Fikih seperti yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah :
ألحا أمرغيرمنصوص على حكمه الشر عي بأمر منص ص على كمه لاشتراكهما علة
الحكم
Menghubungkan (menyamakan hukum)sesuatu
yang tidak ada ketentuan hukunya dengan sesuatu yang ada keetentuan hukumnya
karena persamaan ‘illat antara keduanya.
Menurut
pendapat yang lain Qiyas berasal dari kata”qasa, yaqisu, qaisan” artinya
mengukur dan ukuran. Kata Qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan, dan
lain-lain yang searti dengan itu., atu pengukuran dengan satu dan yang lainya.
Atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya,misalnya kalimat
Qiyas
adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegasakan dalam Al-qur’an dan
Sunnah. Adapun Qiyas dilakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan
logis (illat) dari rumusan hukum itu dan setelah rumusan hukum itu dan setelah
itu ditetapkan pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak
termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasullah. Bila benar ada kesamaan ‘illatnya
maka keras dugaan bahwa hukumannya juga sama maka dilakukan pada setiap praktik
qiyas.[19]
b.
Dalil
Keabsahan Qiyas sebagai Landasan Hukum.
Para Ulama
Ushul Fikih menganggap qiyas secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan
berbagai argumentasi, antara lain:
1)
Surat
an-Nisa’ ayat 59 :
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya[20].
Ayat
ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat diantaranya ulama tentang
hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya, dengan mengembalikannya kepada
Al-qur’an dan sunnah Rasulullah. Cara mengembalikannya antara lain dengan
melakukan Qiyas.
2)
Hadis
yang berisi Dialaok antara Nabi den Mu’az ketika yang disebutkan terahir ini
menjadi hakim di Yaman.
c.
Operasional
Qiyas
Operasional penggunaan qiyasdimulai dengan mengeluarkan hukum yang
terdapat pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang
luar biasa yang tidak cukup yang tidak hanya dengan pemahamanmakna lafadz saja.
Selanjutnya mujtahid mencari dan meneliti ada dantidaknya nash-nya,
apabila ada illatnya itu faqih menggunakan ketentuan Hukum pada
kedua kasus itu berdasarkan keadilan illat. Dengan demikian yang dicari
mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash (pokok
hukum).[21]
d.
Rukun
Qiyas
dengan
pemikiran tersebut ulama ushul fiqih mengatakan bahwa rukun Qiyas terdiri dari:
1.
Ashl
atau pokok yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang
dijadikan tempat penganalogian.
2.
Far’u
(cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya yang akan
dipersamakan hukumnya dengan ashl yang disebut dengan maqis dan musyabah
(yang dianalaogikan dan diserupakan).
4.
Illat
yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl dengan adanya
sifat itulah ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itulah
terdapat cabang sehingga hukum cabang itulah disamakan dengan hukum ashl.
BAB
III
1.
KESIMPULAN
Ushul fiqih adalah ilmu yang
menjadikan dasar dari semua. Dan dalam ushul Fiqih menngambil
sumber-sumberhukum yang sebagai landasan hukum pada ushul fiqih.yang dimagsud
dengan sumber dalil hukum yaitupetunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat
material, maupun non material. Adapu secara terminologi dalam ushul fiqih,
sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama, dalam menetapkan hukum
islam, yaitu berupa Al-qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil mengandung
pengertian sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar
dalam memperoleh hukum syara’ yan bersifat praktis, baik yang di dukungnya
Qath’i (pasti) atau Zhanni ( relatif).
Sumber-sumber hukum yang di
magsud yaitu diantaranya:
a.
Al-Qur’an
Semua
ulama sepakat bahw Al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam sekaligus hukum
Islam yang pertama dan paling utama
b.
Sunnah
berarti “ segala perilaku, ucapan, (Sunnah Qaulyyiah), Perbuatan
(Sunnah Fi’liyyah), atau pengakuan (Sunnah Taqririyah).
c.
Ijma’
keputusan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukuman syara’
pada satu masa setelah Rasulullah”.
d.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang
lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”[23].menurut
istilah
Menghubungkan (menyamakan hukum)sesuatu yang
tidak ada ketentuan hukunya dengan sesuatu yang ada keetentuan hukumnya karena
persamaan ‘illat antara keduanya.
2.
SARAN
Demikian makalah ini dalam mata
kuliah yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Saya sadar bahwa ini
merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu saya mengharapkan
kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi saya. Harapan
saya semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!
Daftar Pustaka
Jaih Mubarok, Yogyakarta.metodelogi Ijtihad Hukum Islam, UII
Press, 2002
Khoirul Umam, ushul Fiqiih 1, Bandung, CV Pustaka Setia, 2000
Moenawar Chalil, Kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta,
Bula Bintang, 1974
Musthafa al-Siba’iy, al-Sunnah wa kanamatuha fi al-Tasyri
al-Islamiy, Dar al-Qumiyah,1996
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka
Setia, 2007
Satria Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana,
Jakarta,2009
[1] Khoirul
Umam, ushul Fiqiih 1,CV Pustaka Setia,
Bandung, 2000, Hal :31
[2] Khoirul
Umam, ushul Fiqiih 1,CV Pustaka Setia,
Bandung, 2000, hal : 23
[3] Satria
Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm :78
[4] Moenawar
Chalil, Kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bula Bintang, Jakarta, 1974,
hlm.180
[5]Moenawar
Chalil, Kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bula Bintang, Jakarta, 1977 hal
: 36
[6]Khoirul
Umam, ushul Fiqiih 1,CV Pustaka Setia,
Bandung, 2000, hal: 34
[7] Satria
Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 112
[8]Asmawi,Perbandingan
Ushul Fiqih , Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal: 38
[9] Satria
Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 113
[10]
Musthafa al-Siba’iy, al-Sunnah wa kanamatuha fi al-Tasyri al-Islamiy, Dar
al-Qumiyah,1996,hal
;53
[11] Asmawi,
Perbandingan Ushul Fiqih , Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal: hal
40
[12]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka setia, Bandung, 2008, hal: 157
[13] Satria
Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 117
[14] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal:66
[15] Asmawi,
Perbandingan Ushul Fiqih , Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hal: 84
[16] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal: 72
[17] Satria
Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 129
[18] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal: 86
[19] Jaih
Mubarok, metodelogi Ijtihad Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta.2002,Hal
99
[20]Satria
Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm:131
[21]Satria
Effendi, M. Zein, ushul Fiqih, kencana, Jakarta,2009, hlm: 87
[22] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal:88
0 komentar:
Post a Comment